Agama Cyberspace: Ketika Ritual Bergeser ke Ruang Virtual

Fenomena keberagamaan dan spiritualitas manusia adalah sebuah fenomena yang sangat kompleks dan tidak dapat dijelaskan secara parsial lewat satu atau dua dimensi penjelasan semata. Ia bersifat melingkupi dan holistik. Tempat ibadah dan ruang suci merupakan salah satu contoh dari sarana yang mempunyai sifat melingkupi dan holistik, dengan dimensi fungsi dan peran yang sangat luas (ritual, mental, sakral, gaib) karena itu, memindahkan fungsi tempat ibadah dan segala aktivitas di dalamnya ke dalam jagat virtual atau artifisial, yaitu melakukan migrasi ke dalam jagat cyberspace (dunia maya), tentulah harus mempertimbangkan sifat total dan melingkupi dari tempat ibadah tersebut.

Konsep dasar dari apa yang kita kenal sekarang sebagai cyberspace ide dasarnya pertama kali diperkenalkan pertama kali dibangun oleh William Gibson (baca Agama dan Imajinasi, Yasraf Amir Piliang, 286) seorang penulis fiksi ilmiah, melalui novelnya yang berjudul Neuromance. Istilah matrix yang digunakan oleh Gibson untuk melukiskan sebuah ruang halusinasi yang dibangun melalui bit-bit komputer, merupakan padanan dari sebuah ruang abstrak yang kita kenal sekarang sebagai cyberspace.

Sejak kehadiran teknologi dimasa sekarang, fenomena keberagamaan sangat mempengaruhi cara pandang, persepsi, dan interpretasi aktivitas ritual. Media dalam perkembangannya tidak hanya menjadi entitas yang menghasilkan produk budaya, ekonomi dan politik. Namun media saat ini menjadi entitas yang membawa berbagai ideologi bahkan agama.

Baca juga:  Jerman Bersatu

Aktivitas-aktivitas ritual keagamaan yang sebelumnya dilakukan di masjid, surau, langgar, gereja,vihara dan tempat suci lainnya. Pada masa sekarang sudah mendapatkan nafas baru di ruang virtual sehingga aktivitas tersebut dapat dilakukan secara virtual dengan mengaktifkan imajinasi yang dibangun oleh media dan teknologi yang massif saat ini .

Keterbukaan dan kemajuan teknologi telah menghadirkan interpretasi kesucian dengan dimensi baru. Dahulu dakwah  hanya terbatas melalui mimbar ke mimbar, door to door, meja ke meja, kini kehadiran teknologi mampu menembus batasan-batasan itu. Bahkan penyebarannya mampu dilakukan secara global melampaui batas negara, bangsa, suku, bahasa dan budaya.

Media yang dihasilkan oleh teknologi baru saat ini membawa nilai-nilai agama baru. Jika kita menelusuri lebih jauh hampir secara keseluruhan masyarakat mencari sumber hukum agama atau dasar teologi melalui media, kondisi tersebut yang kemudian menciptakan ruang interaksi baru seperti yang dijelaskan di atas sebagai cyberspace.

Maka dari fenomena ini muncullah yang kita sebut Religion Online ialah mereka yang mengkomsumsi kebenaran agama melalui ruang virtual, mencari hukum bukan lagi pada kitab-kitab dan ulama-ulama yang memiliki otoritas kegamaan yang shahih sehingga dalam memahami kebenaran agama sangat terbatas, berdoa dan berinteraksi seolah Tuhan dan holistik (kesucian) berada diruang-ruang virtual Imajinasi, Internet, Facebook, Whattsap, Instagram , YouTube dan ruang-ruang lainnya.)

Baca juga:  Idul Fitri, Islam, dan Sains (1): Teknologi, Kemanusiaan, dan Kebudayaan

Maka tak heran jika sekiranya di kehidupan sehari-hari kita melihat pemandangan doa-doa itu tidak lagi dipanjatkan di ruang suci yang nyata, melainkan bergeser ke ruang virtual. Dakwah tidak lagi di dengarkan di masjid-masjid, melainkan melalui YouTube dan media sosial lainnya. Dzikir, doa bersama, bahkan ijab kabul pun sudah dilaksanakan secara virtual, Ini karena media mampu memenuhi hasrat spiritual yang instan dan beragam sesuai kebutuhan umat.

Di samping itu, ada juga yang kita sebut sebagai Online Religion, ialah orang yang menyebarkan dakwah, pesan agama, doa dan dzikir menggunakan media sosial. ini berbeda dengan Religion Online yang menjadikan ruang virtual menjadi sarana beribadah dari offline ke online, namun Online Religion lebih dari itu, menjadikan agama dan pesan-pesan Tuhan lebih massif, tidak terbatas oleh jarak dan waktu dengan menyebarkan ke dalam ruang-ruang virtual tersebut.

Namun dari kedua fenomena ini tentunya harus mampu diminimalisir, mengingat keterbukaan informasi yang begitu beragam mampu menjadikan ummat menerima informasi yang sangat beranekaragam sehingga tidak ada lagi batasan-batasan interpretasi, perenungan dan kehusyukan dalam beragama.

Dengan demikian, ruang virtual atau biasa kita sebut dengan cyberspace dapat dianalogikan sebagai sebuah amplifier sosial, yaitu media yang mampu memperluas dan memperbesar cakupan, ruang , dan interaksi di dalam, di luar dan antartempat sehingga terbentuk sebuah kesatuan umat yang semakin kuat.

Baca juga:  Pandemi, Gawai, dan Peringatan Gangguan Kesehatan Mata

Namun, tempat suci virtual atau tempat ibadah virtual di dalam cyberspace tidak mampu bisa menggantikan fungsi dan peran tempat ibadah yang nyata karena mempunyai dimensi yang lebih kompleks khususnya di mensi batin, ruh, akal, kesucian, sakralitas, ketuhanan, dan spiritualitas. Terdapat kompleksitas dimensi di dalam ruang suci nyata, perasaan, emosi, kegaiban, kerahasiaan yang masing-masing orang dapat merasakan secara nyata yang itu tidak bisa di representasikan lewat bits dan bytes melalui teknologi dan media yang terbatas.

https://alif.id/read/iba/agama-cyberspace-ketika-ritual-bergeser-ke-ruang-virtual-b241296p/