Agamaku Sesuai Prasangkaku?

Aku sesuai prasangka hambaku. Ya, kalimat tersebut adalah salah satu potongan terjemahan sebuah hadits Qudsi yang sering dikutip para penceramah itu. Kata “Aku” dalam kalimat tersebut tentu saja maksudnya Allah. Kalimat tersebut sebenarnya bisa dikatakan cukup untuk menjawab pertanyaan, Allah itu seperti apa (bukan secara fisik tetapi secara esensi, seperti Allah itu adil atau tidak, dekat dengan kita atau tidak, dst.)?

Di satu sisi hal tersebut membuat orang-orang Islam jadi tidak sulit untuk mempunyai perasaan tertentu perihal hubungan antara ia dengan Tuhannya. Kalau misalnya ada orang Islam yang GR karena merasa dekat dengan Allah, sah-sah saja. Begitu juga kalau ia merasa jauh dengan Allah, sah-sah saja. Asalkan perasaan tersebut tidak dilemparkan kepada publik secara brutal. Karena siapa pun saja tidak bisa mengontrol respon orang banyak atas apa yang dilemparkan seseorang kepada publik, yang mungkin saja menimbulkan letupan-letupan, seperti debat kusir berkepanjangan di medsos.

Di sisi lain, hal tersebut terasa berbanding lurus dengan anggapan orang-orang tak percaya Tuhan, yang menganggap bahwa Tuhan adalah hasil imajinasi manusia. Buku Sejarah Tuhan karya Karen Armstrong yang tebal itu, isinya adalah argumen si penulis buku tentang perubahan imajinasi manusia tentang Tuhan dari masa ke masa.

Baca juga:  Perspektif Psikologi untuk Masalah Sosial Budaya

Paradoks yang muncul atas tafsir terhadap kalimat Aku sesuai prasangka hambaku biarlah seperti itu. Perbedaan tafsir yang menimbulkan paradoks tak bisa dihindari. Mengingat begitu banyaknya orang di dunia ini, yang salah satu haknya adalah bebas berpikir apa saja tentang apa pun.

Yang jelas, dalam kehidupan sehari-hari kalimat Aku sesuai prasangka hambaku itu tidak hanya digunakan untuk bersikap perihal hubungan antara ia dengan Tuhannya. Tetapi juga secara tidak langsung digunakan untuk menentukan apa fungsi agama dalam hidup. Seakan-akan ada perubahan dari Aku sesuai prasangka hambaku menjadi agamaku sesuai prasangkaku. Jika tidak hati-hati, seseorang akan salah mendeteksi, bagaimana ia berprasangka tentang agamanya yang justru membuatnya tidak tepat dalam beragama.

Ada orang merasa bahwa ia hidup tidak sedang mencari dunia, yang ternyata diam-diam itu menjadi motivasi baginya untuk tidak bersemangat mencari nafkah. Ia menganggap bahwa agama adalah jalan menuju akhirat padahal kenyataannya, ia sebenarnya tidak sedang mencari akhirat, tetapi melarikan diri dari permasalahan dunia, yang sebenarnya harus diselesaikan. Karena Islam sendiri sebenarnya tidak mendikotomikan antara dunia dan akhirat. Keduanya sangat penting. Bahkan untuk mencari akhirat salah satu caranya adalah berbuat baik ketika hidup di dunia, bukan sekadar melakukan ritual ibadah yang banyak tanpa henti. Saya curiga, jangan-jangan mental lari dari tanggung jawab yang agaknya cukup melekat bagi masyarakat kita muncul dari situ.

Baca juga:  Corona, Iman, dan Imunitas Kita

Di kalangan masyarakat kelas menengah kita ada kebiasaan seseorang ingin dianggap kaya oleh orang lain, sehingga ia memaksakan diri untuk membangun rumah bagus, punya kendaraan bagus, baju-baju bagus. Tetapi ketika ia mendapat BLT, diterima. Ketika membeli BBM pun ia ngotot mau membeli BBM bersubsidi, padahal ia mengendarai kendaraan mahal. Padahal sudah jelas, jika orang-orang ingin menganggap dirinya kaya, ia juga harus siap dengan perilaku yang sudah seharusnya dilakukan oleh orang kaya, beberapa diantaranya tidak mendapat BLT dan membeli BBM yang tidak bersubsidi, karena BLT dan BBM bersubsidi memang tidak ditujukan untuk orang kaya tetapi orang tidak mampu.

Dalam kondisi yang lain, kita juga diperlihatkan tentang kesalahan pelaksanaan prosedur yang mengakibatkan ratusan nyawa meregang. Ketika dimintai pertanggung jawaban pihak tersebut malah menyalahkan pihak lain. Padahal sudah jelas kegiatan tersebut berada di bawah naungan tanggung jawabnya.

Dalam kondisi lain lagi, ada kejadian bermunculan penyakit tertentu yang mematikan karena mengonsumsi obat tertentu. Pihak yang memperbolehkan sebuah obat beredar, ketika dimintai pertanggung jawaban tidak mau. Padahal asumsi dasarnya jelas, seseorang bisa meminum obat tersebut karena obat tersebut beredar, dan obat tersebut beredar karena diizinkan beredar.

Jika sikap lari dari tanggung jawab muncul dari kesalahan kita dalam bersikap tentang agama, kita harus lebih berhati-hati. Dan agaknya harus segera diubah. Atau umur Indonesia akan lebih pendek dari Majapahit.

Baca juga:  Pemetik Puisi (22): Kota dan Agama

https://alif.id/read/dani-ismantoko/agamaku-sesuai-prasangkaku-b246024p/