Jakarta, NU Online
Para akademisi mancanegara menyampaikan berbagai ide dan gagasan dalam Konferensi Internasional Humanitarian Islam yang diselenggarakan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Ballroom Hotel Grand Hyatt, Jakarta Pusat pada Rabu (6/11/2024).
Dalam konferensi yang digelar seharian penuh itu, dibahas berbagai gagasan di bawah payung besar topik humanitarian Islam (Al-Islam lil Insaniyah/Islam untuk Kemanusiaan). Salah satunya, gagasan tentang fiqih hadharah (fiqih peradaban) sebagai hal yang perlu dipertimbangkan dalam penyusunan konsensus global.
Gagasan ini dikemukakan oleh Amanda tho Seeth, seorang profesor interim dalam studi Sejarah dan Masyarakat Asia Tenggara, Humboldt University Berlin. Ia menggunakan istilah fiqih hadharah dalam menyampaikan gagasannya.
Menurut Amanda, implikasi fiqih hadharah sebagai epistemologi Islam diperlukan dalam tatanan hukum internasional untuk masa depan dunia dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai organisasi utama.
“Kita juga perlu menyertakan epistemologi islami dalam pembentukan berbagai produk hukum untuk tatanan peraturan masyarakat internasional,” ujarnya.
Paparannya itu dilatarbelakangi dengan munculnya berbagai krisis dan masalah dalam tatanan dunia liberal (Rule Based International Order/RBIO) yang bersumber dari barat dan berlaku hingga saat ini. Akibatnya, aturan ini dipengaruhi oleh minat geopolitik dan ekonomi barat (Amerika Serikat) yang pada akhirnya menciptakan ketimpangan pada negara-negara selatan (Global South) dan memarjinalisasinya.
Sementara itu, peran PBB juga masih sangat jauh dari yang diharapkan dalam penyelesaian dan pencegahan konflik global. Amanda berpendapat, pada saat inilah fiqih hadharah dapat secara tepat menjadi sebuah gerakan reformasi ganda.
“Fiqih hadharah adalah gerakan islami dari negara selatan yang menyokong nilai dan konsep inti dari RBIO, sekaligus mengkritisi hegemoni barat menyangkut nilai-nilai dan hak pilihnya,” paparnya.
Nilai-nilai Islam seperti ukhuwwah islamiyah, wathaniyah, dan insaniyah, rahmatan lil alamin, dan sebagainya menjadi penting dan diperlukan sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan hukum internasional yang disepakati bersama.
Senada, James Hoesterey, Profesor Madya dari Emory University, Amerika Serikat menyebutkan bahwa implikasi humanitarian Islam perlu dipersiskan akan seperti apa tujuannya dan fiqih mampu mewadahi hal ini.
“Gagasan Humanitarian Islam harus kita persiskan tujuannya bagi masyarakat dunia dan fiqih adalah sudut pandang yang mampu mewadahinya,” ujar Hoesterey.
Sementara itu, Guru Besar Boston University Robert Hefner menyimpulkan bahwa ada peluang untuk memperluas pandangan mengenai nilai-nilai etik dengan menerima epistemologi Humanitarian Islam. Karenanya, konsep ini bukan sekadar epistemologi yang abstrak tentang Muslim yang baik dan muslim yang buruk atau hanya persoalan melawan dan menaklukkan dalam penyelesaian masalah.
“Tidak hanya soal melawan dan menaklukkan tetapi juga nilai etika antara Muslim dan non-muslim termasuk implementasi hubungan Muslim dalam berelasi dengan orang lain,” ujar Hefner.
“Relasi secara mendalam ini terjadi di Indonesia. Dengan segala perbedaan, Indonesia mampu menunjukkan hubungan yang harmonis di kalangan masyarakatnya,” imbuhnya.