Sejatinya, ibadah yang kita lakukan bukanlah tiket barter untuk kenikmatan surga, melainkan sebuah seni untuk merayu empunya surga, sehingga Allah akan menghujani kita dengan rahmat dan memasukkan kita ke dalam surga-Nya. (hlm. 223)
Jarak terdekat kita dengan Tuhan adalah ketika kita merayu-Nya, karena menurut Nabi Muhammad, Tuhan adalah kekasih tertinggi yang Maha Indah dan Menyukai Keindahan. Para sufi berkata; satu sujud saja —yang benar-benar dalam penghambaan yang tinggi— akan mengetuk rahmat-Nya. Sehingga Dia akan memberikan segalanya, termasuk surga-Nya.
Kurang lebih seperti itu inti yang disampaikan Habib Husein Ja’far Al Hadar dalam highlight buku ini, bahwa ibadah yang selama ini kita lakukan bukanlah kunci utama untuk masuk surga. Ibadah kita merupakan sebuah rayuan pada Tuhan untuk mendapatkan rahmat-Nya. Layaknya rayuan pada umumnya, kita perlu seni dalam melakukannya. Entah itu mencari tahu apa yang Tuhan sukai, berbicara dengan bahasa yang lembut, dan lain sebagainya.
Begitu pula dengan rayuan kepada Tuhan, kita perlu mempelajari bagaimana seni untuk merayu Tuhan, apa yang disukai-Nya, cara berkomunikasi yang baik, cara menarik perhatian-Nya, dan sebagainya.
Surga Itu Murni dari Rahmat-Nya
Ada alasan menarik mengapa ibadah hanyalah sebuah rayuan, bukan penentu kita masuk surga. Penulis mengutip sebuah hadis dalam buku ini, dari riwayat Imam Muslim dari Jabir bin Abdillah. “Tidak ada amalan seorang pun yang bisa memasukkannya ke dalam surga dan menyelamatkannya dari api neraka. Tidak juga denganku. Kecuali dengan rahmat dari Allah.” (hlm. 12)
Kemudian, diceritakan pula dari sebuah hadis qudsi tentang seorang ahli ibadah yang akan masuk surga. Allah berfirman, “Wahai hamba-Ku, masuklah engkau ke surga karena rahmat-Ku.” Orang ini menjawab, “Ya Rabbi, mengapa aku tidak dimasukkan ke dalam surga karena amalku?” Setelah itu, Allah memperlihatkan nikmat yang dia dapat di dunia, yang ternyata sudah melebihi ibadahnya selama 500 tahun. (hlm. 12)
Dengan hadis ini, kita bisa memahami bahwa seberapa besar pun amal kita tidak akan cukup untuk mengganti semua nikmat yang Allah berikan. Allah tidak membutuhkan usaha kita. Meskipun kita tidak beribadah, Allah tidak akan berubah. Namun, karena ibadah adalah perintah-Nya dan Allah menyukainya, maka untuk merayu-Nya kita harus beribadah. Hasil akhirnya tetaplah keputusan Allah: apakah kita layak masuk surga atau tidak.
Beragama dengan Cinta
Salah satu cara menyambung harapan manusia dengan Tuhan adalah melalui doa. Hasan Al-Bashri mengatakan, “Jika kamu ingin Tuhan berbicara kepadamu, maka bacalah Al-Quran. Jika kamu ingin berbicara dengan Tuhan, berdoalah.”
Tentu saja, dalam berbicara kepada Tuhan (berdoa) ada tata krama tersendiri, seperti ketika kita berbicara kepada pejabat atau orang yang lebih tua. Penulis menekankan bahwa salah satu etika dasar dalam berdoa adalah tidak mendikte Tuhan. Contoh sederhana mendikte Tuhan adalah: “Kalau bukan dia, aku tidak mau ya Tuhan, pokoknya harus dia.”
Kita memang boleh spesifik dalam berdoa, tetapi sering kali terselip unsur pemaksaan kehendak seperti di atas. Siapakah kita sehingga bisa memaksakan kehendak pada Allah? (hlm. 54-55)
Beragama dengan Keberagaman
Sebagai manusia, tugas kita adalah bercermin pada diri sendiri. Para sufi mengatakan, “Siapa yang mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya.” Mengenali diri berarti menyadari betapa kompleksnya diri kita, serta memahami bahwa kita memiliki keterbatasan. Orang yang mengenal dirinya akan lebih mampu mengenali Tuhannya.
Namun, ironisnya, sejak Islam pertama kali turun, banyak dari kita justru lebih suka mengurusi aib orang lain. Alih-alih fokus memperbaiki diri sendiri, kita sering mengingat kebaikan kita sendiri dan melupakan kebaikan orang lain. Media sosial yang seharusnya menjadi ladang pahala untuk menyebarkan kebaikan malah sering menjadi ladang dosa karena digunakan untuk mengomentari orang lain. (hlm. 92)
Sebisa mungkin, output yang kita berikan adalah kebaikan dan solusi, bukan celaan atau cemoohan. Sebab, masih banyak aib dalam diri kita yang perlu diperbaiki.
Beragama dengan Akhlak
Biasanya, orang yang tidak bisa mematahkan argumen lawannya akan beralih pada ejekan, untuk merendahkan orang lain. Perkataan buruk sering kali datang dari orang yang kurang bijak.
Allah sudah menjelaskan hal ini dalam QS. Al-Qashash ayat 55. Dalam ayat tersebut, dijelaskan bahwa mereka yang berakal tidak akan menanggapi ejekan orang bodoh, kecuali dengan meninggalkan mereka secara baik-baik. Orang pintar tahu bahwa kesan baik lebih efektif.
Allah juga berfirman dalam QS. Al-Muzammil ayat 10 kepada Nabi Muhammad, “Bersabarlah (Muhammad) terhadap apa yang mereka katakan, dan tinggalkanlah mereka dengan cara yang baik.” Kesabaran diperlukan karena kebodohan tidak permanen; siapa tahu esok orang tersebut berubah.
Nabi Muhammad juga menolak tawaran Jibril untuk menghukum penduduk Thaif. Nabi malah berharap, meski mereka menolak ajaran Islam, bahwa keturunan mereka suatu hari akan menyembah Allah. (hlm. 135-136)
Beragama dengan Tulus
Ikhlas itu ibarat buang air besar di WC —mengeluarkannya tanpa beban, langsung disiram dan dilupakan. Ikhlas artinya mengamalkan sesuatu tanpa menyebutnya lagi.
Namun, ini bukan berarti kita tidak boleh menampakkan amal di depan umum. Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 271, “Jika kamu menampakkan sedekahmu, itu baik; tetapi jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, itu lebih baik bagimu…” Artinya, kita boleh menampakkan amal kita asalkan hati tetap ikhlas dan tidak menyebutnya lagi. Begitu pun sebaliknya, amal tersembunyi tidak menjamin ikhlas; hati bisa saja masih berpenyakit sehingga belum sepenuhnya ikhlas. (hlm. 172)
Identitas Buku:
Judul buku: Seni Merayu Tuhan
Penulis: Habib Husein Ja’far Al-Hadar
Penerbit: PT Mizan Pustaka
Tahun terbit: 2022
Tebal: 224 halaman
Peresensi: M. Daviq Nuruzzuhal, Mahasantri Ponpes YPMI Al-Firdaus UIN Walisongo Semarang
https://jatim.nu.or.id/pustaka/tips-tips-merayu-tuhan-ala-habib-husein-ja-far-FDgKt