Kewajiban Mencegah Peredaran Miras bagi Pemerintah dalam Pandangan Islam
Ajaran Islam bertujuan memelihara keselamatan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Sementara miras atau minuman keras, merupakan salah satu hal yang membatalkan tujuan-tujuan syariat tersebut.
Dalam hadis, miras disebut “ummul khabaits”, induk dari segala keburukan. Karena minuman keras memiliki dampak negatif dari aspek sosial dan spiritual.
Dalam hal sosial, minuman keras merusak harmoni sosial, misal mengganggu ketertiban umum, bahkan tak jarang berujung pada tindakan kriminal. Sementara itu, dari aspek spiritual miras membawa dampak pada pelanggaran ajaran Islam dan lalai terhadap shalat. (Mushtafa al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, juz VII, halalaman 23).
Miras memiliki dampak destruktif yang fatal. Baik bagi diri sendiri, maupun orang lain. Terbaru, di Yogyakarta dua santri Pesantren Al-Fatimiyah Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta, yakni Shafiq Faskhan (20) dan Muhammad Aufal Maromi (23) menjadi korban penganiayaan oleh segerombolan orang yang sedang mabuk. Salah satu korban bahkan ditusuk menggunakan senjata tajam. Ini salah satu satu dari sekian bukti dampak negatif miras yang berujung pada kejahatan.
Sejauh ini pemerintah Indonesia dalam memperhatikan peredaran miras menetapkan beberapa ketentuan.
Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol. Selain itu, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
Namun demikian, peraturan-peraturan tersebut tidak efektif meminimalisir peredaran miras dan bahayanya. Sebab, aturan-aturannya bersifat subordinat dan sektoral sehingga banyak pelanggaran yang lolos dari jeratan hukum. Bahkan merembet kepada kejahatan sosial yang pada akhirnya mengancam eksistensi negara itu sendiri.
وكثيرا ما يجتمع الشّرب على مائدة الشراب فيثير السكر كثيرا من ألوان البغضاء بينهم، وقد ينشأ القتل والضرب والسلب والفسق والفجور وإفشاء الأسرار وهتك الأستار وخيانة الحكومات والأوطان
Artinya, “Sering kali para peminum berkumpul untuk mengonsumsi khamar maka sifat mabuknya memprovokasi macam-macam sifat permusuhan di antara mereka sehingga terkadang muncul pembunuhan, pemukulan, perampokan, kefasikan dan kebejatan, membuka rahasia, merobohkan tembok-tembok, mengkhianati peradilan dan negara.” (Al-Maraghi, VII/23).
Larangan Produksi, Distribusi, dan Konsumsi Miras
Islam sendiri melarang keras khamr dalam bentuk apapun. Pelarangan ini tidak hanya berlaku bagi peminumnya, tetapi juga meluas ke semua orang yang terlibat dalam rantai produksi dan distribusi dan konsumennya. Mulai dari modal investasi untuk produksi dan distribusi khamar, serta konsumennya.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw pernah diberi tahu Jibril terkait khamr:
إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلى الله عَلَيه وسَلم أَتَاهُ جِبْرِيلُ فَقَالَ: “يَا مُحَمَّدُ، إِنَّ اللهَ لَعَنَ الْخَمْرَ وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا، وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ، وَشَارِبَهَا وَبَائِعَهَا وَمُبْتَاعَهَا وَسَاقِيَهَا وَمُسْقَاهَا
Artinya: “Nabi saw pernah didatangi Malaikat Jibril dan berkata, “Hai Muhammad, sesungguhnya Allah melaknat khamr (miras), pembuatnya, peminumnya, pembawanya, orang yang membawanya, penjualnya, pembelinya, yang menuangkan miras dan yang dituangkan (meminumnya).” (HR. Ibnu Hibban).
Dalam Al-Qur’an mekanisme pelarangan khamr bersifat gradual. Hingga akhirnya dipatenkan melalui aturan yang tegas dan penerapan sanksi yang jelas. (Ali As-Shabuni, Rawa’iul Bayan, [Damaskus, Maktabah Al-Ghazaliyah], juz I, halalaman 275).
Tahapan pertama Allah memberi tahu fakta bahwa miras terbuat dari perasan anggur dan kurma sebagaimana dalam ayat A-Qur’an
“Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat darinya minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang memikirkan.” (QS Al-Nahl: 69).
Tahapan kedua dinyatakan bahwa ada manfaat dan dosa dalam khamar, tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah, pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.” (QS. Al-Baqarah: 219).
Tahapan ketiga larangan mendekati shalat dalam keadaan mabuk. Al-Quran mulai mengharamkan khamr pada waktu-waktu tertentu yakni sebelum shalat:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendekati shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (QS. An-Nisa: 43).
Tahapan keempat larangan total khamr sebagai sesuatu yang najis dan perbuatan setan serta mengungkapkan hal yang destruksi di dalamnya yakni kejahatan sosial dan spiritual:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS Al-Ma’idah: 90).
اللطيفة الثانية: في تحريم الخمر بهذا الترتيب حكمة بليغة… وذلك من الخطة الحكيمة التي انتهجها الإسلام في معالجة الأمراض الاجتماعية، فقد سلك بالناس طريق (التدريج في تشريع الأحكام) فبدأ بالتنفير مه بطريق غير مباشر كما في الآية الأولى، ثم بالتنفير المباشر عن طريق المقارنة بين شيئين: شيء فيه نفع ضئيل، وشيء فيه ضرر وخطر جسيم، كما في الآية الثانية، ثم بالتحريم الجزئي في أوقات الصلاة كما في الآية الثالثة، ثم بالتحريم الكلي في جميع الأوقات كما في الآية الرابعة، فللَّه ما أدق هذا التشريع
Artinya, “Latifah kedua: Dalam pengharaman khamr (minuman keras) dengan urutan ini, terdapat hikmah yang sangat mendalam … Hal ini merupakan bagian dari strategi bijaksana yang diterapkan Islam dalam menangani penyakit-penyakit sosial. Islam menempuh metode bertahap dalam pensyariatan hukum.
Pertama, dimulai dengan memberikan ketidaksukaan terhadap khamr secara tidak langsung, seperti dalam ayat pertama. Kemudian, dilakukan penegasan secara langsung dengan membandingkan antara dua hal: satu hal yang memiliki sedikit manfaat dan satu lagi yang memiliki bahaya serta risiko besar, sebagaimana dalam ayat kedua.
Selanjutnya, dengan pengharaman secara parsial pada waktu-waktu shalat, seperti dalam ayat ketiga. Akhirnya, pengharaman secara keseluruhan di semua waktu, seperti dalam ayat keempat. Sungguh, alangkah telitinya syariat ini”. (As-Shabuni, I/273).
Hukuman bagi Peminum Miras
Larangan ayat tersebut berkonsekuensi pada penegakkan regulasi hukuman bagi yang melanggar. Hukumannya berupa cambuk, bila sudah terbukti baik dengan cara ikrar maupun pembuktian.
Hal ini ditetapkan melalui praktik dan sunnah Rasulullah saw serta para sahabat. Hukuman ini diterapkan untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan menjaga masyarakat dari bahaya khamar. Adapun bilangan yang paling efektif di zaman Nabi yaitu 40 kali cambuk. Hadits-hadits yang menunjukkan hukuman bagi peminum khamr:
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَضْرِبُ فِي الْخَمْرِ بِالْجَرِيدِ وَالنِّعَالِ أَرْبَعِينَ
Artinya: “Dari Anas bin Malik ra, beliau berkata: “Nabi saw telah mencambuk peminum khamr dengan pelepah kurma dan sandal 40 kali.” (HR Muslim).
Ketentuan tersebut berlanjut sampai kepemimpinan Khalifah Abu Bakar. Sementara pada masa Khalifah Umar bin Khattab, beliau merevisi jumlah cambukkannya ditingkatkan menjadi 80 kali atas dasar ijtihadnya, dengan pertimbangan bahwa hukuman tersebut lebih efektif. Kemudian berlanjut di masa pemerintahan Sayyidina Ali. (Muhamad Khatib Al-Syirbini, Mugnil Muhtaj, [Beirut, Darul Kutub Ilmiyah], juz V, halaman 520).
Kewajiban Pemerintah Melarang Peredaran Miras
Dalam pandangan Islam, pemerintah harus yang menjadi garda depan dalam memproteksi warga dari miras berikut dampaknya. Sebab, dampak negatif dari miras bisa berakibat fatal, bukan hanya semata keyakinan agama, tetapi merusak kehidupan sosial di tengah masyarakat.
Negara berkewajiban mencegah dan melarang miras melalui regulasi yang tegas dan komprehensif. Hal ini mendesak DPR agar bersegera mengesahkan RUU terkait minuman keras mengingat bahayanya miras yang semakin merajalela dan semakin mengkhawatirkan kehidupan bangsa.
Ada dua dalil yang mewajibkan pemerintah melarang peredaran miras. Pertama, dari aspek konstitusi yaitu amanat undang-undang. Hal itu sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang berbunyi: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Kedua, dari aspek kewajiban agama. Negara, menurut hukum Islam, memiliki kewajiban untuk melindungi agama dan mengatur dunia. Imam Al-Mawardi menyebutkan:
الْإِمَامَةُ مَوْضُوعَةٌ لِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِي حِرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا
Artinya, “Kepemimpinan itu ditetapkan untuk melanjutkan kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia.” (Al-Mawardi, Ahkamus Sulthaniyah, [Kairo: Darul Hadits], halaman 15).
Untuk menjaga agama dan mengatur urusan duniawi, pemerintah harus meregulasi segala hal yang berkaitan dengan kemaslahatan umat, baik secara sosial maupun spiritual. Melakukan amar ma’ruf nahi munkar, termasuk melarang miras sebagai nahi munkar. Dalam surat Al-Hajj ayat 41 Allah berfirman:
ٱلَّذِينَ إِن مَّكَّنَّـٰهُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ أَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَوُاْ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَمَرُواْ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَنَهَوۡاْ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۗ وَلِلَّهِ عَـٰقِبَةُ ٱلۡأُمُورِ
Artinya: “(Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf, dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.”
Ayat ini mengajarkan bahwa pemimpin yang diberikan kekuasaan harus mengutamakan kebaikan, termasuk menjaga stabilitas dan keamanan bagi masyarakat. Sebab itu, pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban terkait rakyatnya. Nabi saw bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مسؤول عَنْ رَعِيَّتِهِ، الْإِمَامُ رَاعٍ ومسؤول عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مسؤول عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا ومسؤولة عَنْ رَعِيَّتِهَا
Artinya: “Setiap dari kalian adalah pemimpin. Dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpin. Imam adalah pemimpin atas rakyatnya dan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya. Lelaki pemimpin atas keluarganya dan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya. Perempuan pemimpin di rumah suaminya dan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya. (HR Al-Bukhari).
Dalam Islam, khamr atau minuman keras dilarang secara menyeluruh. Larangan ini berlaku tidak hanya pada konsumsinya tetapi juga pada semua yang terlibat dalam produksi, distribusi, dan perdagangan khamr. Larangan tersebut bertujuan untuk menjaga ketertiban masyarakat dan stabilitas negara serta moralitas bangsa.
Beririsan dengan itu, Pemerintah Indonesia berkewajiban untuk membuat regulasi khusus terkait minuman keras dalam RUU. Mulai dari pelarangan dan pencegahan peredaran Miras. Kemudian penegakan hukum. Demikian pula ada edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat terkait dampak negatifnya. Hal ini selain mendesak mengesahkan RUU yang sudah ada di DPR, juga mesti ada sinergi antara pemerintah dan agama-agama yang ada atau organisasi keagamaan. Wallahu a’lam.
Ustadz Moh Soleh Shofier, Pengajar Pondok Pesantren Salafiyah, Dawuhan, dan Mahasantri Mahad Aly Salafiyah Syafi’iyah, Situbondo.