Al-Khulasah, Al-Ghazali dan Genealogi Turats Mazhab Syafi’i (Bagian l)

Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad Al-Ghazali al-Thusi al-Syafi’i atau Imam Al-Ghazali dijuluki sang arsitek peradaban dan komposer keilmuan Islam. Dunia mengenalnya dengan sempurna sebagai tokoh besar yang pernah dimiliki oleh Islam sekitar 9 abad yang lalu. Imam Al-Ghazali lahir pada tahun 450 H di Kota Thus, wilayah Khurasan Persia (sekarang Iran) dan wafat pada tahun 505 H di tempat yang sama.

 

Tidak seperti sebagian ulama lain yang terkenal setelah mereka wafat dan dipopulerkan oleh murid-muridnya, Imam Al-Ghazali sudah terkenal sejak masih hidup, dan menjadi lebih melegenda seiring berjalannya waktu. Imam al-Haramain al-Juwaini sebagai gurunya bahkan mengatakan, “Kamu (Al-Ghazali) telah menguburku padahal aku masih hidup. Tidakkah kau sabar sebentar? Kitab-kitabmu telah mengalahkan kitab-kitabku.” (Siyar A’lām al-Nubalā’, juz 19, hal. 335).

 

Hal yang menakjubkan dari Al-Ghazali adalah bahwa ia merupakan figur sentral dari berbagai macam disiplin ilmu, mulai dari tasawwuf, filsafat, aqidah, fikih, ushul dan lain-lain. Tidak banyak ulama yang mampu melakukannya.

 

Di dalam bidang fikih, posisi strategis Al-Ghazali terlihat dari karya-karyanya yang menjadi penghubung genealogi Mazhab Syafi’i. Di antara karya tersebut adalah al-Basīth, al-Wasīth, al-Wajīz, dan berikutnya al-Khulāṣah. Begitu fenomenalnya kitab al-Wajīz sampai-sampai dikatakan jika seandainya Imam Al-Ghazali menjadi nabi, maka al-Wajīz adalah mukjizatnya.

 

Tidak hanya al-Wajīz, kitab yang disebut terakhir (al-Khulāṣah) juga mendapat banyak pujian dari para ulama. Imam Abdullah ibn Abi Bakar al-‘Alaydrus, misalnya, mengatakan dalam Ta’rīf al-Aḥyā’ bahwa “Siapa yang menginginkan jalan keridhaan Allah dan Rasul-Nya, maka hendaknya ia mempelajari kitab-kitab Al-Ghazali, khususnya kitab al-Khulāṣah dalam soal fikih, karena di dalamnya terdapat cahaya.”

 

Kitab al-Khulāṣah barangkali memang agak berbeda. Di dalam konteks ini, al-Khulāṣah masih menjadi perdebatan di kalangan para ulama; baik tentang apakah ia memiliki keterkaitan dengan karya-karya Al-Ghazali yang lain, atau ia diadopsi dari karya kitab mazhab sebelumnya, atau ia disusun secara otonom (matan). Tidak hanya itu, bahkan nama dari kitab ini juga memiliki banyak versi.

 

Banyak yang mengira bahwa kitab al-Khulāṣah merupakan ringkasan (mukhtasar) dari kitab al-Wajīz. Sebagaimana al-Wajīz juga sebuah mukhtasar dari kitab al-Wasīth, dan al-Wasīth adalah versi mukhtasar dari kitab al-Basīth.

 

Persoalan ini kemudian mendorong Amjad Rashid untuk melakukan tahqiq (verifikasi) terhadap kitab al-Khulāṣah sebagai syarat untuk meraih gelar Doktor dalam bidang fikih. Dimana karya tahqiqnya kemudian dipersembahkan dan dicetak oleh penerbit Dar al-Minhaj, Jeddah.

 

Lantas, bagaimana sebenarnya rantai genealogi turas Mazhab Syafi’i itu saling bertemu? Dan di mana posisi kitab al-Khulāṣah di dalamnya?

 

Genealogi Turats
Sebagaimana diketahui, bahwa dalam bidang fikih, terdapat empat karya induk yang menjadi sentrifugal Mazhab Syafi’i, yakni al-Umm, al-Imla’, Mukhtaṣar al-Buwaithī, dan Mukhtaṣar al-Muzannī. Dua yang pertama (menurut pendapat yang kuat) ditulis oleh Imam Syafi’i sendiri, sedang dua yang terakhir ditulis oleh muridnya yang dinisbatkan kepada Imam Syafi’i. Mereka adalah Yusuf ibn Yahya al-Buwaithi dan Ismail ibn Yahya al-Muzanni.

 

Al-Mukhtaṣar al-Muzannī, kemudian menjadi salah satu kitab terpenting dalam Mazhab Syafi’i. Terbukti, darinya muncul banyak sekali kitab syarah seperti; al-Ḥāwī al-Kabīr karya Imam al-Mawardi, Baḥr al-Mazhab karya al-Ruyani, al-Ta’liqah karya Abu Thayyib al-Thabari (dari sinilah lahir Majmu’ Imam Nawawi), al-Ta’liqah karya Qadhi Husein, dll. Dari sejumlah karya besar tersebut, syarah yang paling fenomenal adalah milik Imam al-Haramain, Nihāyah al-Mathlab wa Dirāyah al-Mazhab.

 

Kitab Nihāyah ini kemudian diringkas oleh Al-Ghazali menjadi al-Basīth (yang luas). Dirasa masih terlalu besar, Al-Ghazali kemudian meringkasnya lagi menjadi al-Wasīth (yang sedang), dan diringkas lagi menjadi al-Wajīz (yang singkat). Setelah al-Wajiz inilah posisi al-Khulāṣah sedang diperdebatkan.

 

Jauh setelah itu, dari al-Wajīz ini kemudian lahir dua jalur yang dibuat oleh Imam Rafi’i, yaitu Syarah dan Mukhtasar. Dalam versi Syarah, Imam Rafi’i mengarang dua kitab, yaitu Syaraḥ al-Saghīr dan Syaraḥ al-Kabīr. Syarah al-Saghir, kabarnya hari ini masih berbentuk manuskrip karena baru ditemukan, sedang untuk Syaraḥ al-Kabīr diberi nama Fatḥ al-‘Azīz fī Syarḥ al-Wajīz.

 

Fatḥ al-‘Azīz kemudian diringkas oleh Imam Nawawi dengan kitab Raudhah al-Thālibīn, yang juga melahirkan syarah bernama al-Muhimmat karya al-Isnawi, dan versi mukhtasar bernama al-‘Ubāb karya Ahmad ibn Umar al-Zabidi. Kitab al-‘Ubāb kemudian disyarah oleh Ibn Hajar al-Haitami dengan al-‘Ī’āb Syarḥ al-‘Ubāb. Sedang jalur lain (mukhtasar), Raudhah al-Thālibīn juga diringkas oleh Syaraf al-Din al-Muqri dengan nama Raudh al-Thālib, lalu ia disyarah oleh Syaikh al-Islam al-Zakariya al-Ansari dengan karya bernama Asna al-Mathālib Syarḥ Raudh al-Thālib. Inilah jalur pertama rantai emas Mazhab Syafi’i.

 

Sementara jalur kedua yang bercabang dari al-Wajīz yang dibuat oleh Imam Rafi’i di atas adalah kitab al-Muḥarar, ringkasan dari al-Wajīz. Al-Muḥarar kemudian disyarah oleh Imam Nawawi dengan nama Minhāj al-Thālibīn. Kitab ini berhasil mengguncang perhatian para ulama karena kehebatan Imam Nawawi di dalam menyusun dan memetakan berbagai pendapat.

 

Buah dari itu, lahirlah banyak sekali syarah terhadapnya, beberapa sumber menyebut tidak kurang dari 1000 syarah. Empat syarah yang paling terkenal adalah; Kanz al-Rāghibīn karya al-Mahalli, Tuḥfah al-Muḥtāj karya Ibn Hajar al-‘Asqalani, Mughni al-Muḥtāj karya Khatib al-Syirbini, dan Nihāyah al-Muḥtāj karya Imam al-Ramli. Dikatakan bahwa siapa saja yang mampu memahami empat kitab syarah al-Minhāj ini, maka ia dapat memahami seluruh konsep fikih dan mampu melakukan istinbath hukum (lihat, Kasyf al-Dzunūn).

 

Tidak berhenti di sini, kitab Minhāj al-Thālibīn di atas kemudian diringkas oleh Syaikh al-Islam Zakariya al-Anshari dengan Manhaj al-Thullāb. Manhaj al-Thullāb kemudian disyarah oleh al-Anshari sendiri dalam Fatḥ al-Wahhāb, kitab yang banyak dipelajari di pesantren-pesantren pada umumnya. Terdapat dua hasyiah yang terkenal terhadap Fatḥ al-Wahhāb, yakni Ḥāsyiah al-Jamal dan Ḥāsyiah al-Bijīramī.

 

Meskipun telah banyak karya yang disebutkan dalam rantai genealogi mazhab di atas, karya-karya yang belum disebutkan masih lebih banyak lagi, baik itu berupa syarah, mukhtasar, hasyiah, mandzumah, ta’liqat, taqrirat dan sebagainya. Di dalam konteks ini, tidak heran jika dikatakan Mazhab Syafi’i merupakan Mazhab dengan literatur yang paling kaya, dan Ashab al-Syafi’iyah adalah ulama-ulama yang paling produktif.

 

Identitas Kitab:

Judul: Al-Khulasah al-Mukhtasar wa Naqawah al-Mu’tasar
Penulis: Abu Hamid Al-Ghazali
Muhaqqiq: Dr. Amjad Rashid
Penerbit: Dar al-Minhaj
Tahun terbit: 2020
Tebal: 832 halaman (1 jilid)
ISBN: 9789953498041
Peresensi: M Ikhya Ulumuddin Al Hikam, peneliti muda sekaligus founder kajiantafsir.id.


https://jatim.nu.or.id/pustaka/al-khulasah-al-ghazali-dan-genealogi-turats-mazhab-syafi-i-bagian-l-cbNpT