Al-Farabi dan Karakter Pemimpin Bijak

Abu Nasir Muhammad bin al-Farakh al-Farabi atau disingkat Al-Farabi lahir pada tahun 257 H (870 M) di Farab, provinsi Transoxiana, Turkestasada. Ia ilmuwan dan filsuf Islam.

Al-Farabi juga dikenal atau lebih dikenal dengan nama lengkap Abu Nasir Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tarkhan Ibn Auzalagh Al-Farabi. Ia dikenal di Eropa sebagai Alpharabius atau Avennasr.

QURBAN NU CARE

Ayahnya merupakan seorang pejabat tinggi militer pada dinasti Samaniyah (819-999 M) yang menguasai Transoxiana wilayah kekuasaan dalam kekhalifahan Bani Abbas (758-1258 M).

Panggilan Al-Farabi diambil dari nama daerah kelahirannya. Ibunya berkebangsaan Turki. Ia menempuh pendidikan dasar di Farab. Selanjutnya, ia berpindah ke Bukhara.

Sejak kecil, Al-Farabi gemar belajar dan memiliki kemampuan luar biasa dalam bidang bahasa. Beberapa bahasa yang ia kuasai antara lain; bahasa Iran, Turkestan, dan Kurdistan.

Pada bulan Rajab 339 H atau Desember 950 M, Al-Farabi meninggal dunia tepat diusianya yang ke 80 tahun dan dimakamkan di luar gerbang kecil (al-bab al-saghir) kota bagian selatan.

Iklan – Lanjutkan Membaca Di Bawah Ini

Menurut Yamani (2002:59), semasa hidupnya, Al-Farabi menghasilkan kurang lebih 119 buah karya tulis.

Berikut kumpulan karya yang ditulis Al-Farabi yaitu ; Tahshil al-Sa’adah (Mencari Kebahagiaan), ‘Uyun al-Masa’il, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah (Pikiran-Pikiran Penduduk Kota Utama, Negeri Utama), Ihsha’ al-Ulum (Statistik Ilmu), dan Fushush al-Hikam (Permata Kebijaksanaan).

Baca juga:  Abdul Wahid, Santri Situbondo Itu, Selain Alim Ushul Fikih, Juga Mahir Bahasa Prancis

Pemikirannya juga memberi pengaruh Ibn Rusyd, dan mempertahankan tesis Al-Farabi mengenai kenabian dari kritik Al-Ghazali.

Di dalam Islam, karakter seorang pemimpin meliputi lima hal; pertama, memiliki iman yang kokoh dan beramalan sholeh.

Kedua, mempunyai niat yang baik. ketiga, berpegang teguh pada hukum Allah Swt.

Keempat, menyelesaikan masalah dengan adil. Kelima, memiliki sifat tegas dan lemah lembut.

Menurut Sjadzali (1990:49), pemikirannya yang falsafi dan mendalam menjadi nilai lebih dalam menjadikannya referensi tentang kepemimpinan.

Ia adalah Abū Naṣr Al-Farabi. Al-Farabi (1906:1) berpendapat bahwa manusia bersifat sosial yang tidak mungkin hidup sendiri-sendiri.

Manusia hidup bermasyarakat dan saling membantu untuk kepentingan bersama dalam mencapai tujuan hidup, yakni kebahagian.

Sifat dasar ini yang mendorong manusia hidup bermasyarakat dan bernegara. Baginya masyarakat, terbagi menjadi dua versi, yakni masyarakat sempurna dan masyarakat tidak sempurna.

Menurut Zar (2012:83), masyarakat yang terbaik adalah masyarakat yang dapat bekerja sama, saling membantu untuk mencapai kebahagian.

Masyarakat ini disebut masyarakat utama. Di luar itu, terdapat sekelompok orang lain yang kerjanya membantu dan melayani orang-orang pendukung atasan, dan orang ini berada pada peringkat kedua.

Selanjutnya, ada sekelompok orang lainnya yang tugasnya melayani orang-orang peringkat kedua, dan begitu seterusnya. Sampai kepada anggota yang tugasnya hanya melayani anggota yang lain dan tidak. (Per)

Baca juga:  Ibnu Khaldun sebagai Intelektual

Sumber:

Yamani. (2002). Filsafat Politik Islam; Antara Al-Farabi dan Khomeini. Bandung: Mizan.

Sjadzali. Munawir. (1990).  Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: Bulan Bintang.

Al-Farabi Ara Ahl al-Madinah al-Fadilah. (1234 H/1906 M). Al-Atruk: Al Maktabah Al-Azhar. Cet ke- 1.

Zar. Sirajuddin. (2012). Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: Rajawali Pers.

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/dian-annisa-rizkyah-wati/al-farabi-dan-karakter-pemimpin-bijak-b238937p/