Jakarta, NU Online
Muhammad Nabil Satria Faradis atau akrab disapa Nabil adalah seorang santri kelahiran Lumajang dan dibesarkan di Malang. Ia kini tengah mendalami teknologi kuantum di Universitas Cambridge, Inggris. Perjalanannya yang menginspirasi banyak orang, menunjukkan bahwa santri pun mampu bersaing di kancah global.
Dari Jatim ke Jerman, Australia, dan Inggris
Nabil meniti pendidikan di madrasah sejak kecil, dimulai dari Bustanul Athfal (TK) hingga Tsanawiyah di Malang.
Berkat prestasi akademiknya, ia meraih beasiswa penuh Kementerian Agama (Kemenag) untuk melanjutkan pendidikan ke Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendekia (MAN IC) Serpong.
Selama Aliyah, Nabil meraih medali perak dalam Olimpiade Sains Nasional (OSN) dan terpilih mengikuti program pelatihan nasional (pelatnas) untuk olimpiade internasional.
Kemudian Nabil melanjutkan studi S1 Teknik Mesin di Universitas Gadjah Mada (UGM). Selama berkuliah, ia menjadi santri di salah satu pesantren mahasiswa di Yogyakarta. Nabil kemudian dinobatkan sebagai mahasiswa berprestasi (mawapres) terfavorit UGM dan lulus sebagai lulusan terbaik dengan IPK 3,99.
Prestasi internasionalnya membawa Nabil meraih penghargaan pemuda berprestasi tingkat internasional dari Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) pada 2018.
Setelah menyelesaikan S1, Nabil meniti karier sebagai research assistant di Helmholtz Dresden, Jerman. Kemudian, Ia melanjutkan pendidikan S2 Teknik dan Bisnis di Universitas Melbourne, Australia.
Nabil berhasil meraih beasiswa Australia Awards Scholarship (AAS) dan turut aktif di Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Jerman dan Australia.
Sepulangnya ke Indonesia, sejak 2021, Nabil aktif berkontribusi di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta, dimulai sebagai anggota tim akselerasi hingga dipercaya menjabat sebagai direktur.
Ia juga turut membantu Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam kolaborasi Indonesia-Uni Emirat Arab untuk mendirikan MBZ College for Future Studies, sebuah inisiatif yang dicanangkan oleh presiden kedua negara pada 2022.
Saat ini, Nabil tengah menempuh pendidikan S3 di Universitas Cambridge dengan bidang riset Manajemen Teknologi dan fokus mendalami teknologi kuantum.
Dari Cambridge, ia menjadi bagian anggota dari PCINU United Kingdom (UK). Pada Oktober lalu, ia menjadi pembicara dalam dua acara yang diselenggarakan oleh organisasi NU tersebut.
Mendalami Teknologi Kuantum di Cambridge
Menurutnya, setelah era kecerdasan buatan (AI), dunia akan memasuki era kuantum yang menjanjikan kemajuan di berbagai bidang.
“Teknologi kuantum memungkinkan kita mengembangkan sistem komputer ribuan kali lebih cepat,” ujar Nabil kepada NU Online pada Kamis (31/10/2024).
“Bayangkan aplikasinya dalam penemuan obat kanker yang lebih cepat dan efektif, simulasi untuk membuat baterai ultra-efisien, perjalanan luar angkasa yang lebih mudah, dan pemodelan perubahan iklim yang lebih akurat,” tambahnya.
Nabil menyadari bahwa teknologi kuantum mungkin terdengar rumit dan abstrak bagi orang awam. Oleh karena itu, ia mencoba menjelaskan konsep dasarnya dengan bahasa yang mudah dipahami.
“Teknologi kuantum ini sesungguhnya berkaitan dengan cara kerja dunia pada skala atom dan subatomik, yang berbeda dengan dunia makroskopis yang kita alami sehari-hari,” jelasnya.
“Salah satu perbedaan utama adalah konsep superposisi, ketika partikel kuantum dapat berada dalam beberapa keadaan sekaligus, seperti sebuah koin yang dapat menunjukkan sisi kepala dan ekor secara bersamaan,” tambahnya.
Ia menambahkan, ada prinsip uncertainty. Prinsip ini menyatakan bahwa manusia tidak dapat mengetahui posisi dan kecepatan sebuah partikel secara pasti pada waktu yang sama. Semakin akurat seseorang mengukur posisinya, maka makin tidak pasti kecepatannya. Begitu pun sebaliknya.
“Prinsip ini berbeda dengan dunia makroskopis, yaitu ketika kita dapat mengetahui posisi dan kecepatan sebuah objek secara bersamaan,” ujarnya.
Nabil kemudian menjelaskan prinsip entanglement, yaitu saat dua partikel kuantum dapat terikat.sehingga keadaan satu partikel mempengaruhi keadaan partikel lainnya, meskipun berjauhan.
“Prinsip ini memungkinkan komunikasi yang aman dan instan, tanpa terbatas oleh jarak,” katanya.
Ia menekankan bahwa prinsip-prinsip unik inilah yang memungkinkan teknologi kuantum untuk diaplikasikan di berbagai bidang.
“Mulai dari komputer kuantum yang mampu memecahkan masalah kompleks, sensor kuantum yang sangat sensitif, hingga komunikasi kuantum yang aman,” ujarnya.
Ia menjelaskan, sensor kuantum dapat dipakai untuk mendeteksi penyakit dalam tubuh dengan lebih presisi dan melakukan eksplorasi tambang dengan lebih akurat dan lebih sedikit merusak alam.
Harapan untuk Indonesia dan santri
Nabil menyampaikan harapannya agar Indonesia dapat segera mempersiapkan diri dan memanfaatkan teknologi kuantum untuk kemajuan bangsa.
“Saat ini, negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Australia, China, dan Jepang sedang berlomba-lomba untuk menjadi pemimpin di teknologi ini,” ujarnya.
“Saya berharap, agar Indonesia bisa duduk sejajar dengan pemain dunia, dan tidak hanya menjadi pengikut dalam pengembangan sains dan teknologi,” tambahnya.
Santri kelahiran Lumajang ini menyampaikan pesan khusus kepada para santri untuk terus bersemangat memperkuat fondasi Iman dan taqwa (imtaq) yang dipelajari di pesantren.
“Namun, jangan lupakan juga untuk mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Hal ini demi memajukan bangsa dan mewujudkan Indonesia Emas 2045,” ujarnya.
Nabil memiliki visi yang jauh ke depan bagi para santri. Ia mengaku ingin melihat santri yang tidak hanya menguasai ilmu agama, tetapi juga menjadi profesional unggul.
“Menjadi santri yang CEO startup, direktur perusahaan multinasional, profesor di universitas top dunia, dan pemimpin organisasi internasional,” ungkapnya dengan penuh semangat.
Inspirasinya ini muncul dari sosok Rektor Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta Widya Priyahita Pudjibudojo yang mendorong Nabil untuk turut menyemangati para santri mempelajari ilmu-ilmu masa depan, antara lain blockchain, digital dan circular economy, food security, kecerdasan buatan, cybersecurity, nanotechnology, neurosains, gen–editing, serta technology law.
Nabil juga mengingatkan para santri untuk menerapkan semangat resolusi jihad dalam konteks masa kini.
“Gunakanlah semangat itu untuk berperang melawan kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan, utamanya dalam momentum Hari Santri 22 Oktober kemarin,” pungkasnya.