‘Kampung Srawung’ di Lasem, Umat Antaragama Hidup Rukun dan Harmonis
Keharmonisan umat beragama di Lasem, Rembang, Jawa Tengah terlihat saat warga antar-etnis dan agama melakukan aktivitas sehari-hari dengan rukun dan harmonis. Khususnya di Jalan Gambiran, Desa Soditan, Lasem. Di jalan ini saling berdekatan antara masjid/mushola, 2 gereja, 1 kelenteng, dan 1 vihara, serta terdapat 2 pondok pesantren.
Kehidupan bermasyarakat yang senantiasa rukun, damai, serta saling menghargai sesama terpampang nyata di sana. Bahkan pada tahun 2016, masyarakat di Jalan Gambiran tersebut mengadakan kegiatan Srawung Sedulur Soditan untuk lebih merekatkan keharmonisan antarumat beragama sehingga ada sebagian warga menyebutnya ‘Kampung Srawung’ yang bisa diartikan kampung kerukunan atau kampung kebersamaan.
Dua pondok pesantren di antaranya Ponpes Al-Hidayat, dan Ponpes Al-Hikmah, dua Gereja yakni Gereja Bethel Indonesia, serta Gereja Yesus Sejati, lalu Kelenteng Cu An Kiong, yang terakhir ada salah satu wihara yang dulunya berada di Desa Soditan, lebih tepatnya asrama untuk para bhante.
KH Sholahuddin Fatawi, Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Hidayat Lasem (STAILA) menjelaskan kebenaran adanya rumah ibadah antarumat beragama yang saling berdekatan di Jalan Gambiran.
“Benar sekali, di jalan tersebut ada beberapa bangunan tempat ibadah yang terdiri dari dua pondok pesantren, 1 musholla, 2 gereja, 1 kelenteng, 1 wihara,” ungkap KH Sholahuddin Fatawi, Pengurus Pondok Pesantren Al-Hikmah, Soditan, Lasem saat diwawancara oleh NU Online, Jumat (1/11/2024) di kediamannya.
Gus Din, sapaan akrabnya, mengatakan, kendati penuh dengan keberagaman ini, tidak pernah terjadi gesekan antarumat beragama. “Semuanya bisa saling menghargai. Walaupun mayoritas muslim, namun bisa mengayomi warga lainnya yang beragama lain,” ungkap Gus Din.
Di satu titik juga ada poskamling yang dijadikan sarana persatuan warga Desa Soditan ini. Semua warga dari etnis dan agama lain sama-sama mendapatkan tugas untuk ronda. “Ada, jadwalnya sudah tertulis di Pos Ronda untuk berjaga,” jawab Gus Din.
Disamping itu, sebanyak 11 pesantren yang berada di Desa Soditan, antara lain Pondok Pesantren An-Nur, Al-Hidayat, At-Taslim, Al Islah, Al Mas’udy, Al Qur’any, As Syakiriyah, Al Hikmah, An Nuriyah, Pondok Tahfidh Rumah Bambu, dan Al Wahidy.
Pondok-pondok tersebut memiliki peran yang sama dalam mencetak santri yang berkepribadian moderat (wasathiyah). Kehidupan bermasyarakat yang moderat inilah, menggambarkan upaya mempraktikkan nilai-nilai Ahlus Sunnah Wal Jamaah atau Aswaja, yang selanjutnya disosialisasikan secara masif, termasuk di dalam jalur pendidikan.
Sebelah sisi timur Jalan Gambiran, yang tak jauh dari pondok, berdiri sebuah gereja, yang bernama Gereja Bethel. Rumah ibadah umat Nasrani itu berdiri sekira tahun 1950-an.
Pendeta Gereja Bethel Indonesia, Yonathan Kukuh menyebut, toleransi di sekitar Gambiran menjadi salah satu ikon dari Kota Lasem. “Menurut saya, ikon toleransi di Lasem ya di Jalan Gambiran Soditan ini. Karena pondok ada, santri banyak, gereja ada, kelenteng ada, dulu juga ada asrama Vihara,” terang Jonathan diwawancarai NU Online di Gereja Bethel, Jumat (1/11/2024).
Pendeta Yonathan menjelaskan bahwa toleransi terlihat sepanjang Jalan Gambiran sudah berjalan berpuluh-puluh tahun lamanya.
“Jadi kalau dilihat toleransi atau kerukunan baik-baik saja. Bahkan baru-baru ini Gus Qoyyum membuat madrasah di sebelah itu. Jadi santrinya sering lewat gereja. Saya dan Gus Qoyyum juga sering saling sapa,” ucapnya.
Yonathan mengimbuhkan, arti toleransi umat beragama dan kemasyarakatan di Jalan Gambiran Desa Soditan sangat harmonis dan damai. “Artinya meskipun komunitas kita ini beragama kepercayaan tetapi tidak saling mengganggu dan tidak saling terganggu jadi ya saling memahami,” ujarnya.
Sementara itu, Galih Pandu Adi, Pemuda asal Desa Soditan Lasem mengungkapkan, Jalan Gambiran merupakan jantung toleransi di Kota Lasem.
“Sepanjang satu Jalan Gambiran yang jaraknya kurang lebih 300 meter, berdiri beberapa tempat ibadah, seperti Kelenteng Cu An Kiong, vihara, Gereja Yesus Sejati, Gereja Bethel, musholla, dan pondok pesantren,” ucap Pandu kepada NU Online pada Jumat (1/11/2024).
Pandu bercerita, Kelenteng Cu An Kiong merupakan rumah ibadah penganut Konghucu tertua di Indonesia. Klenteng ini diperkirakan dibangun sekitar abad ke-16 di tahun 1477 Masehi oleh orang-orang China yang berlabuh di Lasem.
Menurut Pandu, dari segi material bangunan menggunakan kayu jati yang pada tempo dulu banyak tumbuhan kayu jati yang melimpah di Kota Lasem. Tak hanya itu, ternyata konon dalam Sejarah Carita Lasem (CSL), Lasem menjadi tempat mendaratnya etnis Tionghoa saat ingin bertandang di Nusantara.
“Karena pada zaman itu, Lasem dianggap sebagai pelabuhan awal mendaratnya orang-orang China di Nusantara,” jelas Pandu yang juga Pengurus Lesbumi PCNU Lasem.
Jika dilihat dari letak geografi dan sosialnya, terbukti adanya keberadaan Masjid Jami Baiturrahman Lasem yang bermukim di Desa Pecinan Karangturi, sementara Kelenteng Cu An Kiong berada di tengah masyarakat yang mayoritas muslim.
“Ternyata terdapat keberagaman yang tumbuh dan beriringan secara alam dan diterapkan selama berpuluh tahun,” imbuh Pandu.
Pandu berkata, poin-poin penting dari toleransi di Jalan Gambiran Desa Soditan Lasem ada mengangkat nilai estetik sejarah desa.
“Selain itu, ada pula nilai-nilai budaya yang dapat diambil warga agar mereka mengetahui kebudayaan lokal di Jalan Gambiran. Hanya terkadang mereka belum terlalu memahami muatan nilai toleransinya seperti apa,” terangnya.
Namun menurut Pandu, sebenarnya masyarakat Soditan sudah menjalani praktik toleransi berpuluh tahun, bahkan sebelum ada kata toleransi itu sendiri. “Secara otomatis kami telah melaksanakan hakikat bertoleransi di masyarakat,” tandasnya.
*) Liputan ini terbit atas kerja sama NU Online dengan LTN PBNU dan Direktorat Pendidikan Tinggi Agama Islam (PTKI) Kementerian Agama RI
https://www.nu.or.id/daerah/kampung-srawung-di-lasem-umat-antaragama-hidup-rukun-dan-harmonis-fRet8