Oleh: Ahmad Karomi* Kiai Zainuddin selain dikenal teguh memegang syariat tanpa kompromi, beliau juga fasih berbicara tentang tasawuf. Hal …
Kiai Zainuddin selain dikenal teguh memegang syariat tanpa kompromi, beliau juga fasih berbicara tentang tasawuf. Hal ini terdokumentasikan dengan baik dalam sejumlah kitab yang beliau bacakan, seperti kitab Bidayah al-Hidayah dan Ihya ‘Ulum al-Din. Kedua kitab tasawuf itu merupakan karya al-Ghazali. Khusus kitab Bidayah al-Hidayah, Kiai Zainuddin Djazuli selalu khatam tiap tahun kemudian diulang Kembali dari awal.
Kitab Bidayah al-Hidayah al-Ghazali ketika dibaca dan diterangkan oleh Kiai Zainuddin terasa sangat ”hidup”. Misalkan, tentang bab hasud, kibr, riya’, ujub, ghibah yang dikutip dari hadis riwayat Muadz, bahwa amal seorang hamba saat di bawa malaikat ke langit akan diinterogasi terlebih dahulu dengan ketat meskipun laku amal itu menggemparkan langit. Dan akan ditolak bilamana terselip sombong, hasud, riya’, ujub, ghibah.
Tepat pada redaksi “qifu wadribu bi hadzal amal wajha sahibih” (berhenti dan pukulkan amal ini kepada pemiliknya)”, tiba-tiba Kiai Zainuddin sesenggukan menangis seraya berkata (kurang lebih berikut narasinya): “Bab meniko angel tenan, kulo piyambak dereng saget ngelampahi, sinten mawon saget ngelampahi isi kitab Bidayah al-Hidayah niki kulo acungi jempol”, (Bab ini sangat sulit dilakukan, saya pribadi belum bisa mempraktekkan, siapa saja yang mampu mempraktekkan isi kitab ini, saya acungi jempol).
Saya sebagai salah satu dari ribuan santri yang mendengarkan ulasan Kiai Din ikut trenyuh. Bagaimana tidak? Kiai Zainuddin yang dijuluki sebagai al-Ghazali sekaligus Sibawaih-nya Ploso ini begitu tawaduk hingga sedemikian rupa. Beliau memposisikan santri dengan dirinya “sama” di hadapan Allah untuk persoalan ketakwaan. Malah tanggungjawab seorang Kiai lebih berat bilamana tidak mengamalkan ilmunya. Bagi saya, memandang laku keseharian Kiai Din seolah membaca “dawuh” yang terdapat di dalam kitab yang dibaca setiap hari. Sesuai “lisanul hal afsahu min lisanil maqal”. Berkali-kali Kiai Din mengingatkan santri untuk mutala’ah (mempelajari lagi) kitab sebelum memulai “ngaji”, karena dari mutala’ah itu bentuk taaddub (sopan) kepada para penulis (muallif) kitab sekaligus merontokkan perasaan sombong diri.
Tidak mengherankan, bilamana hubungan Kiai Zainuddin Djazuli dengan para santri terjalin kuat karena memang beliau totalitas “ngopeni”, “nggulo-wentah”. Terlebih Kiai Din kadang memanggil “santri” dengan panggilan “Gus, konco-konco, anakku”. Beliau jarang memanggil dengan “santri-santriku”. Panggilan ini menunjukkan bahwa Kiai Zainuddin sangat mencintai santri Alfalah Ploso. Beliau juga menegaskan bahwa santri Alfalah Ploso secara ideologis adalah dzuriyyah Djazuliyah yang harus menjaga nama baik almamater. Tolok ukurnya adalah “ta’lim wa ta’allum”.
Kiai Zainuddin konsisten dengan prinsip “syariat dan tasawuf harus berjalan seimbang”. Artinya, syariat adalah pondasinya, tasawuf adalah akhlaknya. Sebelum beliau kapundut, menurut kesaksian khadim, Cak Rohim, tatkala Kiai Zainuddin di Rumah Sakit dalam keadaan tidur karena bius, kemudian terdengar suara azan, tiba-tiba tangan beliau bergerak otomatis layaknya orang melaksanakan sholat. Gerakan tangan ini bukan gerak sembarangan, akan tetapi ini adalah gerakan istimewa dari seorang yang telah mencapai tingkatan mulia di sisi Allah.
Walhasil, ajaran tasawuf Kiai Din berupa membersihkan kotoran “radzail” hati dari sombong, iri, dengki, ghibah yang terselip dalam tumpukan ilmu, amal ibadah dengan tetap tawaduk, sering mutala’ah, tidak riya’ adalah fase awal seorang hamba untuk mendapatkan futuh dari Allah.
Semoga kita semua diakui santri beliau, khususon Kiai Din Ploso, al-fatihah.
______________________
https://www.halaqoh.net/2021/07/ajaran-tasawuf-kiai-zainuddin-djazuli.html