Air Mutanajjis dan Hati Seluas Laut Samudera

Media bersesuci yang utama dan umum digunakan adalah air. Namun, tidak semua air dapat digunakan untuk bersesuci. Secara umum dalam kitab Fath al-Qarib terdapat empat kategori air. Pertama, air suci mensucikan yakni air yang statusnya suci dan dapat digunakan untuk bersesuci. Kedua, air suci mensucikan namun makruh digunakan. Ketiga, air suci namun tidak bisa mensucikan. Keempat, air najis/mutanajjis.  Tidakkah disadari bahwa sesungguhnya teori tersebut adalah bentuk visualisasi keadaan hati manusia.

Sedangkan najis merupakan sesuatu yang dianggap kotor oleh syariat dan berpotensi untuk membuat benda suci yang dikenainya menjadi mutanajjis (sesuatu yang terkena najis) sehingga sesuatu yang pada awalnya berstatus suci menjadi mutanajjis sebab terkena najis. Dalam Islam, pembahasan tentang kesucian sangat rinci dijelaskan dalam kitab-kitab tutats. Pembahasan mengenai kesucian diletakkan pada awal pembahasan sebab keadaan suci merupakan syarat mutlak untuk melakukan ibadah kepada Allah SWT.

Tulisan ini akan menjadikan air sebagai metafora dari hati. Dan menjadikan najis sebagai perumpamaan dari penyakit hati.

Pada awalnya semua air di dunia ini adalah suci. Tidak ada air yang diciptakan dalam keadaan najis/mutanajjis. Namun, seiring berinteraksinya air-air tersebut dengan banyak hal di dunia ini maka keadaan air tersebut pun berubah sesuai kadar kedekatan mereka. Begitu pula dengan hati manusia. Hati manusia diciptakan bersih tanpa noda. Akan tetapi, kian hari dan kian bertambah interaksinya dengan dunia maka keadaan hati manusia itu juga akan berubah dengan kadar seberapa dekatnya mereka.

Baca juga:  Islam Garis Lucu

Secara umum, perubahan status air dari suci menjadi mutanajjis terbagi menjadi tiga kategori: 1) Air sedikit (kurang dari dua kullah) yang terkena najis, 2) Air banyak (lebih dari dua kullah) yang terkena najis lalu sifat-sifat air berubah, dan 3) Air banyak (lebih dari dua kullah) yang terkena najis namun sifat-sifat air tidak sampai berubah. Kategori pertama dan kedua jelas merubah status air dari status suci menjadi mutanajjis. Sementara kategori ketiga tidak, dalam artian keadaan air tersebut tetap dihukumi suci.

Mari kita ilustrasikan lebih detail.

Pertama, air sedikit (kurang dari dua kullah) yang terkena najis. Semisal air dalam sebuah gelas. Kemudian air tersebut terkena atau dijatuhi najis. Maka otomatis air yang berada dalam gelas tersebut akan menjadi air mutanajjis. Sama halnya dengan hati manusia. Hati yang sempit ketika Allah uji dengan ujian kecil saja sudah ingin mati saja rasanya. Merasa tidak punya arah hidup dan merasa diri paling tidak berdaya. Seakan-akan Allah tak menyayanginya dan tak pernah memberinya nikmat dan rahmah.

Kedua, Air banyak (lebih dari dua kullah) yang terkena najis lalu sifat-sifat air berubah. Misalnya air dalam bak mandi. Jika air dalam bak mandi terkena najis lalu berubah sifat-sifat air tersebut entah warnanya, rasanya atau baunya maka air dalam bak mandi yang tadinya suci kini telah beralih status menjadi mutanajjis. Begitu pula hati manusia. Hati yang sedang-sedang keluwesannya (tidak sempit namun tidak pula luas) tidak akan menjadi sakit jika diberi ujian kecil. Namun apabila ujian yang datang ukurannya lebih besar dan hati tidak memiliki kapasitas yang memadai, maka sakitlah hati tersebut.

Baca juga:  Kala Filsafat Bertemu Agama

Ketiga, Air banyak (lebih dari dua kullah) yang terkena najis namun sifat-sifat air tidak sampai berubah. Air laut contohnya. Air di laut tidak akan berubah status menjadi mutanajjis sampai kapanpun. Meskipun terkena najis paling najis sekalipun seperti bangkai anjing dan babi. Sebagaimana hadis nabi:

هو الطَّهورُ ماؤه، الحِلُّ مَيتتهُ

“Air laut itu suci dan bangkai di dalamnya pun halal”

Persis hati manusia. Apabila seorang manusia memiliki hati seluas lautan, maka ujian seberat apapun, ujian sebangkai apapun, ia akan tetap sabar menerima, menghadapi dengan kedewasaan dan akal sehat. Dan di dalam hati jenis ini dipastikan ada sebuah bunga indah bernama husnudzan. Berbaik sangka terhadap semua yang telah Allah gariskan dan takdirkan.

Urgensitas menjaga hati telah sejak dahulu disabdakan oleh nabi:

أَلَا وَإِنَّ فِي الْإِنْسَانِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ. أَلَا وَهِيَ الْقَلْب

“Sesungguhnya dalam diri manusia terdapat segumpal daging. Apabila segumpal daging itu sehat, maka seluruh tubuh manusia akan sehat. Dan apabila segumpal daging itu rusak, maka seluruh jasad manusia juga rusak. Segumpal daging itu bernama hati.”

Tulisan ini akan berakhir dengan sebuah kesimpulan bahwa anugerah penting yang mestinya kita cari dan gapai adalah adalah kelapangan dan keluasan hati. Seorang hamba Tuhan yang memiliki hati jenis tersebut tidak akan merasa tersiksa dengan dunia yang menurut orang lain katanya menyesakkan. sesuatu yang buruk dan baik dapat diterimanya dengan pandai dan sabar.

Baca juga:  Fikih Tanah-Air Indonesia (1): Hak Syuf’ah

https://alif.id/read/huk/air-mutanajjis-dan-hati-seluas-laut-samudera-b244960p/