Sebagai firman Tuhan, mushaf Al-Quran kerap disajikan dengan sentuhan estetika yang tinggi sebagai bentuk penghormatan atas keagungan ilahiah. Bahkan, di antara manuskrip Islam yang tersebar di wilayah Melayu, Al-Quran merupakan mushaf yang paling baik dalam hal penyajiannya dan mushaf terbaik pasti berkorelasi dengan penyajian iluminasi yang mewah. Iluminasi yang dimaksud di sini adalah teknik seperti penulisan, pewarnaan, hiasan dekoratif, dan lain sebagainya.
Sebelum akhir abad ke-19, ketika mesin cetak belum ditemukan, dan mushaf Al-Quran masih ditulis secara manual, Al-Quran kerap disajikan dengan sentuhan identitas kedaerahan yang khas. Hal tersebut dapat ditemukan pada seni iluminasi Al-Quran yang biasanya menghiasi bagian awal, tengah, dan akhir mushaf.
Di balik pembuatan mushaf, Iluminasi kadang tidak hanya di buat untuk memberikan sentuhan artistik pada mushaf Al-Quran semata sebab iluminasi juga merepresentasikan seni istana / keraton. Pembuatan mushaf Al-Quran dengan sentuhan artistik yang mewah memang membutuhkan biaya yang mahal dan proses yang panjang.
Butuh pendanaan tinggi untuk pembuatan mushaf yang mewah, karena tidak hanya memperkerjakan penyalin Al-Quran tetapi juga melibatkan seniman iluminasi di dalamnya. Pihak yang paling memungkinkan untuk mendanai saat itu adalah Keraton, sekaligus menjadi agenda artistik seni Keraton yang khas.
Tentu tidak semua mushaf Al-Quran di sajikan dengan hiasan iluminasi yang mewah. Hal ini bisa ditemukan, misalnya kita bisa melihat bagaimana mushaf-mushaf yang di tulis tangan sajian Keraton Cirebon dengan mushaf yang di buat oleh pesantren Buntet yang hingga saat ini masih terpelihara.
Umumnya mushaf-mushaf yang di buat di luar keraton sebagaimana mushaf pesantren Buntet memiliki hiasan iluminasi yang sederhana atau bahkan tidak ada sama sekali. Sementara mushaf-mushaf Keraton Cirebon selain menampilkan ornamen flora atau bahkan fauna dengan struktur geomrtris yang persisi beberapa bahkan di hiasi dengan menggunakan tinta emas. Sajian artistik keraton inilah yang menjadi identitas kedaerahan dalam iluminasi mushaf Al-Quran.
Menurut Gollap dan Ali Akbar identitas artistik kedaerahan pada iluminasi mushaf yang dapat di identifikasi seperti pada Aceh dan semenanjung Melayu tidak berlaku bagi wilayah Jawa. Terdapat begitu banyak keragaman dan identitas pada iluminasi mushaf-mushaf yang berasal dari Jawa. Bahkan untuk mengidentifikasi mushaf Sunda, atau Jawa sekalipun masih sulit. Butuh sub kelompok yang lebih kecil lagi untuk bisa mengidentifikasi karakter kedaerahannya.
Agenda artistik Keraton barangkali bisa menjadi sub kelompok yang cocok di identifikasi sebagai karakter kedaerahan Iluminasi mushaf yang berasal dari wilayah-wilayah Jawa. Sebab peran keraton di dalam masyarakat Jawa tidak hanya sebagai pusat kekuasaan semata, melainkan berperan juga sebagai pusat estetika.
Misalnya dalam tradisi estetika ornamen batik Cirebon, terdapat perbedaan antara ornamen batik keraton dengan batik pesisir. Jika ornamen batik Cirebon terpengaruhi oleh nilai-nilai Islam dan Budha dengan ragam hias yang berstandar pada filosofis tertentu, ornamen batik pesisir justru terpengaruhi Cina dengan gaya ornamental yang bebas dan ekspresif. Artinya keraton ikut memainkan peran estetika dalam membentuk identitasnya.
Cirebon sebagai kota metropolitan pada abad ke-14 pernah menjadi tempat persinggahan dari para pedagang di belahan dunia seperti Tiongkok, Arab, India, dan Persia sehingga interaksi tersebut memungkinkan terjadinya persilangan budaya dan seni yang mempengaruhi kultur masyarakatnya. Belum lagi percampuran kebudayaan lokal Jawa-Sunda yang pernah di datangi migrasi orang-orang Jawa Tengah untuk mencari penghidupan dan rombongan kerajaan Galuh Pakuan pada abad ke-14. Semua percampuran pengaruh tersebut menjadi kekayaan tersendiri yang membentuk kebudayaan Cirebon dan di interpretasikan oleh Keraton melalui produk arsitektural, musik, tari, dan termasuk juga iluminasi mushaf Al-Quran.
Setidaknya ada beberapa percampuran kebudayaan yang tampak mempengaruhi seni artistik iluminasi mushaf Cirebon. Misalnya pemilihan warna biru dan merah yang terpengaruhi oleh Cina, sebagaimana relif warna-warna keramik yang di datangkan Oen Tien istri Sunan Gunung Jati dari Tiongkok. Arab menyumbangkan hiasan lafal pada seni geometris dan ornamen Cirebon, yaitu kalimat dalam aksara Arab yang membentuk pola atau motif tertentu baik flora maupun fauna, misalnya membentuk Paksi Naga Liman, Macan Ali, atau tumbuhan kangkung. Sementara Hindu-Budha banyak mempengaruhi seni ornamen Cirebon melalui motif tumbuhan yaitu dengan ragam motif bunga Teratai yang dianggap sakral dan mengandung kedalaman filosofis.
Memahami identitas iluminasi berarti perlu juga untuk memahami kultur, sejarah, dan kepercayaan masyarakatnya. Sebab iluminasi mushaf tidak diciptakan dari ruang hampa, ia adalah representasi dari konstruksi masyarakat. Nilai-nilai, kepercayaan, dan pengalaman artistik-historis mempengaruhi bagaimana seniman iluminasi membentuk hiasan flora atau fauna, pola geometris, dan pilihan warna untuk di sajikan.
Cirebon adalah satu dari sekian wilayah yang mensajikan mushaf Al-Quran dengan sentuhan artistik yang mewah pada iluminasi mushafnya. Unsur kedaerahannya bisa diamati melalui pengaruh artistik kebudayaan lain yang telah di interpretasikan dalam berbagai produk kesenian Keraton. Mengamati identitas pada iluminasi mushafnya, seperti sedang menyelami lautan artistik kebudayaan yang kaya dan luas, di dalamnya terbentang sejarah panjang perjalanan Cirebon yang saling silang menyilang dan pengaruh mempengaruhi.
Referensi:
Gallop, Annabel & Akbar, Ali, 2006, The Art of the Qur’an in Banten: Calligraphy and Illumination, Vol. 72, (Archipel: Paris);
Gallop, Annabel, 2012 The Art of Qur’an in Java, Vol. 5, (London : Suhuf);
Handayani, Wuri, 2018, Bentuk Makna dan Fungsi Seni Kerajinan Batik Cirebon, Vol. 6 (Jurnal ATRAT: Bandung);
Safari, Achmad Opan, 2010, Illuminasi dalam Naskah Cirebon, Vol. 3, No. 2, Suhuf;
Baca Juga
https://alif.id/read/mak/agenda-artistik-keraton-pada-iluminasi-mushaf-cirebon-b247907p/