All Eyes on Rafah: Sejarah Palestina dan Potret Luka Global

All Eyes on Rafah, sebuah tagar yang viral mewarnai media sosial (medsos) sejak 28 Mei 2024. Dibagikan berbagai pengguna medsos atau warganet hingga lebih dari 47 juta, tagar yang dibuat oleh AI dan diunggah pertama kali oleh akun Instagram @shahv4012, menjadi potret luka global.

 

Luka global, itulah potret jerit tangis anak Palestina yang terus memantik respons simpatik masyarakat dunia. Bukan hanya artis dunia yang turut menunjukkan dukungannya secara blak-blakan, tapi juga gelombang boikot produk Israel yang terus menggema.

 

Jeritan kisah menyayat hati pun terus bergulir di atas negeri letak Baitul Maqdis yang suci dan pernah menjadi kiblat umat Islam (selain Baitul Haram Makkah) sejak Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Hingga turunlah surat Al-Baqarah ayat 143-145 pada bulan Sya’ban yang menjadi perintah Allah SWT agar kiblat hanya tertuju kepada Baitul Haram.

 

Selain sejarah agung atas Baitul Maqdis atau yang kita kenal sebagai negeri Palestina saat ini, juga terdapat sejarah peradaban tentang mulianya toleransi. Di antaranya adalah yang dicontohkan oleh khalifah Umar bin Khattab tatkala berhasil merebut tanah Palestina (dulu bernama Iliya’). Suatu hari Umar bin Khattab berkunjung ke Gereja Holy Sepulchre, lantas tibalah waktu shalat. Uskup Sophorius, pemimpin Kristen saat itu, mempersilakan Umar untuk shalat di gereja, tetapi ia menolaknya dengan mengutip surat Al-Kafirun ayat 6.

 

“Andai saya shalat dalam gereja, umat Islam akan mengenang kejadian ini dengan mendirikan sebuah masjid di sana, dan ini berarti mereka akan memusnahkan Holy Sepulchre,” kata Umar kala itu. Subhanallah, sebuah toleransi yang diwujudkan atas sikap bijak Umar bin Khattab.

 

Sedangkan dalam sebuah kisah lain yang diabadikan dalam sebuah film epik berjudul Kingdom of Heaven. Sesuai sejarah, bahwa Sultan Salahuddin Al Ayyubi berhasil merebut kembali Palestina (Yerusalem) pada tahun 1187. Setelah menguasai, sang sultan pun memberikan kebebasan beragama bagi semua warga dan toleransi pun berjalan kuat, sangat berbeda dengan realita saat ini.

 

Tepatnya setelah 1917, Palestina yang saat itu merupakan salah satu bekas wilayah Ottoman, ditempatkan di bawah pemerintahan Inggris oleh Liga Bangsa-Bangsa, mendapatkan kenyataan pahit atas Deklarasi Balfour. Pemerintahan Inggris saat itu mengumumkan dukungannya terhadap pendirian “rumah nasional bagi bangsa Yahudi” di Palestina. Sedangkan saat itu populasi Yahudi minoritas.

 

Pahit getirnya kisah warga Palestina kian bertambah ketika tahun 1922, Mandat Inggris memutuskan kemerdekaan semua wilayah yang berada di kekuasannya, kecuali Palestina. Selama Mandat Inggris tahun 1922 hingga 1947, terjadi imigrasi Yahudi dalam skala besar, terutama dari Eropa Timur seiring dengan kisah Nazi saat itu.

 

Tuntutan warga muslim Arab sebagai mayoritas untuk kemerdekaan dan perlawanan terhadap imigrasi warga Israel, menjadi cikal pemberontakan pada tahun 1937. Upaya warga Palestina untuk merebut kemerdekaan pun tak henti dan babak kian pedih pun terjadi pada tahun 1967. Perang enam hari terjadi sehingga membuat Israel menduduki Jalur Gaza, Tepi Barat, dan termasuk Yerusalem Timur. Warga Palestina sebagai warga pribumi saat itu, justru harus tereksodus dengan jumlah sangat besar, bahkan diprediksi mencapai setengah juta orang.

 

Hingga kini, getir perjuangan warga Palestina pun seakan menjadi kisah tak henti yang terjadi setiap harinya. Rangkaian genosida pun terjadi meski seringkali terbantahkan dengan sebuah gambaran bahwa yang terjadi di Palestina adalah pertempuran dua pihak, bukan perjuangan warga pribumi Palestina untuk mempertahankan tanah mereka.

 

Sangat pedih, terutama ketika Israel yang kian berkuasa, menunjukkan kekuatannya menyerang jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 lalu. Puluhan ribu ton bom dijatuhkan, korban meninggal pun sudah lebih dari 36.550 orang. Jerit tangis anak kecil yang terluka, kehilangan orang tua dan keluarga, kehilangan tempat tinggal, bahkan kehilangan indahnya tawa riang dengan segala hari cerah ceria tanpa asap bom, seakan sudah menjadi identitas Palestina.

 

Namun ketika tangis duka mereka kian menyayat hati masyarakat dunia, kisah jauh lebih pedih pun menyeruak ke publik. Tepatnya dengan serangan biadab pasukan Israel menggempur kampung pengungsi di distrik Tel Al-Sultan, Kota Rafah pada Ahad (26/05/2024) malam. Serangan itu bukan hanya menimbulkan kebakaran para pengungsi yang merupakan warga sipil, tapi sekaligus membakar hidup-hidup para pengungsi yang sebagian besar anak-anak dan perempuan.

 

Menteri Kesehatan Palestina mengatakan 45 orang tewas dan 249 orang lainnya terluka. Tak sedikit korban mengalami luka bakar parah dan anggota tubuh yang patah. Hal demikian pun membuat masyarakat dunia kian tak mampu meredam keprihatinannya.

 

Sebuah keprihatinan global, itulah yang menjadikan media sosial hingga saat ini dibanjiri seruan #AllEyesOnRafah. Sebuah solidaritas dunia akan pertanyaan besar, dimanakah humanisme dan perikemanusiaan berada?

 

Palestina bukan sebatas kisah nyata bagaimana manusia bertahan di tengah kelaparan serta keterasingan dari segala kemajuan dunia seperti listrik, tempat tinggal, dan sebagainya. Namun juga kisah kuatnya semangat bertahan untuk tetap hidup di tengah duka kehilangan para orang terkasih yang terus terjadi dan bertambah setiap hari.

 

Ketika kita membaca sejarah secara utuh, maka kita pun akan bermuara pada kesimpulan bahwa luka tak henti di tanah Palestina bukanlah konflik dua pihak, melainkan sebuah spirit resiliensi untuk berjuang dan bertahan atas tanah mereka dari hadirnya ‘para pendatang’ yang dilegalkan hadir dan berkuasa atas tanah kelahiran mereka.

 

Aksi brutal penuh penindasan atas hak asasi manusia pun tak terelakkan sebagai luka dunia. Dan luka itu masih terus menjadi kisah, entah berapa lama, di sebuah tanah yang menjadi tempat bersejarah peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW.

 

“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.”

 

*) Lia Istifhama, Wakil Sekretaris MUI Jatim.


https://jatim.nu.or.id/opini/all-eyes-on-rafah-sejarah-palestina-dan-potret-luka-global-JHx5y