Injak Kepala Warga Papua: PC SEMMI Jakpus Pertanyakan Kurikulum Pendidikan di Tubuh Aparat

Laduni.ID, Jakarta – Tindakan diskriminatif dan represif yang dilakukan oleh dua anggota polisi militer TNI AU kepada seorang warga asli Papua menambah daftar panjang kekerasan dan pendekatan represif aparat kepada masyarakat Papua. Beredar video dua orang anggota polisi militer melerai sebuah pertikaian dengan cara yang bidadab, mengunci leher dan menginjak kepala seorang warga Papua.

Pemuda yang bernama Steven itu sebelumnya terlibat cekcok dengan pemilik warung sebelum akhirnya mengalami tindakan tidak menyenangkan oleh aparat. Diketahui juga Steven merupakan seorang tunarungu, sehingga ia memiliki komunikasi yang kurang baik.

“Saya sependapat dengan apa yang dikatakan Surya Sahetapy, seorang aktivis Tuli kelahiran tahun 1993. Dia mengatakan bahwa bukan berarti Steven tidak mendengar, melainkan aparat yang tidak memahaminya,” kata Simatupang, Ketua Bidang Kajian Strategis dan Kebijakan Publik PC SEMMI Jakarta Pusat.

Kejadian biadab ini juga mengingatkan kita semua pada seorang kulit hitam yang mati di lutut seorang polisi berkulit putih. George Floyd mati dengan kondisi leher terjepit oleh lutut seorang polisi, mirip seperti yang dialami oleh Steven. Namun, Steven mengalami tindakan yang sangat-sangat tidak menyenangkan, yang secara gamblang merendahkan harkat dan martabat manusia.

Perlu diketahui, penyandang disabilitas dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2006. Negara menjamin kelangsungan hidup setiap warga negara, termasuk penyandang disabilitas yang memiliki kedudukan hukum dan hak asasi manusia yang sama sebagai warga negara.

Pasal 6 UU tersebut juga menjelaskan secara gamblang, bahwa penyandang disabilitas berhak bebas dari penyiksaan, perlakuan dan penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia.

Dikutip dari VOA Indonesia, perkumpulan Advokat HAM (PAHAM) Papua dan KontraS Papua menyusun dan menerbitkan sebuah laporan tren kekerasan pada tahun 2020. Laporan yang berjudul “Orang Papua Dilarang Bicara” disusun berdasarkan monitoring dan ivestigasi kasus-kasus yang terjadi di Papua yang melibatkan dua Lembaga keamanan Indonesia, TNI dan Polri.

Di dalamnya dipaparkan secara jelas motif dibalik tindakan kekerasan yang dilakukan oleh TNI dan Polri. PAHAM Papua dan KontraS Papua membagi kasus-kasus yang terjadi sepanjang tahun 2020 ke dalam tiga motif. Motif politik sebanyak 35 kasus, motif ekonomi sebanyak tiga kasus, dan motif arogansi sebanyak 25 kasus.

Motif politik berkaitan dengan kegiatan politik, seperti pembubaran paksa, penangkapan, dan penganiayaan mahasiswa Universitas Cendrawasih yang melakukan demonstrasi damai menolak Otonomi Khusus (Otsus) pada 28 September 2020 lalu. Penangkapan 55 orang peserta Rapat Dengar Pendapat (RDP) Majelis Rakyat Papua (MRP) pada 17 November 2020 silam. Serta penembakan Elias Karungu dan anaknya pada Juli 2020 di Distrik Kenyam, Nduga.

Kekerasan bermotif ekonomi berkaitan dengan aktivitas pengamanan proyek investasi dan perusahaan. Penembakan dua warga Timika, Eden Armando Babari dan Roni Wandik pada 13 April 2020. Tujuh hari setelahnya, tepatnya 21 April 2020, terjadi penangkapan terhadap Pontius Walkom di Aifat, Maibrat. Satu bulan setelahnya, 16 Mei 2020 juga terdapat kasus pembunuhan seorang warga Boven Digoel bernama Marius Batera.

Sementara kasus kekerasan yang bermotif arogansi muncul semata-mata karena sikap aparat keamanan. Seperti kasus penganiayaan tiga warga Sorong Selatan, Saulus Melkior Wugaje, Dominggus Aifufu, dan Chiko Momot, pada 16 Agustus 2020. Serta kekerasan terhadap empat warga Tambrauw pada 28 Juli 2020, mereka bernama Neles Yenjau, Karlos Yeror, Harun Yewen, dan Piter Yenggren.

Bahkan Amnesty Internasional Indonesia mencatat ada sekitar 19 kasus dugaan pembunuhan yang dilakukan oleh aparat di Papua sepanjang 2020. Terdapat 19 kasus dugaan pembunuhan diluar hukum yang dilakukan oleh aparat dengan total korban 30 korban, sebagaimana yang dikatakan oleh peneliti Amnesty Internasional Indonesia, Ari Pramuditya dalam konferensi pers, Rabu (7/4/2021) lalu.

Dari sekian banyak kasus yang terjadi, Ari mengatakan belum ada satupun vonis yang dikeluarkan oleh pengadilan militer maupun pengadilan umum. Adanya hubungan langsung antara impunitas dan langgengnya praktik pelanggaran HAM di Papua dikhawatirkan akan membuat pola kekerasan berulang dan dan terawatnya praktik kekerasan di tanah Papua.

“Sangat disayangkan ketika aparat melakukan tindakan represif dalam menyelesaikan konflik ketika berhadapan dengan masyarakat Papua. Saya mempertanyakan apakah pendekatan humanity dilakukan ketika para aparat menangani konflik khususnya kepada masyarakat Papua?” ujar Simatupang.

Pendekatan etnografi perlu dilakukan terhadap Papua. Adriana Elisabeth, seorang peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan kepada Tirto, bahwa etnografi tidak hanya sekadar kebudayaan, tapi juga tentang karakter, tentang nilai-nilai orang Papua, dan cara berinteraksi dengan mereka.

“Melihat tindakan represif yang dilakukan oleh dua anggota polisi militer TNI AU terhadap Steven, saya juga mempertanyakan sistem pendidikan di tubuh aparat. Setidaknya apakah ada kurikulum yang dipelajari ketika menangani seorang difabel?” katanya.

Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay meminta agar dua anggota tersebut dipecat secara tidak hormat sebab mereka melanggar pasal 28 G ayat (2) UUD 1945; Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia; dan Pasal 170 ayat (1) KUHP.

Pertanyaan serupa juga dilontarkan oleh Surya Sahetapy, sebab dirinya dan teman-teman dari komunitas Tuli siap memberikan edukasi kepada anggota lembaga keamanan di Indonesia.

Oleh: Salsabila – Sekretaris Bidang Kajian Strategis & Kebijakan Publik PC Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (SEMMI) Jakarta Pusat dan Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Editor: Daniel Simatupang

https://www.laduni.id/post/read/72753/injak-kepala-warga-papua-pc-semmi-jakpus-pertanyakan-kurikulum-pendidikan-di-tubuh-aparat.html