Ruqyah: Antara Pengobatan Spiritual dan Fenomena Kesurupan

Oleh: Zainal Arifin

 

Ruqyah adalah metode pengobatan spiritual dalam Islam yang menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an dan doa-doa tertentu untuk mengobati berbagai penyakit, baik yang bersifat fisik maupun non-fisik. Di Indonesia, metode ruqyah ini sudah lama dikenal, bahkan diterapkan oleh para kiai dan ulama dari generasi ke generasi. Namun, ada perbedaan yang cukup mencolok antara metode ruqyah yang dilakukan para kiai zaman dahulu dan praktik ruqyah yang populer di masa kini.

 

Ruqyah Kiai Zaman Dulu
Para kiai dan ulama terdahulu memandang ruqyah sebagai salah satu bentuk pengobatan yang sarat dengan nilai spiritual. Kegiatan ruqyah dilaksanakan dengan ketenangan, kekhusyukan, dan jauh dari kesan dramatis. Pada intinya, ruqyah yang mereka lakukan berfokus pada doa-doa yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis serta menggunakan zikir sebagai metode terapi.

 

Berbeda dengan praktik ruqyah yang kadang terlihat dramatis di masa kini, ruqyah oleh para kiai masa lalu penuh dengan kedamaian dan jauh dari fenomena keras seperti kesurupan atau reaksi fisik yang kuat.

 

Para kiai sangat mempercayai bahwa ayat-ayat Al-Qur’an memiliki kekuatan luar biasa untuk menenangkan hati dan mendekatkan pasien kepada Allah, Sang Penyembuh. Mereka menyadari bahwa ketenangan jiwa adalah bagian penting dari proses penyembuhan. Dengan demikian, praktik ruqyah dilakukan dalam suasana yang damai, tidak melibatkan teriakan atau upaya keras yang dapat membuat pasien merasa tidak nyaman atau ketakutan.

 

Dalam proses penyembuhan ini, para kiai juga menekankan pentingnya pendekatan yang penuh hikmah dan kelembutan. Mereka memahami bahwa kondisi pasien yang datang sering kali berkaitan dengan tekanan psikologis atau gangguan emosional. Oleh karenanya, ruqyah mereka lebih banyak berupa bimbingan spiritual yang mendalam, pasien didorong untuk memperkuat ikatan dengan Allah melalui zikir dan amalan-amalan tertentu.

 

Dalam banyak kasus, pasien dianjurkan untuk menjadikan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai bagian dari zikir harian yang akan membantu mereka menghadapi tantangan hidup dengan ketenangan dan keyakinan yang lebih kokoh.

 

Para kiai di masa lalu juga tidak semata-mata mengandalkan ruqyah. Mereka kerap memadukan terapi spiritual ini dengan pengetahuan kesehatan tradisional yang diperoleh dari pengalaman serta ajaran turun-temurun. Mereka memahami tentang penggunaan ramuan herbal atau pijat tradisional yang bisa membantu memperkuat tubuh, dan menenangkan pikiran pasien. Dengan pendekatan holistik ini, ruqyah tidak hanya bertujuan mengobati gejala fisik atau gangguan psikis tetapi juga menumbuhkan keimanan, ketenangan jiwa, dan kedekatan kepada Allah sebagai bagian dari penyembuhan.

 

Praktik ruqyah oleh para kiai masa lalu mencerminkan kearifan lokal dan kebijaksanaan yang penuh makna. Dengan pendekatan ini, mereka telah berhasil merawat umat dan membantu mereka memperoleh keseimbangan jiwa serta kesehatan.

 

Ruqyah Masa Kini
Di masa kini, sebagian besar metode ruqyah telah mengalami pergeseran. Ruqyah kerap dipraktikkan dengan harapan mendapatkan respons cepat, seringkali disertai dengan fenomena “kesurupan” yang dianggap sebagai tanda adanya gangguan. Fenomena ini kemudian dianggap sebagai indikator keberhasilan ruqyah karena adanya reaksi spontan dari pasien yang sering kali berupa jeritan, kejang, atau bahkan kehilangan kesadaran.

 

Pendekatan ini disinyalir muncul karena tuntutan masyarakat yang menginginkan hasil yang cepat serta pengaruh media yang sering kali menampilkan ruqyah dalam bentuk yang dramatis dan terkesan “menakutkan”. Kondisi ini kemudian membentuk persepsi masyarakat bahwa ruqyah adalah metode pengobatan yang identik dengan fenomena kesurupan atau ekspresi fisik yang tidak terkendali. Akibatnya, citra ruqyah pun mengalami perubahan, dari yang dulunya dianggap sebagai metode pengobatan yang menenangkan menjadi ritual yang cenderung menegangkan.

 

Banyak tayangan media dan video-video di internet yang menampilkan proses ruqyah dengan pasien yang mengalami reaksi keras, seperti menjerit, berteriak, atau menunjukkan gerakan tidak terkendali. Fenomena ini kadang dianggap sebagai tanda bahwa pasien sedang dirasuki jin atau makhluk gaib lainnya. Hal ini menciptakan anggapan umum di masyarakat bahwa ruqyah selalu identik dengan kesurupan atau reaksi emosional yang ekstrem.

 

Dalam beberapa kasus, efek kesurupan yang tampak mungkin sebenarnya adalah manifestasi dari sugesti atau dorongan psikologis. Beberapa praktisi ruqyah masa kini mungkin tidak sepenuhnya memahami cara menangani pasien secara holistik dan malah menekankan pada “penyembuhan cepat” dengan eksorsisme atau pemaksaan. Pendekatan ini bisa jadi kurang sesuai dengan esensi ruqyah yang sebenarnya, yaitu proses penyembuhan yang menenangkan dan membawa ketentraman jiwa.

 

Mengembalikan Ruqyah pada Hakikatnya
Dalam perkembangannya, pandangan masyarakat terhadap ruqyah sering kali berubah, bahkan terkesan menyimpang dari tujuan utamanya. Kesurupan, perilaku ekstrem, dan fenomena yang tak terkendali kerap dianggap sebagai bagian dari ruqyah. Kondisi ini menjadikan ruqyah tidak lagi dipandang sebagai bentuk pengobatan spiritual yang mendekatkan diri pada Allah, melainkan sebuah praktik yang mengesankan hal mistis atau menyeramkan.

 

Para ulama dan terapis yang memahami esensi ruqyah kini berupaya meluruskan pemahaman ini, mengajak masyarakat untuk kembali kepada hakikat ruqyah sebagai ibadah yang menenangkan dan menyejukkan. Mereka berusaha mengembalikan ruqyah ke konsep dasarnya, yaitu sarana mendekatkan diri kepada Allah dan memohon kesembuhan dengan tenang. Hal ini penting agar ruqyah tidak dipandang sebagai sekadar cara untuk mengatasi gangguan mistis, melainkan sebagai terapi yang holistik, mencakup penyembuhan fisik dan spiritual yang menyeluruh.

 

Esensi ruqyah adalah mengingatkan pasien akan kekuasaan Allah sebagai Sang Maha Penyembuh. Para kiai dan terapis berusaha menekankan bahwa ruqyah bukan sekadar bacaan atau ritual, tetapi merupakan ibadah yang memerlukan keikhlasan dan ketenangan. Dengan memahami bahwa segala penyakit bersumber dari izin Allah dan kesembuhan pun datang dari-Nya, pasien akan lebih dekat pada tawakal dan keyakinan. Para terapis yang berpegang pada nilai-nilai ini juga sering kali mengajarkan pasien untuk terus berzikir, membaca Al-Qur’an, dan berdoa dengan penuh harapan akan rahmat Allah.

 

Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengembalikan esensi ruqyah adalah mengurangi drama atau aksi-aksi yang mengesankan sesuatu yang mistis. Ruqyah tidak seharusnya menonjolkan hal-hal menyeramkan yang justru menambah ketakutan bagi pasien. Metode ini sebenarnya bisa dilakukan dengan tenang dan tanpa paksaan, sesuai dengan ajaran para ulama yang mengutamakan ketenangan dan kedamaian dalam proses penyembuhan.

 

Pendekatan ini juga diambil dari ajaran para kiai zaman dulu, yang menekankan keikhlasan dan ketenangan dalam mengatasi masalah kesehatan. Seorang terapis yang bijaksana dan memahami nilai-nilai ruqyah akan menghindari kesan yang berlebihan, fokus pada penyembuhan, dan menciptakan suasana yang damai. Dengan cara ini, pasien dapat merasakan kenyamanan dan tidak merasa cemas atau takut.

 

Upaya meluruskan pandangan masyarakat tentang ruqyah tentu membutuhkan kerja sama semua pihak, baik para ulama, terapis, maupun masyarakat itu sendiri. Pendidikan mengenai ruqyah yang benar perlu diperkuat, dengan mengingatkan masyarakat bahwa ruqyah bukanlah sesuatu yang berlebihan atau penuh dengan aura mistis. Penyembuhan melalui ruqyah seharusnya mencerminkan kasih sayang dan ketulusan seorang terapis dalam membantu sesama.

 

Kesimpulan
Ruqyah sebenarnya adalah metode penyembuhan yang dapat memberikan ketenangan, pengobatan, dan kedekatan dengan Sang Pencipta tanpa harus mengidentikkannya dengan fenomena kesurupan. Para kiai di zaman dahulu telah memberikan contoh bahwa ruqyah bisa dilakukan dengan tenang dan damai, tanpa melibatkan hal-hal yang menakutkan. Dengan kembali kepada esensi asli ruqyah, diharapkan praktik pengobatan ini dapat diterima lebih luas dan memberikan manfaat bagi kesehatan fisik maupun spiritual tanpa adanya kesalahpahaman atau stigma.

 

*) Zainal Arifin, Ketua Lembaga Ta’lif wan-Nasyr Nahdlatul Ulama (LTNNU) Kraksaan, sekaligus Divisi Informasi dan Komunikasi (Infokom) Pengurus Pusat Majelis Terapis Nusantara (PP Mantra).


https://jatim.nu.or.id/opini/ruqyah-antara-pengobatan-spiritual-dan-fenomena-kesurupan-vcMp6