Air dalam Paradigma Pembangunan, Forum Dunia dan Ekspresi Kebudayaan

Situasi kita hari ini ditandai dengan krisis lingkungan yang memiliki dampak global dan menjalar ke berbagai segi kehidupan. Bencana alam seperti banjir dan tanah longsor, akhir-akhir ini kerap terjadi di wilayah Indonesia dan menjadi ancaman bagi kehidupan masyarakat.

Banjir menjadi penanda kondisi darurat lingkungan hidup, problem kompleks yang selalu mengancam tapi tidak pernah terselesaikan secara tuntas di Indonesia. Banjir menjadi refleksi bahwa bencana itu bukan murni fenomena alam tanpa campur tangan manusia. Kita harus mengakui bahwa kita abai terhadap kesadaran ekologis.

Dalam perspektif etika lingkungan, kita melupakan dimensi kehidupan elemen penyusun ekosistem, yang mengandung pola interaksi komplementer sekaligus kausalistik dalam jejaring kehidupan. Tidak hanya terkait lingkungan, banjir menjadi penanda masalah kebijakan politik, orientasi sosial hingga kesadaran kultural.

Ini dipengaruhi paradigma pembangunan yang selama ini terkonsentrasi pada sektor ekonomi sehingga seluruh sumber daya dikerahkan. Ekonomi memang bagian dari pembangunan, tapi biaya hilang atau rusaknya ekosistem dan dampak sosial tidak dihitung. Terjadilah eksploitasi, yang sesungguhnya menimbulkan masalah serius lain, seperti kerusakan lingkungan. Pengetahuan tentang dampak kerusakan lingkungan barangkali memang sudah ada, tapi nekat diterobos juga.

Kebudayaan

Padahal dalam budaya masyarakat kita, dialog dengan alam telah menjadi bagian dari tradisi komunal. Konsep ruwatan, larungan dan juga bersih desa merupakan salah satu cara kebudayaan menyikapi alam, khususnya pemuliaan terhadap air.

Dalam konteks kebudayaan kita, air adalah zat yang sarat makna – entitas yang renik, kompleks, tetapi juga sistemik, mitologis dan simbolik sekaligus. Tak semata benda cair, air adalah penanda fisiologis, siklus biologis, falsafah hidup dan simbolisme komunal hingga logika kultural dan ekspresi artistik masyarakat. Setiawan (2014) menyebut air menjadi elemen wajib dalam ritus-ritus upacara tradisi Nusantara, medium untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit, keberkahan, kekebalan hingga mantra jahat (black magic).

Baca juga:  Superioritas Suguhan Hajatan

Cerita pewayangan mengisahkan Bima mendapat perintah dari sang guru Durna untuk mencari tirtapawitra, air suci pemberi hidup abadi. Air kehidupan itu kemudian didapat dalam wujud Dewa Ruci, yang memberi wejangan dan petuah tentang nilai kebaikan dan kebajikan hidup. Bima mencapai jatidiri sebagai manusia melalui medium air.

Disamping fungsinya yang esensial dalam konteks kebudayaan, air menempati posisi penting dalam agama. Dalam Islam, air bukan hanya medium pembersih fisik, tapi untuk menyucikan diri dari kotoran nonfisik (hadas) yang menghalangi sahnya shalat. Air adalah media utama untuk berwudu, yang berarti menyucikan “sifat-sifat setan” di dalam diri (Saidi, 2015). Begitu juga bagi umat Nasrani, Hindu dan Budha, percikan air adalah berkah rahmat yang diharapkan.

Tapi kini air mendapat arti berbeda dalam kehidupan. Ia menjadi semata benda, profan, dianggap tak memiliki kedalaman makna. Bahkan ia terkomodifikasi menjadi material belaka, termasuk dijadikan produk ekonomi yang bertujuan pada hitungan profit dan logika kapital belaka. Basis logika kultural, konteks religiositas dan semesta spiritualitas yang terkandung dalam kosmologi air kini tercemar oleh hasrat kemanusiaan dan nafsu dinamika zaman yang makin mengeringkan kualitas peradaban.

World Water Forum

Maka gelaran World Water Forum (WWF) di Bali 18-25 Mei 2024 menjadi penting. 350 sesi digelar di forum yang akan dihadiri sekitar 30.000 peserta. Sebanyak 32 kepala negara anggota forum juga akan hadir dengan 190 diantaranya adalah pejabat setingkat menteri serta 60 organisasi akan membahas pengelolaan air sebagai sumber kesejahteraan bersama (Water for Shared Prosperity) yang menjadi tema WWF kali ini.

Baca juga:  Gus Yahya dan Manifesto Kebudayaan NU

Forum ini membahas permasalahan global ketika persediaan air bersih mulai berkurang, perubahan iklim menaikkan tinggi muka laut serta ledakan pertumbuhan penduduk yang semakin membebani sumber daya alam dunia. Sementara itu, kebutuhan akan air terus saja meningkat.

Pada forum tersebut, Indonesia mendorong enam isu untuk dibahas dalam forum, yaitu Water Quality Assessment and Ekosistem Health, Water Quality Improvement, Public Health, Protection of Fresh Water, Ground Water and Marine Ecosystem, Source Control (Point & Diffuse Source Pollution), dan Ecohydrological Nature-Based Solutions (EH-NBS). Semuanya mendiskusikan permasalahan kualitas air dan solusinya, baik melalui sistem monitoring, tukar menukar data terhadap sumber-sumber pencemaran, pelindungan mata air serta pemulihan sumber daya alam berdasar kearifan lokal belajar dari alam.

Dengan diadakan di Bali, kita dan WWF (baca: dunia) semestinya juga bisa belajar pada kearifan lokal kita yang sudah diakui UNESCO sebagai warisan dunia yaitu subak. Subak adalah sebuah sistem tradisional untuk pengaturan pengairan dan musim tanam, panen, dan masa jeda pertanian. Sebuah lembaga sosial dan keagamaan, asosiasi-asosiasi yang demokratis dari petani dalam menetapkan penggunaan air irigasi untuk pertumbuhan padi, bahan makanan pokok orang Bali.

Subak tidak hanya sekedar sistem irigasi, tetapi juga merupakan konsep kehidupan. Selain pembagian air, penetapan waktu tanam dan penentuan jenis padi yang ditanam pun dilakukan bersama. Sanksi terhadap berbagai bentuk pelanggaran juga ditentukan bersama melalui ritual yang dilaksanakan di pura.

Baca juga:  Manakib Alif.id: Komentar Pembaca di Tahun Kelima

Subak adalah nilai pemuliaan kepada air, kesadaran pewarisan nilai-nilai Tri Hita Karana, moral etik keseimbangan horizontal-vertikal yang terus menjadi roh hidup masyarakat Bali. Subak menjadi salah satu contoh nyata logika kearifan lokal yang semestinya bisa menjadi pedoman bagi masalah bencana alam banjir dan kerusakan lingkungan yang terjadi di negara ini, sang tuan rumah WWF 2024. Di sisi lain, ini membuktikan bahwa kebudayaan bisa menjadi refleksi solutif atas permasalahan komunal yang terjadi.

Subak menjadi potensi kebudayaan yang juga bisa menjadi modal pembangunan. Tantangan terbesar dalam mewujudkannya adalah menggeser paradigma pembangunan yang selama ini berfokus pada pertumbuhan ekonomi. Segala sumber daya dikerahkan sebesar-besarnya untuk tujuan itu. Alhasil, eksploitasi sumber daya alam merajalela. Hilirisasi pun hanya bersandar pada industri ekstraktif. Padahal, eksploitasi berlebihan sangat rentan memicu masalah, salah satunya kerusakan lingkungan.

Kebudayaan sebagai panglima adalah keniscayaan. Hal ini mesti terwujud dalam strategi politik membangun peradaban bangsa melalui jalan kebudayaan. Caranya dengan memanfaatkan nilai-nilai (kearifan lokal dan nilai-nilai dari luar),  akal budi (pikiran, sikap, gagasan), tradisi, sejarah, nasionalisme, patriotisme, sistem perilaku etis, ekspresi estetis, ekspresi non-estetis, serta karya budaya yang bermuara pada penguatan karakter bangsa.

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/purnawan-andra/air-dalam-paradigma-pembangunan-forum-dunia-dan-ekspresi-kebudayaan-b249400p/