Hikmah Akad Salam: Solusi Islam bagi Transaksi Modern

Di dunia yang serba cepat ini, kebutuhan manusia pada barang dan jasa semakin kompleks. Terkadang dalam transaksi jual beli, ada ketidakpastian yang tidak bisa dihindari, yang seringkali menimbulkan kecemasan dan kerugian bagi salah satu pihak. Untuk itu, dalam syariat Islam, terdapat solusi akad salam.
 

Akad salam, yang secara bahasa berarti “penyerahan” atau “pemasrahan”, merupakan bentuk transaksi yang mana pembeli menyerahkan uang pembayaran terlebih dahulu untuk barang yang akan diterima pada waktu yang telah ditentukan di masa depan. Transaksi ini menjadi salah satu contoh bagaimana syariat Islam memandang kebutuhan masyarakat, sekaligus menjaga keseimbangan dalam dunia ekonomi. 
 

Di dalam hukum fiqih muamalah, kita tahu bahwa jual beli barang yang tidak ada atau bai’ul ma’dum hukumnya adalah batal. Sebab, dalam Islam setiap transaksi yang melibatkan barang atau objek yang belum ada secara fisik, dianggap tidak sah karena mengandung unsur ketidakpastian yang dapat merugikan salah satu pihak. Namun, akad salam dikecualikan dari prinsip ini. Kenapa bisa demikian?
 

Karena akad salam sebagai akad yang memperbolehkan pembayaran di muka untuk barang yang belum ada. Transaksi ini hadir sebagai jawaban atas kebutuhan masyarakat yang tidak dapat dihindari.
 

Terkadang orang memerlukan barang tertentu dalam jumlah besar, namun barang tersebut baru akan tersedia di masa yang akan datang. Tanpa adanya jalan keluar seperti akad salam, maka transaksi ini akan tertunda atau bahkan tidak dapat terlaksana sama sekali.
 

Pensyariatan akad salam dalam Islam adalah bentuk kebijaksanaan yang mendalam, yang lahir dari pemahaman atas kebutuhan manusia yang sangat mendesak terhadapnya.
 

Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali seseorang membutuhkan barang atau komoditas yang belum tersedia pada saat itu, tetapi harus didapatkan pada waktu yang lain. Tanpa adanya mekanisme yang sah dan terjamin, transaksi semacam ini bisa menghadirkan ketidakpastian yang merugikan banyak pihak.
 

Karena itu, Islam memberikan solusi melalui akad salam, yang memungkinkan pembayaran dilakukan di muka untuk barang yang akan diserahkan di masa mendatang.
 

Akad ini bukan hanya memenuhi kebutuhan ekonomi, tetapi juga menjaga prinsip keadilan, kepastian, dan transparansi dalam transaksi. Dengan adanya akad salam, manusia diberikan jalan yang sah untuk menghindari kerugian dan menjaga kelancaran perdagangan, mengingat betapa besar kebutuhan ini dalam tatanan ekonomi masyarakat yang terus berkembang.
 

Islam tidak hanya menyediakan solusi praktis, tetapi juga menjaga keseimbangan dalam perdagangan. Transaksi ini mengajarkan tentang prinsip kepastian dalam transaksi. Pembeli tahu persis kapan barang yang dibelinya akan tersedia, dan penjual juga terjamin mendapat pembayaran lebih awal yang bisa digunakan untuk mempersiapkan barang tersebut. Akad salam ini menuntut kedua belah pihak untuk jujur dan transparan, sehingga mencegah terjadinya penipuan atau kecurangan dalam jual beli.
 

Para ulama seperti Syekh Musthafa Al-Khin, Syekh Musthafa Al-Bugha, dan Syekh Ali as-Syarbaji, dalam salah satu kodifikasi fiqih mereka mengungkapkan hikmah yang terkandung di balik disyariatkannya akad salam.
 

مَشْرُوْعِيَّتُهُ: إِنَّ عَقْدَ السَّلَمِ مُسْتَثْنًى مِنْ بَيْعِ الْمَعْدُوْمِ، وَقَدْ عَلِمْنَا أَنَّهُ لاَ يَصِحُّ بَيْعُ الْمَعْدُوْمِ، وَإِنَّمَا اسْتُثْنِيَ السَّلَمُ مِنْ ذَلِكَ لِحَاجَةِ النَّاسِ إِلىَ مِثْلِ هَذَا الْعَقْدِ
 

Artinya, “Pemberlakuan akad salam: Sesungguhnya akad salam merupakan pengecualian dari jual beli barang yang tidak ada (bai’ul ma’dum), dan kita telah tahu bahwa jual beli barang yang tidak ada itu tidak sah. Akan tetapi, akad salam dikecualikan dari hal tersebut karena kebutuhan manusia akan akad semacam ini.” (Al-Fiqhul Manhaji, [Damaskus, Darul Qalam: 1992], jilid VI, halaman 51).
 

Dengan demikian, kehadiran akad salam adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia yang sangat mendesak atas kepastian dalam transaksi perdagangan, terutama ketika barang yang dibutuhkan belum tersedia pada saat itu.
 

Akad ini hadir sebagai solusi yang sah dan adil, yang memberikan jalan bagi pembeli untuk melakukan pembayaran di muka, sementara penjual dapat mempersiapkan barang tersebut untuk diserahkan pada waktu yang telah disepakati.
 

Selain itu, akad salam juga menjaga prinsip keadilan dan transparansi dalam transaksi, menghindarkan adanya kerugian atau ketidakpastian yang dapat merugikan salah satu pihak. Melalui pemberlakuan akad salam, Islam tidak hanya memberikan solusi praktis dalam dunia ekonomi, tetapi juga menunjukkan kedalaman kebijaksanaan dalam mengatur hubungan perdagangan antar umat manusia, dengan tetap menjaga keseimbangan dan mengutamakan kepastian bagi semua pihak yang terlibat.
 

Penjelasan serupa juga disampaikan oleh Syekh Ali Al-Jurjawi, salah seorang ulama tersohor dari Mesir. Menurutnya akad ini tidak hanya sekadar transaksi finansial, tetapi juga sebuah perjanjian yang menjamin kemaslahatan bersama. Dengan akad salam, pihak pembeli dapat memenuhi kebutuhan mereka akan barang tertentu di masa depan, sementara pihak penjual menerima dana yang dibutuhkan untuk memproduksi atau menyediakan barang tersebut,
 

اِنَّ الشَّارِعَ الْحَكِيْمَ اِحْتَاطَ فِي الْأَمْرِ حَتَّى لاَتَفُوْتَهُ الْمَصْلَحَةُ الَّتِي يَعُوْدُ نَفْعُهَا عَلىَ الْأُمَّةِ وَشَرَعَ السَّلَمُ وَ أَجَازَهُ
 

Artinya, “Sesungguhnya syariat yang bijaksana telah berhati-hati dalam hal ini, agar tidak terlewatkan maslahat yang manfaatnya kembali kepada umat, dan Islam telah mensyariatkan akad salam dan menghalalkannya.” (Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatuh, [Beirut, Darul Fikr: tt], jilid II, halaman 94).
 

Syekh Ali al-Jurjawi juga menegaskan, agar maslahat yang ada di balik akad salam benar-benar terwujud, syariat menetapkan sejumlah syarat agar akad ini berjalan dengan baik dan terhindar dari perselisihan. Salah satunya adalah uang pembayaran harus diserahkan di majelis akad, di hadapan kedua belah pihak sebelum mereka berpisah.
 

Hal ini untuk memastikan bahwa ada kesepakatan yang jelas dan menghindari keraguan. Selain itu, syarat lainnya adalah penentuan waktu penyerahan barang yang harus disepakati sejak awal. Waktu yang pasti akan menghindarkan kedua pihak dari potensi konflik di masa mendatang. Dengan demikian, kepastian dan transparansi menjadi kunci dalam transaksi ini.
 

Lebih dari itu, dalam akad salam, syariat mengharuskan barang yang dibeli harus memiliki spesifikasi yang jelas. Baik itu dari segi jumlah, ukuran, atau jenis, semuanya harus ditentukan dengan detail yang tidak menimbulkan keraguan. Misalnya, jika yang dibeli adalah beras, maka jenis, mutu, dan beratnya harus dijelaskan sejak awal. Demikian pula, jika barang tersebut memiliki ukuran atau takaran tertentu, hal tersebut harus disepakati dan diukur dengan akurat. Semua syarat ini ditetapkan bukan tanpa alasan, melainkan untuk memastikan bahwa setiap pihak mendapatkan hak mereka dengan adil dan seimbang.
 

Syariat Islam begitu memperhatikan aspek keadilan dalam setiap bentuk muamalah (transaksi). Dengan ketentuan-ketentuan ini, akad salam tidak hanya sekadar aktivitas jual beli, melainkan juga ikatan amanah dan kepastian bagi mereka yang terlibat. Apabila semua ketentuan ini dipenuhi, akad salam akan menjadi jembatan yang menghubungkan kebutuhan kedua belah pihak dengan penuh manfaat dan kemaslahatan. Akad ini membawa ketenangan bagi penjual karena ia menerima dana di awal, sekaligus memberikan kepastian bagi pembeli mengenai barang yang akan diterimanya.
 

Menurut Syekh Ali Al-Jurjawi, sebagai penegasan atas pentingnya aturan di atas, Allah swt berfirman dalam Al-Qur’an:
 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ
 

Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya. Hendaklah seorang pencatat di antara kamu menuliskannya dengan benar.” (QS Al-Baqarah: 282). (Al-Jurjawi, II/95).
 

Ayat ini menunjukkan betapa Islam sangat menekankan pentingnya kesepakatan yang tertulis dalam setiap transaksi yang memiliki tanggungan di masa depan, termasuk dalam akad salam. Dalam catatan ini terkandung kehati-hatian agar kedua belah pihak terhindar dari kerugian dan penyesalan, sehingga transaksi yang terjadi benar-benar dibangun untuk kemaslahatan bersama.
 

Secara keseluruhan, akad salam adalah contoh bagaimana syariat Islam memperlihatkan kedalaman pemahaman terhadap kebutuhan umat manusia, serta kemampuan untuk menyesuaikan hukum dengan kondisi zaman. Dengan akad salam, kita tidak hanya belajar tentang bagaimana menjalankan transaksi yang adil dan transparan, tetapi juga mengingatkan kita akan pentingnya kejujuran, tanggung jawab, dan perencanaan dalam setiap langkah kita. Sebuah transaksi yang bukan hanya menguntungkan, tetapi juga membawa kedamaian dan kemaslahatan bagi semua pihak yang terlibat. Wallahu a’lam.
 

Ustadz Sunnatullah, Peserta program Kepenulisan Turots Ilmiah (KTI) Maroko, Beasiswa non-Degree Dana Abadi Pesantren Kementrian Agama (Kemenag) berkolaborasi dengan LPDP dan Lembaga Pendidikan di Maroko selama tiga bulan, 2024.

https://islam.nu.or.id/syariah/hikmah-akad-salam-solusi-islam-bagi-transaksi-modern-HvjfE