Akad Kerjasama Pemasaran Produk dengan Influencer dalam Kajian Ekonomi Syariah
Jika kita berbicara mengenai ilmu pemasaran (marketing), maka tidak akan lepas dari bauran pemasaran (marketing mix). Salah satu dari bauran pemasaran adalah promosi (promotion). Dalam ilmu pemasaran modern saat ini ada istilah yang dikenal dengan influencer.
Influencer dalam KBBI artinya ialah pemengaruh yang berarti influencer adalah orang yang menggunakan media sosial untuk mempromosikan atau merekomendasikan sesuatu. Influencer dapat dimaknai sebagai seseorang yang mampu memberi pengaruh pada orang lain untuk tergerak melakukan sesuatu.
Ketika metode pemasaran masih secara oral, maka influencer adalah orang-orang terdekat kita. Memasuki era teknologi, penggunaan influencer sudah melalui media elektronik berupa iklan di televisi dan bisa juga melalui iklan billboard. Di abad ke-21, melalui Facebook, Instagram, TikTok dan lain sebagainya serta melalui genggaman smartphone, semakin sering influencer hadir dalam kehidupan kita.
Intensitas penggunaan smartphone juga turut memengaruhi kita dalam kegiatan ekonomi. Terutama bagi kita yang sedang menjalankan sebuah usaha atau bisnis, maka penggunaan influencer tidak bisa dihindari. Itu semua demi menarik calon konsumen sehingga produk kita menarik untuk dikonsumsi dan strategi ini disebut juga dengan endorsement.
Biasanya pelaku usaha akan memilih influencer yang sudah memiliki jangkauan pengikut yang luas. Terlebih ketika influencer tersebut memiliki jumlah pengikut (followers) yang banyak, maka akan lebih mudah dalam mengiklankan produk tersebut.
Praktiknya adalah pelaku usaha menghubungi influencer untuk menawarkan kerja sama. Masing-masing pihak dari pelaku usaha dan influencer memberikan syarat dan ketentuan untuk dipahami dan berujung pada akad yang disepakati.
Islam telah mengatur prinsip syariah bagi pemeluknya dalam melakukan promosi. Salah satu prinsip yang harus dipegang adalah promosi tersebut tidak ada indikasi penipuan dan kecurangan. Maka penting bagi influencer untuk mengetahui produk apa yang akan dia iklankan.
Selain untuk melindungi calon konsumen (yaitu pengikutnya atau followers), hal ini juga untuk melindungi pelaku usaha. Ketika influencer keliru dalam iklan, maka yang akan merasakan dampaknya adalah pelaku usaha juga.
Kesepakatan antara keduanya harus benar-benar final sehingga ketika terjadi kerugian (wanprestasi), solusi hukum dapat segera diambil.Konsep promosi dengan metode endorsement ini menggunakan konsep ijarah (sewa-menyewa). Pelaku usaha menggunakan jasa influencer untuk mengiklankan produknya. Konsep ijarah juga pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad ketika beliau hijrah ke Madinah. Dalam hadis riwayat Sayyidah Aisyah ra disebutkan:
حدثنا يحيى بن بكير حدثنا الليث عن عقيل قال ابن شهاب فأخبرني عروة بن الزبير أن عائشة رضي الله عنها زوج النبي صلى الله عليه وسلم قالت واستأجر رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبو بكر رجلا من بني الديل هاديا خريتا وهو على دين كفار قريش فدفعا إليه راحلتيهما وواعداه غار ثور بعد ثلاث ليال براحلتيهما صبح ثلاث
Artinya, ‘Bahwa sayyidah Aisyah RA, istri Nabi, berkata: dan Nabi Muhammad serta Abu Bakar mempekerjakan (menyewa jasa) seorang pria dari Bani Diil sebagai penunjuk jalan’. (Ibnu Hajar al Asqalani, Fathul Bari Syarhu Shahihil Bukhari, [Beirut, Darur Rayan Litturats: 1986], jilid IV, halalam 518).
Perbedaan antara ijarah dengan jual beli (bai’) adalah objeknya. Objek ijarah adalah manfaat dari sebuah produk atau jasa, sedangkan objek jual beli (bai’) adalah barang dari produk tersebut. Ketentuan tentang ijarah telah diatur dalam fatwa DSN-MUI nomor 9 tahun 2000 dan PBI nomor 7 tahun 2005.
Pekerjaan yang dilakukan oleh influencer yaitu memberikan petunjuk kepada pengikutnya (followers) tentang sebuah produk usaha (barang atau jasa). Hal ini mirip dengan bunyi hadits di atas bahwa pria yang dipekerjakan oleh Nabi Muhammad juga memberikan petunjuk yaitu petunjuk jalan ketika hijrah.
Dalam hadits disebutkan bahwa pekerjaan yang dilakukan pria tersebut berhasil dan Nabi Muhammad sampai dengan selamat di Madinah. Adapun influencer dalam pekerjaannya bisa terjadi wanprestasi (kerugian) yang mengakibatkan kerugian bagi pelaku usaha, namun bisa juga menghasilkan kesuksesan. Wallahu a’lam.
Ustadz Muhammad Nurulloh, Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta konsentrasi Kajian Industri dan Bisnis Halal