Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 229: Ketentuan Hukum Talak Raj’i dan Khulu’

Dahulu, di kalangan masyarakat Jahiliyah, tiada batasan jumlah talak. Suami kadang menalak istrinya lalu merujuknya, selanjutnya hubungan mereka bisa langgeng. Tapi, ketika sang suami ingin membuat istrinya menderita, maka ia merujuknya sebelum masa ‘iddah-nya habis, selanjutnya ia menjatuhkan talak lagi, demikian berkali-kali sampai amarahnya reda. 

Kemudian datanglah Islam, melalui surat al-Baqarah ayat 229 untuk meluruskan penyelewengan ini. Allah swt menurunkan ayat ini sebagai penjelasan tentang jumlah bilangan talak, di mana seorang suami memungkinkan rujuk kembali tanpa perlu mahar dan wali lagi. Ayat ini turun sekaligus menghapus apa yang telah menjadi kebiasaan mereka selama ini.

Berikut adalah teks, transliterasi, terjemah, dan kutipan beberapa tafsir ulama terhadap Surat Al-Baqarah ayat 229:

اَلطَّلَاقُ مَرَّتٰنِۖ فَاِمْسَاكٌۢ بِمَعْرُوْفٍ اَوْ تَسْرِيْحٌۢ بِاِحْسَانٍۗ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ اَنْ تَأْخُذُوْا مِمَّآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ شَيْـًٔا اِلَّآ اَنْ يَّخَافَآ اَلَّا يُقِيْمَا حُدُوْدَ اللّٰهِۗ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا يُقِيْمَا حُدُوْدَ اللّٰهِۙ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيْمَا افْتَدَتْ بِهٖۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَعْتَدُوْهَاۚ وَمَنْ يَّتَعَدَّ حُدُوْدَ اللّٰهِ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ ۝٢٢٩

Ath-thalâqu marratâni fa imsâkum bima‘rûfin au tasrîḫum bi’iḫsân, wa lâ yaḫillu lakum an ta’khudzû mimmâ âtaitumûhunna syai’an illâ ay yakhâfâ allâ yuqîmâ ḫudûdallâh, fa in khiftum allâ yuqîmâ ḫudûdallâhi fa lâ junâḫa ‘alaihimâ fîmaftadat bih, tilka ḫudûdullâhi fa lâ ta‘tadûhâ, wa may yata‘adda ḫudûdallâhi fa ulâ’ika humudh-dhâlimûn

Artinya: “Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan (rujuk) dengan cara yang patut atau melepaskan (menceraikan) dengan baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu (mahar) yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak mampu menjalankan batas-batas ketentuan Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan batas-batas (ketentuan) Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya. Itulah batas-batas (ketentuan) Allah, janganlah kamu melanggarnya. Siapa yang melanggar batas-batas (ketentuan) Allah, mereka itulah orang-orang zalim.

Asbabun Nuzul Surat Al-Baqarah Ayat 229

Syekh Wahbah Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir memaparkan beberapa sebab turunnya surat Al-Baqarah ayat 229 ini. Berikut adalah paparannya:

Pertama, Imam Tirmidzi, Imam Hakim, dan lainnya meriwayatkan dari Aisyah, beliau berkata:

كان الرجل يطلق امرأته ما شاء أن يطلق، وهي امرأته إذا ارتجعها، وهي في العدة، وإن طلقها مائة مرة وأكثر، حتى قال رجل لامرأته: والله لا أطلقك، فتبيني مني، ولا آويك أبدا، قالت: وكيف ذلك؟ قال: أطلقك، فكلما همت عدتك أن تنقضي، راجعتك، فذهبت المرأة، وأخبرت النبي ﷺ، فسكت حتى نزل القرآن: الطَّلاقُ مَرَّتانِ، فَإِمْساكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسان.

Artinya: “Dulu lelaki menalak istrinya sebanyak yang ia mau, dan kalau ia merujuk sewaktu ‘iddah belum habis, maka wanita itu kembali menjadi istrinya meskipun ia menalak seratus kali atau lebih. Hingga suatu ketika ada seorang lelaki berkata kepada istrinya, “Demi Allah, aku tidak akan menalakmu sehingga ikatan pernikahan kita putus, tapi aku juga tidak akan memberimu tumpangan/tempat tinggal.” Sang istri bertanya,'”Bagaimana bisa begitu?” Lelaki itu berkata, ‘Aku menalakmu, dan setiap kali masa ‘iddah-mu hampir habis, aku merujukmu.’ Wanita itu lantas pergi melapor kepada Nabi saw. Beliau terdiam hingga turunlah Al-Qur’an: الطَّلاقُ مَرَّتانِ، فَإِمْساكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسانٍ. (Talak yang dapat dirujuki dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik.)”

Kedua, Mengenai firman-Nya, وَلا يَحِلُّ لَكُمْ.. Abu Dawud, dalam an-Naasikh wal-Mansuukh, meriwayatkan dari Ibnu Abbas:

كان الرجل يأكل من امرأته نحلة -عطاءه- الذي نحلها وغيره، لا يرى أن عليه جناحا، فأنزل الله: وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا

Artinya: “Dulu lelaki bisa mengambil lagi maskawin dan lain-lain yang telah diberikannya kepada istrinya. Perbuatan itu tidak dipandang dosa. Maka Allah menurunkan firman-Nya, وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا (Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka).

Ketiga, mengenai firman-Nya, فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاّ يُقِيما.. Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan dari Ibnu Juraij:

نزلت هذه الآية في ثابت بن قيس وفي حبيبة، وكانت اشتكته إلى رسول الله ﷺ فقال: أتردين عليه حديقته؟ قالت: نعم، فدعاه، فذكر ذلك له، قال: وتطيب لي بذلك؟ قال: نعم، قال: قد فعلت، فنزلت: ﴿وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلاّ أَنْ يَخافا أَلاّ يُقِيما حُدُودَ اللهِ، فَإِنْ خِفْتُمْ..﴾. الآية.

Artinya: “Ayat ini turun berkenaan dengan Tsabit bin Qais dan istrinya, Habibah. Wanita ini mengadukan suaminya kepada Rasulullah saw. Beliau lantas menanyainya, ‘Maukah kau mengembalikan kebun Tsabit?’ Ia pun menjawab, ‘Ya, saya mau.’ Beliau lantas memanggil Tsabit dan menceritakan permintaan istrinya. Ia berkata, ‘Apakah halal kalau saya mengambil kebun itu?’ Beliau bersabda, “Ya.” Tsabit berkata, “Baiklah kalau begitu. Maka turunlah ayat ini: وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلاّ أَنْ يَخافا أَلاّ يُقِيما حُدُودَ اللهِ، فَإِنْ خِفْتُمْ (Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menialankan hukum-hukum Allah….)”

Keempat, Imam Bukhari, Ibnu Majah, dan Imam Nasa’i meriwayatkan dari lbnu Abbas bahwa Jamilah, yang merupakan saudari Abdullah bin Ubaiy bin Salul serta istri Tsabit bin Qais, menemui Rasulullah saw lalu berkata: 

يا رسول الله، ثابت بن قيس، ما أعتب عليه في خلق ولا دين، ولكن لا أطيقه بغضا، وأكره الكفر في الإسلام ، قال: أتردين عليه حديقته ؟ قالت:نعم، قال: اقبل الحديقة وطلقها تطليقة

Artinya: “Wahai Rasulullah, sebenarnya saya tidak mencela perangai maupun ketaatan Tsabit bin Qais kepada agama, tapi saya tidak suka dengan perawakannya yang jelek, sementara saya tidak mau melakukan perbuatan-perbuatan kafir setelah masuk Islam.” Beliau bertanya, ‘Apakah kau bersedia mengembalikan kebunnya?’ la menjawab, ‘Ya.’ Beliau kemudian bersabda kepada Tsabit, “Terimalah kembali kebun itu dan jatuhkan satu talak kepadanya.” (Syekh Wahbah Az-Zuhaili, Tafsirul Munir, [Damaskus: Darul Fikr, 1991 M], jilid II, hal. 331-332)

Tafsir Al-Qurthubi

Imam Qurthubi dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa dahulu kala, talak pada masyarakat Jahiliah tidak memiliki bilangan tertentu. Saat itu, yang ada hanyalah ukuran masa ‘iddah yang telah menjadi maklum. Inilah yang terjadi pada masa awal Islam, yang disebut dengan burhah, seseorang menalak istrinya sekehendak hati, lantas ketika masa ‘iddah akan berakhir, dia merujuknya kembali.

Lebih detail, Imam Qurthubi juga mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘talak’ adalah lepasnya suatu ikatan yang dibuat antara kedua pasangan dengan lafadz-lafadz yang telah ditentukan. Dari ayat ini dan ayat lain menunjukkan bahwa talak hukumnya boleh. Pun juga berdasarkan sabda Rasulullah saw dalam hadits Ibnu ‘Umar yang berbunyi:

فَإِنْ شَاءَ أَمْسَكَ وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ

Artinya: “Terserah apabila seseorang menginginkan rujuk atau talak.

Rasulullah saw sendiri pernah mentalak Hafshah, meski kemudian rujuk kembali. Hal tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Majah.

Para ulama sepakat bahwa barangsiapa yang menalak istrinya dalam keadaan suci, belum tersentuh oleh dirinya, berarti dia telah mentalak secara sunah. Sedangkan untuk masa ‘iddah, sebagaimana yang Allah swt perintahkan, suami diperbolehkan melakukan rujuk apabila istri telah dicampurinya sebelum melewati masa ‘iddah. Jika sang istri telah melewati masa ‘iddah, maka suami harus memulai akad baru jika ingin rujuk. (Imam Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, [Kairo: Darul Kutub Al-Mishriyyah, 1964], jilid. III, hal. 126)

Talak Sharih dan Kinayah

Merujuk pendapat Imam Qurthubi, talak sharih adalah talak yang lafadznya tidak membutuhkan adanya niat, tetapi cukup dengan lafadz jatuhnya talak. Sedangkan talak kinayah adalah talak yang lafadznya membutuhkan adanya niat.

Imam Syafi’i berpendapat bahwa ada tiga lafadz talak sharih, yaitu lafadz yang terdapat dalam al-Qur’an berupa lafadz, الطَّلَاقِ, السَّرَاحِ, dan الْفِرَاقِ. Allah berfirman, أَوْ فارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ (atau lepaskanlah mereka dengan baik), firman Allah lainnya, أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسانٍ (atau menceraikan dengan cara yang baik), dan firman-Nya, فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ (maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) ‘iddah-nya (yang wajar). (Imam Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, [Kairo: Darul Kutub Al-Mishriyyah, 1964], jilid. III, hal. 133)

Contoh Talak Sharih

Para ulama tidak berbeda pendapat tentang seseorang yang berkata kepada istrinya, “Aku telah menalakmu”, bahwa itu termasuk dari lafadz sharih, baik yang telah dicampuri ataupun belum. Sehingga, barang siapa yang berkata kepada istrinya, “Kamu telah ditalak”, maka jatuh satu talak, kecuali apabila dia berniat lebih dari itu.

Jika berniat dua atau tiga kali, maka jatuhlah apa yang diniatkan, namun bila tidak berniat, maka jatuh satu talak yang boleh dirujuk. Bila dia berkata, “Kamu telah ditalak”, kemudian dia berkata, “Aku ingin mengikat”, maka ucapannya tidak berlaku dan mesti terjadi talak, kecuali apabila terdapat hal-hal yang menunjukkan kebenarannya. (Imam Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, [Kairo: Darul Kutub Al-Mishriyyah, 1964], jilid. III, hal. 134)

At-Tafsirul Munir

Syekh Wahbah Zuhaili dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa ayat ini mengkhususkan firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 228, yang menjelaskan jumlah talak yang boleh dirujuk dan jumlah yang tidak ada rujuknya. 

Arti dari ayat ini, masih menurut Syekh Wahbah, adalah bahwa jumlah talak yang diperbolehkan bagi laki-laki untuk rujuk adalah dua kali saja. Setelah dua talak, laki-laki hanya bisa memilih salah satu dari dua hal; yakni menahan istrinya dan menggaulinya dengan baik, atau menceraikannya dengan cara yang baik (yakni membiarkannya sampai masa ‘iddah talak keduanya habis dan tidak merujukinya).

Hikmah Pembatasan Jumlah Talak dan Hak Rujuk

Menurut Syekh Wahbah, hikmah pembatasan talak menjadi dua dan pemberian hak rujuk setelah talak pertama dan kedua adalah memberi suami dan istri kesempatan untuk memperbaiki dirinya masing-masing. Karena segala kondisi dapat diketahui dari lawannya, dan biasanya manusia tidak menyadari nilai suatu nikmat hingga ia merasakan getirnya siksa atau hukuman. 

Adakalanya seorang laki-laki mudah tersinggung (temperamental) dan berwatak buruk sehingga secara gegabah ia menjatuhkan talak berulang kali. Namun, kesunyian akibat berpisah dari istri, serta rumah dan anak-anak yang memerlukan perhatian, membuatnya insyaf dan menyesali keburukan perangainya, memperbaiki perlakuannya terhadap istri, dan menggaulinya dengan baik sebagaimana diperintahkan Allah swt.

Begitu pula istri terkadang mengabaikan hak-hak suami, rumah, dan anak-anaknya, bersikap angkuh dan masa bodoh. Jika ia sudah merasakan pedihnya perpisahan dan getirnya perceraian, serta ia sadar akan kesalahan-kesalahannya, ia akan kembali ke kehidupan pernikahan dengan wajah baru dan perilaku yang lebih baik daripada sebelumnya.

Dengan sikap mengalah seperti ini dari mereka berdua (suami dan istri), disertai dengan kesediaan untuk mencari solusi yang paling tepat bagi kemaslahatan kedua pihak, serta dengan pandangan yang jauh akan masa depan keluarga dan anak-anak, niscaya ikatan pernikahan bisa diperbarui dan diarahkan secara bijak dan tepat, disertai perasaan diawasi oleh Allah swt dalam segala hal, tanpa sikap mengabaikan maupun berlebih-lebihan, tanpa sikap zalim dan aniaya dari salah satu pihak terhadap pihak lainnya; dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik. (Syekh Wahbah Az-Zuhaili, Tafsirul Munir, [Damaskus: Darul Fikr, 1991 M], jilid II, hal. 334-335)

Jumlah Talak dan Aturan dalam Penjatuhan Talak

Menurut Syekh Wahbah, talak artinya pemutusan ikatan pernikahan dengan kata-kata tertentu. Berdasarkan ayat ini dan lainnya talak berhukum mubah. Para ulama berijma’ bahwa talak yang dijatuhkan suami terhadap istrinya pada masa suci dan mereka belum berhubungan badan pada masa suci tersebut merupakan talak yang sesuai dengan aturan agama (dikenal dengan istilah talak sunny). Suami berhak merujuk istrinya yang sudah pernah digaulinya sebelum ‘iddah-nya habis. Jika ‘iddah -nya sudah habis, ia hanya berhak melamar, statusnya sama seperti lelaki lain.

Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Mujahid, dan lain-lain berpendapat bahwa maksud dari ayat ini adalah memperkenalkan cara menjatuhkan talak (yakni harus secara terpisah). Barangsiapa sudah menalak dua kali, maka untuk kesempatan ketiga ia harus berhati-hati; hendaknya ia meninggalkan istrinya tanpa menzalimi haknya sedikit pun, atau ia menahannya sebagai istri dan harus menggaulinya dengan baik. 

Menurut al-Qurthubi, ayat ini mencakup kedua makna itu, yakni menentukan jumlah talak dan menjelaskan bahwa talak harus dijatuhkan secara terpisah. Dalil mereka adalah riwayat Ibnu Jarir ath-Thabari dari Ibnu Mas’ud tentang firman Allah swt. اَلطَّلَاقُ مَرَّتٰنِۖ: “Lelaki menceraikan istrinya setelah suci dari haid sebelum mereka berjima’, lalu ia membiarkannya sampai suci lagi, kemudian menceraikannya kalau mau, lalu ia boleh merujuknya kalau mau, kemudian ia menceraikannya kalau mau; kalau tidak, hendaknya ia membiarkannya sampai tiga haid, dan dengan begitu istrinya telah putus hubungan dengannya.”

Selain itu, Allah berfirman, “talak itu dua kali”, dan ini berarti talak itu semestinya dua kali secara terpisah, sebab kalau keduanya dijatuhkan secara bersama berarti ia bukan “dua kali“.

Lebih detail, Syekh Wahbah juga mengatakan bahwa syariat membolehkan talak guna menghindari mudarat yang lebih besar dan merealisasikan maslahat yang lebih banyak. Ia tidak dilakukan kecuali dalam kondisi darurat. 

Allah, lanjut Syekh Wahbah, mensyariatkan talak dua kali secara terpisah dalam dua masa suci, sebagaimana diajarkan Sunnah, tidak secara sekaligus. Dan setelah itu terserah suami apakah akan menahan istrinya atau menalak dan meneruskan talaknya. 

Aturan ini memberi kemudahan kepada manusia, apalagi biasanya talak itu mereka maksudkan sebagai gertakan dan ancaman belaka, bukan benar-benar mereka maksudkan sebagai talak. Selain itu, perceraian sudah terjadi dengan satu talak; maka talak berikutnya hanya merupakan penegasan baginya. (Syekh Wahbah Az-Zuhaili, Tafsirul Munir, [Damaskus: Darul Fikr, 1991 M], jilid II, hal. 339-342)

Ketentuan Talak Khulu’

Merujuk penjelasan Syekh Wahbah, Allah swt melarang suami mengambil lagi segala pemberiannya kepada istri untuk menyengsarakannya apabila ia menalak istrinya itu. Secara khusus, Allah menyebut pemberian suami kepada istri karena, pada saat terjadi pertikaian, biasanya lelaki meminta kembali mas kawin dan perabot rumah yang telah diberikannya kepada istrinya.

Namun, jika istri membayar tebusan atas talak, suami boleh mengambilnya -menurut jumhur- kalau nusyuz terjadi dari pihak istri. Sebagian ulama (yakni Dawud azh-Zhahiri) berpendapat bahwa yang membolehkan pengambilan tebusan ini adalah kekhawatiran bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah lantaran masing-masing tidak suka hidup bersama pasangannya. 

Adapun pendapat yang lebih kuat, menurut Syekh Wahbah adalah pendapat pertama, yakni adanya nusyuz dan keburukan tingkah laku istri merupakan alasan yang cukup untuk bolehnya mengambil tebusan, meskipun lahiriah ayat ini menguatkan pendapat selain jumhur.

Atas dasar ini, khulu’ hukumnya boleh menurut mayoritas ulama, baik dalam kondisi adanya kekhawatiran maupun tidak dalam kondisi seperti itu, dengan dalil firman Allah swt,

فَاِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْۤـــًٔا مَّرِيْۤـــًٔا ۝٤

Artinya: “Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (mahar) itu dengan senang hati, terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.” (QS. An-Nisa’: 4)

Jumhur berpendapat bahwa harta tebusan dalam khulu’ boleh lebih dari jumlah harta yang telah diberikan suami kepada istrinya, karena khulu’ adalah akad pertukaran yang mestinya tidak terikat dengan ukuran atau jumlah tertentu.

Hanya saja, ini makruh menurut madzhab Hanafi, dan menurut madzhab lainnya. Suami tidak dianjurkan mengambil tebusan lebih banyak dari apa yang sudah ia berikan kepada istrinya, dengan dalil kisah istri Tsabit bin Qais yang telah disebutkan sebelumnya, di mana Nabi saw bersabda dalam kisah itu, “Apakah kamu akan mengembalikan kebunnya kepadanya?” Wanita itu menjawab, “Ya, malah akan saya tambah.” Nabi saw. lantas bersabda,

أما الزيادة فلا

Artinya: “Tambahannya tidak boleh.

Khulu’, Talak atau Faskh?

Merujuk penjelasan Syekh Wahbah, Jumhur (madzhab Hanafi, Maliki, dan pendapat yang rajih dalam madzhab Syafi’i) khulu’ adalah talak, bukan faskh. Talak dengan khulu’ ini adalah talak ba’in. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:

فَلا جُناحَ عَلَيْهِما فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ

Artinya: “Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya” (QS Al-Baqarah 229)

Dan bayaran tersebut baru bisa disebut tebusan apabila si istri telah lepas dari kekuasaan suaminya. Sekiranya talak ini bukan talak ba’in, tentu suami punya hak untuk merujuk istrinya, dan si istri masih berada di bawah genggamannya. Selain itu, tujuan khulu’ adalah melenyapkan kesengsaraan istri, maka kalau boleh rujuk tentu kesengsaraan itu akan kembali dialaminya.

Khulu’ digolongkan sebagai talak karena seandainya ia adalah faskh, tentu tebusannya tidak boleh lebih dari besarnya mahar, sama seperti ‘iqaalah dalam jual-beli. Padahal kenyataannya khulu’ boleh lebih dari mahar dan jika ia tidak bisa digolongkan sebagai fasakh, berarti ia termasuk talak.

Apakah Suami Harus Menerima Khulu’?

Merujuk penjelasan Syekh Wahbah, semua fuqaha berpendapat bahwa lelaki tidak diharuskan menerima khulu’. Jadi, harus ada keridaan dari kedua pihak. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

وَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضِ مَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اِلَّآ اَنْ يَّأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍۚ ۝١٩

Artinya: “Janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata.” (QS. An-Nisa’: 19).

Dalil lain adalah firman-Nya:

فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا يُقِيْمَا حُدُوْدَ اللّٰهِۙ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيْمَا افْتَدَتْ بِهٖۗ ۝٢٢٩

Artinya: “Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan batas-batas (ketentuan) Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya.” (QS. Al-Baqarah: 229)

Kelayakan untuk Melakukan Khulu’

Setiap orang yang sah talaknya, sah pula khulu’-nya. Jadi, khulu’ terhitung sah -menurut jumhur- bila dilakukan oleh pria baligh dan berakal, baik ia rasyid (bijak dalam mengurus harta) maupun safih (bodoh tak bijak dalam pembelanjaan harta). 

Madzhab Hambali mensahkan khulu’ yang dilakukan oleh lelaki mumayyiz yang memahami khulu’. Adapun orang yang tidak sah talaknya dan tidak sah khulu’-nya adalah anak kecil, orang gila, orang idiot, dan orang yang cacat akalnya karena penyakit atau usia lanjut.

Wanita yang rasyid boleh melakukan khulu’, menurut jumhur. Adapun wanita yang safih tidak boleh, karena ia tidak punya kelayakan untuk melakukan akad. Khulu’ yang dilakukan oleh hakim yang menjadi wali bagi orang yang tidak mukallaf (misalnya anak kecil atau orang gila) adalah sah apabila khulu’ itu mengandung maslahat. 

Imam Abu Hanifah, Syafi’i, dan Ahmad tidak membolehkan ayah untuk melakukan khulu’ (begitu pula talak) terhadap istri putranya yang masih kecil atau putranya yang gila. Sedangkan menurut Malik, ayah boleh melakukan khulu’ untuk putranya dan putrinya yang masih kecil karena menurutnya sang ayah mewakili putranya menjatuhkan talak dan menikahkan putrinya. 

Adapun talak sesudah khulu’ dalam masa ‘iddah (misalnya, suami melakukan khulu’ terhadap istrinya, lalu ia menalaknya sementara istri dalam masa ‘iddah), ‘iddah talak itu harus dijalaninya (menurut madzhab Hanafi). Sedangkan menurut jumhur (Maliki, Syafi’i, dan Ahmad) ia tidak harus menjalani ‘iddah talak itu. (Syekh Wahbah Az-Zuhaili, Tafsirul Munir, [Damaskus: Darul Fikr, 1991 M], jilid II, hal. 342-345)

Dari paparan ini dapat kita mengerti, surat Al-Baqarah ayat 229, mengandung bahasan utama perihal beberapa ketentuan hukum yang masih berkaitan dengan talak raj’i dan talak khulu’. Wallahu a’lam.

M. Ryan Romadhon, Alumni Ma’had Aly Al-Iman Bulus, Purworejo, Jawa Tengah.

https://islam.nu.or.id/tafsir/tafsir-surat-al-baqarah-ayat-229-ketentuan-hukum-talak-raj-i-dan-khulu-4TXcs