Baru saja saya melihat tayangan video youtube sejarah kehidupan Nahdlatul Ulama (NU) di era 1950-an dan 1960-an. Ada arakan-arakan muslimat dan, pemuda NU, juga muncul wajah-wajah kiai dan nyai khas perdesaan.
Terlihat pula pesona orang-orang desa berderet di trotoar kota dengan atribut kampanye, rumah petani, bentangan sawah perdesaan dan busana kemusliman khas Jawa.
Pesona sejarah itu mendatangkan inspirasi kepada saya untuk bicara tentang potensi komunitarianisme kaum santri yang berada dalam jam’iah Nahdlatul Ulama (NU).
Buat saya, relasi kiai NU, termasuk organisasinya (PBNU; dari pusat hingga ranting) adalah titik tolak penting dalam melihat isi pokok dari kehidupan mereka.
Pemimpin NU dan warganya adalah entitas sosial yang penting untuk selalu diamati, termasuk penting ditinjau dari berbagai ragam optik ilmu pengetahuan kemasyarakatan.
Tak terkecuali juga kita mesti membicarakan eksistensi NU dengan warga lapisan bawah yang kehidupannya banyak dalam situasi keterbelakangan ekonomi dan pendidikan.
Aktivitas kiai dan organisasi NU yang berurusan dengan warga terbelakang merupakan sebuah anugerah bagi bangsa Indonesia. Banyaknya warga NU dari lapisan rakyat bawah menandakan NU punya fungsi yang besar untuk mengurus hak-hak dasar warga sipil.
Dengan mengakomodasi kewargaan (jam’iah) itu, jutaan umat Islam bisa menjalankan ajaran Islam dengan alur yang mantab sekaligus tetap eksis menjadi warga negara.
Potensi dan Kemungkinan Baru
NU dengan komunitariannya telah menjadi bagian penting dalam kehidupan Bangsa Indonesia. Letak keberhasilan yang mendasar ialah kemampuan mengikat secara sosial dalam jumlah melimpah, bahkan menjadi mayoritas di Indonesia. Kemampuan ini tidak banyak dimiliki organisasi yang lain.
Warga NU (jam”iah dengan kulturnya) terbukti punya kemampuan membangun solidaritas menjadi warga agama dan warga negara yang taat. Hal ini menandakan para pendiri dan penerusnya memiliki kualitas intelegensia berupa kecerdasan emosional dan empati.
Dengan modal itu, NU bisa menjalankan misi membangun “lingkaran keselamatan”, baik dalam hal urusan material maupun mentalitas, termasuk urusan spiritual.
Ikatan kewargaan yang laras dengan norma kewarganegaraan sangat berguna sebagai perekat imajinasi nasionalisme. Ikatan kewargaan kaum nahdliyin juga bisa menjadi solusi masalah-masalah sosial kewargaan.
Dimensi integrasi dan kohesivitas sosial ini telah dibuktikan dari banyaknya kelemahan peran pemerintah bisa ditampung melalui saluran sosial keNUan. Sekalipun negara absen dalam urusan sosial, jutaan warga Indonesia yang berada dalam ikatan keNUan bisa mengaktualisasikan diri mereka.
Inovasi Kepemimpinan NU
Kehidupan masa kini punya ragam problem disertai dinamika yang cepat tanpa kenal kendali. Ikatan NU dengan warganya adalah ikatan antara pemimpin dan rakyat. Para kiai NU yang yang berperan sebagai “guru ngaji” adalah para pemimpin.
Kepemimpinan adalah mentalitas, dan secara substansial tak ada urusan dengan jabatan formal, melainkan lebih pada nilai fungsional keseharian. Peran kiai itu punya nilai yang lebih kuat sebagai pemimpin di masyarakat desa ketimbang elit intelektual dari kaum borjuasi lain seperti pengusaha atau pegawai, termasuk dukun.
Para kiai di perdesaan kebanyakan memiliki mental pemimpin. Hal itu dibuktikan dari kesediaannya menyatu dengan warga dan mau terlibat dalam mengatasi rupa-rupa problem kemasyarakatan.
Waktu dan energinya tercurah untuk mencari solusi atas masalah yang mereka hadapi. Dari sisi potensi itulah penting saatnya kita mendorongnya agar kualitas kepemimpinannya meningkat. Dan itu membutuhkan inovasi.
Apa itu inovasi? Ialah kreativitas (melahirkan cara baru) untuk lebih cakap dalam mengatasi persoalan. Tak ada inovasi tanpa tujuan mengatasi masalah.
Dengan kata lain, para kiai NU butuh bid’ah-bid’ah yang lebih berani untuk kebaikan dalam lapangan muamalah.
Berangkat dari sinilah saya memberikan masukan berupa gagasan dasar. Kita melihat, kebanyakan (bukan semuanya), model kepemimpinan NU urusannya
didominasi oleh belajar agama; ngaji secara formal dan pengajian secara informal.
Kegiatan keduanya adalah modal yang mesti dioptimalkan sebagai cara “membawa” umat NU dari keterbelakangan menuju kemajuan atau peningkatan.
Bukannya tidak ada, namun harus diakui, belum banyak yang menjadi kreator perubahan sosial seperti lebih serius mengatasi kemiskinan, lebih maksimal dalam mengadvokasi anak-anak miskin agar bisa mendapatkan kesempatan pendidikan lebih baik, bersedia memperhatikan masalah stunting dan kekurangan gizi, termasuk mesti segera mau menahkodai gerakan perbaikan lingkungan hidup (ekologi).
Kalaupun ada peran-peran dalam bidang itu, strateginya masih mengedepankan formalisme yang bersifat “bakti sosial” ketimbang bersifat “gerakan sosial”, seperti sekadar mengumpul dan membagikan zakat, mengajar, berceramah dan seterusnya.
NU membutuhkan model kepemimpinan yang lebih dari sekadar itu dengan desain gerakan yang visioner dan memiliki nilai perubahan yang sifatnya bisa menjadi haluan gerakan perubahan bermanfaat secara berkelanjutan.
Paradigma Gerakan Baru
Kesadaran baru dibutuhkan oleh para kiai, -terutama yang berusia di bawah 50 tahun- untuk mengoptimalkan fungsi sosial dalam tiga bidang, yakni, ekonomi, ekologi dan literasi.
Hal ini penting kita bicarakan karena NU di bawah kepemimpinan Ketua Umum PBNU, KH. Yahya Staquf, telah memiliki desain organisasi yang berbicara tentang nilai-nilai universal rahmatan lil alamin.
Ketiga bidang tersebut merupakan esensi dari problem besar dunia, terutama pada warga sipil yang hidup di negara dunia ketiga seperti Indonesia.
Dalam bidang ekonomi misalnya, Kiai NU punya modal untuk mendorong tumbuhnya ekonomi warga dengan mahzab survival, bukan mahzab ekonomi akumulasi. Corak produksi petani, termasuk nelayan dan pedagang kecil kebanyakan lahir dari rahim ekonomi survival. Ketekunan dan kecakapan kaum santri mengatasi persoalan hidup merupakan modal untuk memajukan sumberdaya manusia di jalan survival di perdesaan.
Garis kerja pemberdayaan ekonomi survival ini bisa mengambil pijakan dari rumus Maqhasid al-Syari’ah dengan lima pokok persoalannya, yakni, agama, jiwa, akalbudi, harta dan genetika.
Misalnya, kita tegakkan rumus “berekonomi bukanlah semata urusan harta, melainkan juga berkait dengan dimensi spiritualitas, agama, akalbudi dan kelangsungan makhluk hidup.”
Demikian juga pada dua bidang lain, yakni ekologi dan literasi. Peran ekologis para kiai bisa dengan dengan melakukan pergerakan lokal memobilisasi para
petani untuk melakukan konservasi alam. Lima doktrin Maqhasih al-Syari’ah menyediakan hal itu.
Urusan ekologi bisa masuk secara bersamaan pada lima pintu al-Kulliyatul al-Khamsah dengan meletakkan paradigma (misalnya), kelangsungan hidup fisik dan jiwa membutuhkan keadaan alam yang bisa memenuhi kebutuhan dasar hidup manusia.
Kegiatan bertani dengan membudidayakan pangan bergizi adalah bagian dari umat Islam menemukan cara merawat akalbudi sekaligus menyelamatkan jiwa manusia dari ancaman krisis pangan dan bencana.
Karena itu, kegiatan bertani yang memperhatikan pangan bergizi, melindungi air dan menumbuhkan oksigen bisa menjadi bagian dari cara merawat keturunan secara berkelanjutan. Dan seterusnya……
Literasi dan Jurnalisme NU
Tak terkecuali pada usaha maksimalisasi literasi, para kiai bisa mengambil peran yang besar manakala menyediakan waktunya jika mau secara konsisten mengembangkan praktik literasi di desa-desa.
Usaha memperbanyak buku disertai pendampingan literasi yang sejati, (yakni memahami bacaan, mengamalkan yang dibaca dan memproduksi gagasan melalui tulisan) jelas perlu dilakukan para kiai baik pesantren-pesantren dan organisasi NU.
Dengan kata lain, para kiai, baik melalui pesantrennya maupun ruang kegiatan informal lainnya, mesti menaruh perhatian pada jurnalisme. Misi kenabian (sebagai pewarta) dengan menjalankan praktik jurnalisme adalah langkah penting. Apalagi saat ini kemampuan berjunalistik di internet sangat dibutuhkan. Tanpa kemampuan berjurnalistik secara baik kita hanya akan menjadi masyarakat konsumen.
Tiga puluh tahun terakhir, NU memiliki kemajuan yang besar dalam literasi dengan bukti banyaknya penulis dan wartawan. Tetapi pencapaian itu belum laras jika dikaitkan dengan kebutuhan di setiap kabupaten, apalagi jika dihubungkan dengan kebutuhan sampai tingkat perdesaan.
Kapasitas melimpah penulis/jurnalis di dalam NU masih berhenti pada level provinsi (pengurus wilayah), itupun kebanyakan berada di Pulau Jawa.
Bangsa Indonesia dikenal rendah literasi. Jika NU melalui para kiai muda dan para aktivis di level lokal serius belajar dan mengembangkan keorganisasian berbasis jurnalisme, niscaya akan banyak menciptakan perubahan sosial.
Organisasi NU di level lokal kabupaten hingga ranting butuh jurnalisme bukan semata untuk dakwah, melainkan sebagai usaha produktivitas mengembangkan dinamika keorganisasian, terutama dalam menggerakkan amal filantropi. []
https://alif.id/read/fmn/agar-gerakan-nahdlatul-ulama-lebih-berkualitas-b247495p/