Miskonsepsi RUU PKS

Akhir-akhir ini RUU PKS kembali menjadi sorotan publik. Pasalnya, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang sudah dirancang pada tahun 2012 itu kini sudah masuk dalam Program Legalasi Nasional atau Prolegnas 2021.

RUU PKS sudah lama digaung-gaungkan karena semakin meningkatnya kasus kekerasan seksual setiap tahun, pada tahun 2019 saja ada 406.178 kasus dan tahun 202o naik 14% kasus dari tahun 2018. Bahkan, pada 13 Juli 2021, wakil ketua MPR Ibu Lestari mengatakan kasus kekerasan seksual meningkat. Dari data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, kekerasan seksual sampai saat ini mencapai 10.122 kasus.

Terdapat 9 Behavior yang termasuk kekerasan seksual yang dibahas pada RUU PKS, yaitu : 1. Pelecehan Seksual (Fisik dan Non Fisik), 2. Eksploitasi Sosial, 3. Pemaksaan Kontrasepsi, 4. Pemaksaan Aborsi, 5. Perkosaan, 6. Pemaksaan Perkawinan, 7. Pemaksaan Pelacuran, 8. Perbudakan Seksual, dan 9. Penyiksaan Seksual. Yang dirasa lebih kompleks dari UU Hukum Pidana (KUHP) yang membahas kekerasan seksual hanya mencakup pemerkosaan dan pelecehan.

RUU PKS dirasa harus segera disahkan, karena kekerasan seksual tiap tahun yang semakin meningkat. Apalagi semua agama tidak pernah mengajarkan untuk menzalimi atau menyakiti satu sama lain. RUU PKS menjadi ihtiar negara dalam melindungi rakyat dan menegakan keadilan. Belum ada Undang-Undang yang bisa menjadi payung hukum yang komprehensif tentang kekerasan seksual sampai ke pemulihan korban, melindungi keluarga korban, dan saksi kunci kejadian.

Baca juga:  Perempuan Timur dalam Catatan Lady Mary Montagu

Tapi nyatanya, banyak pula yang masih kontra mengenai RUU PKS. Masih banyak orang bahkan partai yang dirasa masih miskonsepsi atau tidak akurat mengenai konsep. Kesalahpahaman dalam mengartikan atau memahani poin-poin dari RUU PKS yang memang dirasa masih ada kalimat yang masih membingungkan atau bahkan diluar syariat islam. Dan perlu adanya pembahasan atau koreksi bersama publik.

Yang Pertama, RUU PKS banyak yang bilang memperbolehkan LGBT. Faktanya, draft RUU PKS tidak membahas tentang orientasi. Menurut FPI, RUU PKS dianggap berpotensi melegalkan LGBT karena berdasarkan definisi kekerasan seksual dalam RUU PKS terdapat frasa “…terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang…” tanpa ada penjelasan lebih lanjut terkait apa yang dimaksud dengan “hasrat seksual seseorang”, sehingga dapat membuat beberapa kelompok berpandangan bahwa frasa “hasrat seksual seseorang” maksudnya adalah orientasi seksual dan berujung pada pembahasan mengenai LGBT.

Iklan – Lanjutkan Membaca Di Bawah Ini

Salah satu asas penghapusan kekerasan seksual dalam RUU PKS adalah asas non-diskriminasi yakni penghapusan kekerasan seksual dilakukan tanpa pembedaan salah satunya pada jenis kelamin, kondisi fisik atau psikis seseorang sehingga siapapun yang menjadi korban akan tetap memperoleh perlakuan yang sama berdasar kesetaraan dan keadilan. Sehingga meskipun frasa “hasrat seksual seseorang” tidak dijelaskan lebih jauh, akan tetapi pernyataan bahwa RUU PKS berpotensi melegalkan LGBT sama sekali tidak tepat. Justru frasa tersebut ada untuk memberikan perlindungan korban yang dilecehkan sesama jenisnya, termasuk juga laki-laki menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh perempuan.

Baca juga:  Mengenal Tudjimah, Ulama Perempuan Indonesia

Yang kedua, RUU PKS banyak yang bilang Pro seks bebas. Pada Januari 2019 lalu, sempat muncul petisi yang dibuat oleh Maimon Herawati untuk menolak pengesahan RUU PKS dan dalam petisi tersebut tertulis “Awas RUU Pro Zina akan disahkan. Baca dan renungi!”. Menurut Maimon, RUU PKS membuka ruang untuk pembolehan aktivitas seksual yang melanggar agama karena RUU PKS hanya memberikan jerat hukum bagi yang melakukan tindakan pemaksaan dalam hubungan seksual tapi tidak menjerat mereka yang melakukan hubungan seksual atas dasar suka sama suka. Faktanya, dalam RUU PKS tidak termuat ketentuan yang mengatur mengenai seks bebas. Tidak termuatnya ketentuan terkait seks bebas, bukan berarti kemudian RUU PKS mendukung perilaku seks bebas atau zinah.

Dalam pasal 1 angka 1 RUU PKS, kekerasan seksual didefinisikan sebagai:

“Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.”

Frasa “…yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas…” kemudian ditafsirkan oleh sebagian orang bahwa RUU PKS tidak melarang hubungan seksual berdasar suka sama suka dan yang berarti RUU PKS mendukung seks bebas. Padahal, yang menjadi penekanan dalam RUU ini adalah prinsip nir-kekerasan, tanpa ancaman, dan kondisi-kondisi dimana seseorang menjadi tidak mampu untuk memberikan izin.

Baca juga:  Fathimah, Sufi Perempuan dari Naisabur

Perlu adanya pembahasan atau diskusi bersama membahas kalimat atau point-point dari RUU PKS agar mencapai satu pemahaman yang sama, sehingga hal itu bisa mempermudah RUU PKS untuk segera disahkan karena tidak adanya lagi kesalahpahaman atau miskonsepsi oleh segelintir kelompok. Karena pada dasarnya tujuannya untuk keadilan dan menghindari kekerasan seksual pada seluruh masyarakat.

https://alif.id/read/adp/miskonsepsi-ruu-pks-b239014p/