Jakarta, NU Online
Nahdlatul Ulama memiliki potensi besar dalam ikhtiar mengatasi konflik di Timur Tengah. NU telah aktif di berbagai forum global guna menyuarakan perdamaian dunia, mulai dari Konferensi Islam Asia Afrika di 1965 hingga kerja sama pada G20 atas Religion of Twenty (R20).
Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan hal itu saat menjadi pembicara kunci pada diskusi panel Humanitarian Islam dan Pendekatan Agama terhadap Perdamaian di Timur Tengah yang digelar di Aula Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Jakarta, Jumat (22/11/2024).
“PBNU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia dan dunia harus me-lead dalam upaya perdamaian Timur Tengah, dengan menggunakan pendekatan humanitarian Islam dan lintas agama, melibatkan berbagai pihak,” kata Luhut saat memberikan sambutan.
Menurutnya, dengan anggota lebih dari 100 juta, NU telah mencapai 18 kali lipat dari Ikhwanul Muslimin di Mesir. Dengan demikian, NU memiliki kekuatan politik yang besar, termasuk dalam penentuan arah politik nasional.
Dampak Konflik terhadap Ekonomi Indonesia
Luhut dalam presentasinya juga memaparkan bahwa konflik Timur Tengah berpotensi memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia dan target pembangunan lainnya.
Ekspor, katanya, berpotensi menurun akibat perlambatan ekonomi dunia. Impor meningkat seiring peningkatan harga komoditas, terutama minyak.
“Inflasi berpotensi meningkat akibat kenaikan harga impor dan BBM. Konsumsi rumah tangga menurun akibat peningkatan inflasi. Meningkatnya ketidakpastian mendorong capital outflow dan menurunkan minat investasi global,” tambahnya.
Bagi Luhut, di tengah berbagai tantangan yang ada, ekonomi dunia, termasuk Indonesia, tidak bisa menanggung beban yang lebih besar lagi dari dampak perang, termasuk perang di Timur Tengah.
Penyelesaian perang yang lama dan potensi meluasnya skala perang di Timur Tengah berdampak signifikan tidak hanya terhadap ekonomi yang terlibat atau di kawasan, tetapi juga ekonomi dunia, melalui peningkatan harga minyak, terganggunya rantai pasokan dunia, dan turunnya pertumbuhan ekonomi.
Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman ini mengatakan, dampak negatif yang sama dapat dirasakan oleh Indonesia, yang berpotensi mengganggu pencapaian target pertumbuhan dan pembangunan yang sangat dibutuhkan untuk mencapai target pemerintahan Presiden Prabowo maupun Visi Indonesia Emas 2045.
Indonesia sebagai negara dengan demokrasi muslim terbesar di dunia, baik secara populasi maupun ukuran ekonomi, harus dapat memainkan peran yang aktif dalam upaya perdamaian di Timur Tengah.
“Upaya ini harus di-lead (dipimpin) oleh NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia dan dunia, dengan menggunakan pendekatan humanitarian Islam dan lintas agama dan melibatkan berbagai pihak,” ujar Luhut.
Hadir sebagai narasumber Ketua Umum PBNU KH Yahya C Staquf, rohaniawan Katolik yang juga profesor filsafat Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyakara Franz Magnis Suseno, CEO Center for Shared Civilization Values (CSCV) C Holland Taylor, Staf Ahli Kementerian Luar Negeri Muchsin Shihab, dan rohaniawan Protestan Martin Lukito Sinaga.
Dalam sesi diskusi panel, Gus Yahya menyatakan bahwa agama merupakan salah satu masalah utama konflik, meski tidak selalu menjadi masalah paling utama.
Menurutnya, memang ada faktor ekonomi atau politik, tetapi faktor agama tidak bisa diabaikan. “Kita ingat bahwa zionisme itu mengklaim hak kepemilikan tanah itu berdasar wacana agama,” kata pria yang akrab disapa Gus Yahya ini.
Karena itu, kata Gus Yahya, wawasan keagamaan di tingkat masyarakat harus menjadi salah target pembenahan untuk mengatasi problem konflik secara lebih utuh.
“Pemerintah Mesir dan Israel, misalnya, bisa saja menjalin kesepakatan sebagaimana pernah terjadi, tapi kalau masyarakatnya belum di-address (diatasi permasalahannya, red), akan muncul perlawanan dari dalam terhadap pemerintah yang bersepakat itu,” tambahnya.
Forum diikuti pula Direktur Eksekutif Institute for Humanitarian Islam Yaqut Cholil Qoumas dan para pengurus di lingkungan PBNU.