Agama dan Pelintiran Kebencian (2): Senjata Bagi Wirausawahan Politik

George beranggapan bahwa strategi pelintiran kebencian ini, merupakan hasil dari kampanye-kampanye canggih yang diproduksi oleh “wirausahawan politik” demi kepentingan strategis mereka. Ia berkesimpulan, bahwa strategi penghinaan dan ketersinggungan ini adalah “teknik berwajah ganda dalam pertarungan politik”.

Ia juga menunjukan dalam risetnya, bahwa penghinaan dan ketersinggungan yang berbasiskan pada agama, bukanlah produk alami atau reaksi yang spontan dari keberagaman dalam suatu masyarakat. Melainkan, sebuah “pertunjukan” yang sengaja dibuat oleh “wirausahawan politik” untuk meraih kekuasaaan.

Para “wirausahawan politik” ini secara selektif memanfaatkan sentimen agama dalam masyarakat dan mendorong pengekspresian kehendak massa, dalam rangka memobilisasi mereka (massa) ke arah tujuan-tujuan yang anti-demokratis. George menyebut hal ini sebagai “penggunaan kekuatan rakyat untuk memperlemah kekuatan rakyat itu sendiri” (George, 2017: 2).

Contoh konkret dari hal ini bisa kita lihat pada proses pemilu di India pada 2014 silam: bagaimana Narendra Modi, kandidat dari Partai Bharatiya Janata Party (BJP), partai yang berhaluan Nasionalis-Hindu, “dapat memenangkan proses elektoral dengan sangat revolusioner,” kata George. Partainya memenangkan kursi parlemen, berjumlah 282 dari 543, yang sama sekali tanpa bantuan 20-an lebih partai kecil sayap tengah-kanan dalam Aliansi Nasional Demokrat.

India, di mana sebuah negara yang memiliki tingkat keberagaman yang begitu tinggi, yang meniscayakan pembentukan koalisi politik. Namun, kemenangan Modi mengindikasikan bahwa inilah, untuk pertama kalinya dalam 30 tahun terakhir, hak sebuah partai untuk memerintah negara tidak bergantung pada dukungan aliansinya.

Selama masa kampanye berlangsung, Modi memperlihatkan citranya sebagai seorang Hindu yang kuat. Ujaran kebencian dan ketersinggungan atas nama agama terus bergaung tanpa henti. Wakil-wakilnya juga terus menebarkan ujaran kebencian. Di negara bagian Bihar, misalnya. Pemimpin partai BJP, Giriraj Singh, dikecam habis-habisan oleh Komisi Pemilihan Umum India, karena pidatonya yang sangat “berkobar-kobar”, yang juga menyinggung persoalan tentang penyembelihan sapi di India.

Baca juga:  Calistung, Dilema Pendidikan yang Berkepanjangan

Penyembelihan sapi di India merupakan persoalan yang sering menjadi polemik, antara komunitas Hindu dengan Muslim. Bagi “geng pelindung sapi” atau biasa disebut gau rakshaks, sebagaimana dikutip dari laporan BBC, bertajuk “Rakbar Khan: Did Cow Vigilantes Lynch a Muslim Farmer” (2019), sapi adalah hewan yang harus dilindungi mati-matian. Karena bagi komunitas Hindu garis keras, di mana anggota dalam geng ini terdiri dari anak-anak muda, sapi adalah hewan yang suci. Mereka meyakini bahwa undang-undang yang telah ditekan untuk melindungi sapi, seperti larangan penyembelihan dan konsumsi di 24 negara bagian, tidak sepenuhnya ditegakan.

Untuk itu, mereka tidak segan-segan untuk membunuh siapa saja yang melanggar hal tersebut. Pada 2018 Juli, Rakbar Khan, seorang pria Muslim, di mana ia tengah berada di perjalanan membawa dua ekor sapi. Tepatnya saat menyusuri jalan setapak di pedesaan Rajasthan, bagian selatan New Delhi (ibu kota India), dihadang oleh sekelompok pria. Khan dihajar habis-habisan oleh sekelompok pria tersebut hingga tewas. Konflik ini sejatinya sudah mengakar dalam masyarakat India. Namun, konflik tersebut mencapai eskalasinya ketika dikompori oleh mereka (agen pemelintir kebencian) yang sering beretorika tentang anti-Muslim (Irfani, 2019).

Menurut catatan Human Right Watch (HRW) dalam “Violent Cow Protection in India: Vigilante Group Attacks Minorities” (2019), sejak berkuasanya di tingkat nasional pada 2014, anggota Partai BJP, semakin banyak menggunakan retorika komunal yang telah mendorong kampanye main hakim sendiri dengan kekerasan terhadap konsumsi daging sapi, dan mereka yang dianggap memiliki relasi dengannya. Sepanjang Mei 2015 hingga Desember 2018, setidaknya sudah ada 44 orang—di antaranya komunitas Muslim, yang tewas di 12 negara bagian India. Selama periode itu pula, sekitar 280 orang terluka dalam lebih dari 100 insiden berbeda di 20 negara bagian.

Baca juga:  Tantangan Rektor Baru UIN Suka Jogja

Saat proses kampanye tersebut, Singh juga berseru, bahwa orang-orang yang menolak Modi adalah “Pakistan-parasht” (pro-Pakistan), dan oleh karenanya, ia diharuskan pindah ke sana. Singh, meski dikecam habis-habisan, karena telah menggunakan simbol keagamaan dalam kampanye tersebut. Yang mana, hal itu bertentangan dengan aturan yang dibuat oleh Komisi Pemilihan Umum India, yakni Model Code of Conduct for The Guidance of Political Parties and Candidates” (2007). Ia tidak menghiraukan. Singh memenangkan kursi parlemennya dan terus melanjutkan retorika kebenciannya.

Padahal, aturan tersebut telah dibuka dengan pernyataan tentang komunalisme. “Tidak ada partai atau kandidat yang boleh terlibat dalam kegiatan apa pun yang dapat memperburuk perbedaan yang ada atau menimbulkan rasa saling membenci atau menimbulkan ketegangan antar perbedaan kasta dan komunitas, agama atau bahasa.” Butir ketiga dalam aturan itu juga menegaskan, bahwa “Tidak akan ada banding ke kasta atau perasaan komunal untuk mengamankan suara. Masjid, Gereja, Kuil atau tempat ibadah lainnya tidak boleh digunakan sebagai forum propaganda pemilu” (Election Commission of India, 2007: 2).

George menawarkan solusi legal untuk persoalan yang kompleks ini. Pertama, hukum mesti melarang penyalahgunaan kebebasan berekspresi untuk tujuan-tujuan yang diskriminasi atau kekerasan terhadap kelompok-kelompok rentan. Kedua, hukum juga di saat yang bersamaan tidak diperkenankan untuk melayani ketersinggungan yang oportunistik, dengan cara membatasi apa pun yang dianggap menyinggung (George, 2017: 2).

Baca juga:  Semesta Muhammad Iqbal (1): Kebangkitan Pemikiran Islam

Demokrasi, seyogianya mesti melindungi ruang publik guna memfasilitasi perdebatan yang bermutu, di antara berbagai pandangan yang saling bertolak belakang. Ini juga termasuk nilai-nilai agama, yang di saat bersamaan, juga menjamin bahwa individu dari kepercayaan apa pun, dapat menjalankan haknya untuk terlibat dalam kehidupan bermasyarakat. Baik secara setara maupun tanpa rasa takut.

Karena nilai-nilai kebebasan dan kesetaraan dalam demokrasi, bisa terganggu bukan hanya karena negara lalai menjalankan tanggung jawabnya untuk menyediakan rasa aman bagi kelompok-kelompok rentan. Melainkan, ia juga secara “serampangan” melakukan intervensi untuk melindungi perasaan dari kelompok-kelompok yang meneriakan kemarahan terkait hal-hal yang dianggap sebagai sebuah penghinaan.

Seperti yang pernah diingatkan Gus Dur terkait pemenuhan demokrasi dalam salah satu esainya yang bertajuk Demokrasi Haruslah Diperjuangkan, sebagaimana termaktub dalam Tuhan Tidak Perlu Dibela (2016: 224): “Kalau [kita] tidak ada usaha sungguh-sungguh untuk menegakkan demokrasi yang benar di negeri ini, tentu aspirasi-aspirasi itu akan terbendung oleh kekuatan-kekuatan anti-demokrasi.” Menurut Gus Dur, penegakan dan terwujudnya negara yang benar-benar demokrasi, membutuhkan perjuangan yang tanpa kenal henti. Pendeknya, ia tidak mungkin terberi begitu saja. Wallahu a’lam bishawab. [*]

https://alif.id/read/aanf/agama-dan-pelintiran-kebencian-2-senjata-bagi-wirausawahan-politik-b242223p/