Kalau anda tidak tahu persis bagaimana kehidupan sosial di Indonesia Timur, jangan kesusu berasumsi dan berkecil hati. Tidak banyak orang Indonesia yang tahu tentang kondisi sebenarnya di Indonesia Timur. Terutama di Maluku dan Papua. Umumnya, pengetahuan kita tentang Indonesia Timur tak akan jauh dari kata intoleran, konflik, dan kekerasan. Dalam konteks beragama, misalnya, kita akan menganggap bahwa orang-orang Indonesia timur sudah barang tentu adalah orang Kristen.
Agaknya anggapan itu tidak sepenuhnya tepat. Tidaklah benar jika kita menilai bahwa orang Indonesia Timur adalah manusia sumbu pendek yang mudah kesumat untuk berperang dan melakukan tindak kekerasan. Tidak semua orang Indonesia Timur beragama Kristen. Dan tentu saja salah bila kita mengira bahwa umat Muslim di sana adalah para pendatang. Rupanya pengetahuan kita tentang Indonesia Timur selama ini terbilang kacau. Begitulah kenyataannya.
Kardono Setyorakhmadi lewat buku Melawat ke Timur, Menyusuri Semenanjung Raja-Raja (2015) menepis bahkan membantah anggapan itu semua. Melalui perjalanannya di Kepulauan Maluku dan Papua pada Ramadan 6 tahun silam, yakni 2015, ia menemukan kehidupan beragama di Indonesai Timur yang jauh diperkirakan oleh banyak orang. Dalam perjalanan sebulan penuh itu, ia menemukan keberagaman Islam yang jauh dari prasangka, penuh kedamaian, dan sangat toleran.
Dalam kunjungannya di Pulau Haruku. Kardono mendapati Kampung Kristen dan Kampung Islam. Di dua kampung itu, tulis Kardono, hampir semua penduduknya bersaudara. Bahkan, tak jarang dalam satu keluarga, ada yang memeluk Islam dan ada yang beragam Kristen. Nyaris bagaikan keluarga pelangi, keluarga yang berwarna-warni.
Saat ia berada di kampung Kristen, Kardono mendapat penghormatan yang cukup berlebihan dari warga setempat. Tatkala mereka tahu kalau Kardono seorang Muslim yang sedang berpuasa, sontak warga setempat bersembunyi untuk makan dan minum, bahkan untuk merokok sekalipun.
Warga Maluku adalah warga yang sangat menghormati adat. Bagi mereka, adat harus dipatuhi oleh semua warga tanpa terkecuali. Tak hanya itu, bagi adat Maluku, agama bukanlah hal sensitif yang mendapat perhatian khusus serta patut dibela mati-matian. Tentu saja hal demikian berbeda bagi orang-orang di Jawa dan banyak tempat yang lain. Dewasa ini, barangsiapa mengusik ihwal agama, seakan-akan kepalanya halal untuk dipenggal. Mengerikan, bukan?
Hal yang paling sensitif bagi warga Maluku justru perkara tanah. Saya rasa dalam soal ini tidak hanya sensitif bagi orang Maluku, namun bagi segenap insan di muka bumi. Sampai saat ini warga Maluku sangat populer dengan pepatah yang berujar “Tiap jengkal tanah adalah darah”.
Warga Maluku, dalam hal beragama, sebenarnya sangat toleran. Pernah suatu waktu, para misionaris datang ke kampung muslim untuk berdakwah. Oleh penduduk setempat, mereka tidak ditolak mentah-mentah atau bahkan diusir. Warga setempat malah menyarankan dan menunjukkan kampung sebelah agar para misionaris berdakwah ke tempat itu karena saudara mereka di sana belum beragama (hlm.16).
Rupanya penyebaran Islam di Maluku sudah terekam sejak abad ke-13. Tidak berpaut jauh dengan Islam yang ada di Jawa. Atau barangkali Islam masuk di Jawa dan Maluku dalam kurun waktu yang bersamaan. Kenyataan ini tentu jauh dari perkiraan banyak orang yang menganggap bahwa Muslim di Maluku adalah para pendatang. Kampung Pelauw menjadi bukti nyata bahwa Islam sudah menjadi kepercayaan yang dipeluk ratusan tahun silam.
Menurut sesepuh Kampung Pelauw, Tahir Angkotasan, Islam masuk ke Pulau Haruku dibawa oleh Datuk Ali Zainal Abidin sekitar abad ke-13 di Jazirah Uli Hatuhaha. Konon, Datuk Ali Zainal Abidin masih keturunan dari Ali bin Abu Thalib. Dalam berdakwah, Datuk Ali Zainal Abidin terbilang sukses. Ia berhasil mengislamkan mayoritas penduduk kawasan tersebut. Selepas itu, konon, Datuk Ali Zainal Abidin kembali ke Arab.
Sampai saat ini, aroma dakwah yang diajarkan Datuk Ali Zainal Abidin masih terasa. Sebagai contoh adalah tradisi berjalan dengan pakaian serta sorban putih yang melekat di kepala. Pandangan lurus ke depan tanpa sedikit pun menoleh ke kanan kiri, tertib tak ubahnya seperti orang yang sedang mengantre masuk ke bilik ATM. Tak hanya itu, bahasa arab di desa ini terbilang menjadi bahasa ke dua setelah bahasa daerahnya.
Sejarah mencatat, Maluku pernah menjadi tuan rumah pertumpahan darah pada 1999-2002. Konon, perang antarsaudara itu dipicu oleh agama. Namun, menurut Jusmalinda Holle, konflik Ambon diyakini kuat didesain, konflik itu berasal dari settingan kelompok tertentu dari luar Ambon sehingga membuat orang Maluku saling baku hantam dengan alasan yang tak pernah terjadi sebelumnya (halaman 25-26).
Apa yang disampaikan Jusmalinda Holle tentu tidak berlebihan. Sewajarnya, konflik yang menewaskan banyak nyawa itu membutuhkan waktu tidak sebentar untuk normal, damai kembali. Nyatanya, kurang dari 10 tahun pasca konflik, kondisi sosial di daerah tersebut sudah kembali normal. Tampak seperti tidak ada konflik sebelumnya. Keberhasilan macam ini tentu tak dapat terjadi secara tiba-tiba. Tentu saja ditopang, didukung, dan diupayakan oleh warga setempat yang mencintai perdamaian.
Membaca buku ini, kita akan tahu watak sebenarnya masyarakat Indonesia, terutama warga Maluku dan Papua. Mereka tak ubahnya adalah manusia-manusia cinta. Cinta damai dan tentu mendamaikan. Tak hanya itu, kita akan semakin tahu dan akrab dengan kondisi sosial di Indonesia Timur. Dengan begitu, anggapan-anggapan tak berdasar yang mencuat selama ini akan pudar dan digantikan dengan anggapan yang jujur tanpa menerka-nerka dan mengada-ada.
Buku
Judul : Melawat ke Timur, Menyusuri Semenanjung Raja-Raja
Penulis : Kardono Setyorakhmadi
Penerbit : Buku Mojok
Tebal Buku : 184 halaman
Cetakan : 2015
ISBN : 978-602-1318-13-3
https://alif.id/read/nur-kholis/menghirup-damai-di-indonesia-timur-b239167p/