Ale Rasa Beta Rasa: Metode Orang Maluku Mengenal Diri Sendiri

Sejak era Yunani hingga sekarang, pertanyaan tentang apa itu “diri” merupakan kajian yang sangat menarik. Namun, kajian itu kadang dilupakan banyak orang. Bahkan, kalau kita renungkan secara mendalam, yakni saat kita bertanya ke diri kita masing-masing tentang “siapa saya?”, muskil terjawab segera. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman atas diri sendiri tak semudah memahami orang lain. Kita memang agak mudah menilai orang lain baik itu tentang kekurangan maupun kelebihannya. Namun, pada saat kita bertanya ke diri kita sendiri, tentang siapa saya, ini memang sulit terjawab segera.

Mengapa kita sulit memahami diri kita sendiri? Ada banyak faktor yang membuat kita sulit memahami diri kita sendiri. Paling utama adalah berkaitan dengan kesalahan-kesalahan kognitif yang kita buat sendiri saat memahami diri sendiri. Kesalahan-kesalahan kognitif itu mencakup hallo effect, cognitive conservatism bias, confirmation bias, dan social desirability bias. Penjelasannya sebagai berikut.

Pertama, hallo effect merupakan kecenderungan kita menilai diri kita sendiri berdasarkan informasi tertentu yang tampak menonjol. Misalnya, kita menganggap diri kita sebagai orang yang selalu gagal, hanya karena tidak lulus pada mata pelajaran tertentu. Hallo effect kadang mewarnai kesalahan kita saat mempersepsikan diri sendiri. Akibatnya, kita cenderung tidak objektif memahami diri sendiri.

Kedua, cognitive conservatism bias, ini juga kadang menghambat kita dalam menilai diri sendiri. Cognitive conservatism bias merupakan kecenderungan kita tidak mau mengubah pengetahuan dan keyakinan tentang diri kita sendiri. Terutama berkaitan dengan informasi-informasi baru yang bertentangan dengan pengetahuan serta keyakinan kita. Padahal, informasi-informasi baru tentang diri kita itu bisa jadi adalah benar, tapi kita berusaha mengelaknya. Ini juga dapat menghambat kita dalam memahami diri sendiri.

Ketiga, confirmation bias, adalah faktor yang juga membuat kita sulit memahami diri sendiri. Hal ini berkaitan dengan kecenderungan kita hanya menerima informasi yang relevan dengan diri kita sendiri. Jika informasi itu tidak relevan maka kita cenderung menolaknya. Padahal, pemahaman atas diri sendiri butuh keterbukaan diri, yakni menerima informasi yang relevan juga sekaligus yang tidak relevan dengan keyakinan kita sebelumnya.

Baca juga:  Kita Kembali Kehilangan Ulama: KH. Hanif Muslih

Terkahir, ke empat, adalah karena kita memperbesar social desirability bias. Hal ini berkaitan dengan kecenderungan kita melaporkan informasi tentang diri sendiri yang secara sosial dapat diterima, dan berusaha menyembunyikan informasi-informasi yang secara sosial tidak diterima. Misalnya, ketika kita dihadapkan pada informasi tentang diri kita sebagai orang yang gemar bersosial (ekstrovert) maka seolah-olah kita menyetujuinya, padahal diri kita sejatinya adalah introvert.

Beberapa kesalahan-kesalahan kognitif itu yang cenderung membuat kita sulit memahami diri sendiri. Implikasinya, kita sulit merumuskan konsep diri yang utuh sehingga berujung pada rendahnya harga diri. Dalam sejumlah riset psikologi menunjukkan bahwa seseorang yang tidak matang konsep dirinya cenderung menampilkan efikasi diri yang rendah, sehingga berujung pada kegagalan meraih prestasi di masa mendatang.

Ulasan singkat di atas itu menunjukkan bahwa ada banyak faktor yang menghambat kita memahami diri sendiri. Sementara di satu sisi, betapa pentingnya kita harus memahami diri sendiri sejak dini. Terutama berkaitan dengan upaya kita mengetahui dan/atau merumuskan konsep diri kita masing-masing. Ini sangat penting karena berhubungan dengan perilaku berprestasi dan lain sebagainya di kemudian hari. Karena urgensi itulah maka ada banyak metode yang bisa kita terapkan saat memahami diri sendiri.

Orang Maluku, dan mungkin juga orang Jawa serta lainnya sesungguhnya punya metode dalam mengenal diri sendiri. Metode-metode dalam mengenal atau memahami diri sendiri ini kerap bersumber dari nilai-nilai budaya lokal setempat. Misalnya, metode “rumangsa” di Jawa, ini cenderung digunakan orang Jawa dalam memahami dirinya sendiri. Sementara di Maluku, ada metode “ale rasa beta rasa”, ini juga merupakan metode yang sering diterapkan orang Maluku dalam memahami dirinya sendiri.

“Ale rasa beta rasa” adalah ungkapan yang berarti bahwa “apa yang kamu rasa juga saya merasakannya”. Dalam konteks ini, keyakinan dan pengetahuan orang Maluku tentang diri sendiri merupakan determinan dari faktor eksternal yakni orang-orang di sekitarnya. Karena itulah pengetahuan orang Maluku mengenai diri sendiri tidak bersifat mutlak sebagaimana persis dalam ulasan ‘cognitive conservatism bias’ di atas. Melainkan, pengetahuan orang Maluku tentang dirinya sendiri bersifat relatif, sangat tergantung faktor eksternal alih-alih konsep diri orang Maluku tekonstruksi secara sosiologis.

Baca juga:  Tiga Prinsip Srawung dalam Serat Wulangreh yang Mengambil Nilai-nilai dari Al-Qur’an

Ungkapan “ale rasa beta rasa” sebagai metode orang Maluku mengenal diri sendiri (konsep diri) ini, dalam kajian psikologi sosial sangat identik dengan teori symbolic interactionist yang rumuskan Charles Horton Cooley. Dalam ulasannya bahwa konsep diri orang Maluku sangat tergantung kehadiran orang lain. Bahwa orang lain berfungsi sebagai cermin bagi orang Maluku sehingga ia dapat melihat diri sendiri melalui orang lain (looking-glass self).

Dalam praktik misalnya orang Maluku ingin mengetahui apakah dirinya termasuk orang yang menarik atau tidak, maka orang Maluku cenderung mengamatinya melalui bagaimana perilaku orang lain terhadap dirinya. Jika orang lain tidak suka ngobrol lama-lama dengannya, maka ia cenderung menyimpulkan bahwa dirinya bukanlah pribadi yang menarik. Berkaitan dengan hal ini, bahwa penarikan kesimpulan tentang diri orang Maluku melalui orang lain itu cenderung membutuhkan refleksi yang mendalam. Refleksi ini yang kemudian membuat orang Maluku sampai pada pengetahuan tentang dirinya sendiri. Artinya, meskipun faktor eksternal mutlak membentuk diri orang Maluku, namun ia punya kebebasan internal untuk merefleksikannya hingga sampai pada kesimpulan tentang dirinya sendiri.

Melalui metode “ale rasa beta rasa”, maka orang Maluku cenderung membawa dirinya dalam konteks tuntutan sosial. Dengan kata lain, konsep diri orang Maluku dikontrol secara sosial. Namun, di satu sisi, orang Maluku juga punya kebebasan untuk merefleksikan kontrol sosial tersebut. Artinya, pengenalan diri orang Maluku ini bersifat “bebas” sekaligus “terikat”. “Ale rasa” (apa yang kamu rasakan) menunjukkan bahwa pengenalan diri orang Maluku “terikat” secara sosial, dan jika orang lain sudah menampilkan “rasanya” maka melalui hal tersebut orang Maluku lalu merasakannya yakni “beta rasa” (saya merasakannya) secara “bebas” reflektif. Dari proses inilah maka orang Maluku mengenal dirinya sendiri.

Baca juga:  Mengenang Bisri Effendy: Sang Guru yang Mendadak Pergi

Pengenalan atas diri sendiri itu berimplikasi pada bagaimana orang Maluku berperilaku di kemudian hari. Karena “diri” orang Maluku sangat tergantung pada kehadiran orang lain dan kebebasan refleksinya, maka perilaku yang ditampilkannya cenderung penuh ke-hati-hati-an. Misalnya, orang Maluku sangat hati-hati menampakkan perilaku prestasinya di depan orang lain. Dalam pandangan umum orang Maluku, prestasi itu diraih secara kolektif bukan individual.

Karena itulah, jika ada orang Maluku menampilkan rasa banggaannya bahwa ia sudah melakukan banyak hal sehingga terjadi perubahan atau kemajuan, alih-alih semua itu karena dirinya, maka perilaku ini cenderung dinilai orang lain sebagai tidak baik. Akhirnya, orang lain pun menampilkan rasa penolakannya. Hal ini karena prestasi itu sejatinya diraih secara kolektif bukan individual. Melalui “ale rasa beta rasa”, maka orang Maluku yang merasa bangga dengan dirinya sendiri itu kemudian dikontrol oleh rasa penolakan orang lain. Akhirnya, perilaku rasa bangga itu pun luruh dengan sendirinya. Hal ini menunjukkan bahwa metode “ale rasa beta rasa” memiliki implikasi positif bagi kondisi psikologis orang Maluku. Begitulah orang Maluku mengenal dirinya sendiri melalui orang lain sebagai cerminannya.

Ulasan singkat di atas menunjukkan bahwa kearifan budaya lokal setempat seperti “ale rasa beta rasa” ini memiliki nilai-nilai positif bagi masyarakat Maluku. Begitupun juga dengan budaya-budaya di daerah lainnya di Indonesia. Sejatinya hal ini perlu diangkat ke permukaan dan terus dibicarakan terutama oleh para ahli dari berbagai sudut pandang keilmuan masing-masing. Namun, sejauh ini memang masih minim studi tentang nilai-nilai budaya tersebut yang memiliki implikasi psikologis dan sosiologis. Semoga di masa mendatang ada banyak riset tentangnya.

https://alif.id/read/m-kashai-ramdhani-pelupessy/ale-rasa-beta-rasa-metode-orang-maluku-mengenal-diri-sendiri-b247441p/