Sudah sejak lama saya tahu bahwa Kyai Maimoen secara istiqamah menunaikan ibadah haji setiap tahun. Tapi hari itu pertama kali beliau datang ke Rembang untuk keperluan, “Pamit kepada Mbahyi,” kata beliau, “Soalnya kali ini aku mau haji pramuka.”
Walaupun saya tidak berkata apa-apa, beliau tahu, saya bertanya-tanya dalam hati tentang maksud “haji Pramuka” itu.
“Haji bawa beras, bawa ikan asin, cobek, dan lain-lain, itu kan seperti pramuka,” dan beliau terkekeh sendiri, saya iringkan dengan senyum-senyum geli.
Memang, biasanya beliau pergi haji dengan fasilitas VIP, tidak ikut rombongan “ONH biasa”, seperti tahun itu.
“Ini memang aku sengaja, soalnya tahun ini umurku genap seribu bulan,” beliau menerawang sejurus, “Seribu bulan itu ya delapan puluh tiga tahun lebih empat bulan. Orang bisa dikatakan sempurna istiqamahnya itu kalau sudah menjalani sekurang-kurangnya delapan puluh satu tahun.”
Entah kenapa, ungkapan beliau itu menerbitkan rasa ngungun di hati saya. Tidak lama sesudah kunjungan itu, Mbahyi, nenek saya, Nyai Ma’rufah Bisri, wafat dalam usia 96 tahun.
Kyai Maimoen adalah tempat saya datang setiap saya mengalami kegelisahan hidup yang memuncak. Tapi saat sowan kepada beliau, tidak pernah saya matur, wadul, ataupun bertanya apa-apa. Saya hanya mendengarkan apa pun yang beliau dhawuhkan sambil sesekali mencuri-curi pandang wajah beliau. Dan selalu yang beliau sampaikan tepat menotok dan mengurai hal-hal yang menjadi bundhelan keruwetan hati dan pikiran saya. Beliau menjawab pertanyaan-pertanyaan saya tanpa saya harus menanyakannya. Maka selalu sesudah sowan, saya merasakan kelegaan dan kecerahan dan kesegaran jiwa seperti habis mandi.
“Aku ini tidak bisa dipisahkan dari Mbah Bisri,” beliau memaksudkan Mbah Bisri Mustofa, kakek saya.
“Aku tresna kepada beliau dan aku rasakan betul beliau sungguh tresna kepadaku. Pada saat beliau dirawat di rumah sakit sebelum wafat, beliau memanggilku dan mengajakku bicara tanpa ada orang lain. Di situ beliau membisikkan kepadaku tafsir beliau atas akhirnya Surah Al Fath.”
Kyai Maimoen kemudian menguraikan tafsir ayat ke-29, ayat terakhir dari Surah ke-48, Surah Al Fath itu. Bahwa ayat itu menggambarkan sejarah perkembangan Islam.
“Pada mulanya Kanjeng Nabi sendirian, menanggung segala sesuatunya sendirian. Memikul tanggung jawab sendiri. Muhammadun Rasuulullah. Lalu datang sahabat-sahabat yang beriman yang menemani beliau. Walladziina ma’ahu ….”
Selanjutnya adalah zaman para Khalifah yang melakukan penaklukan-penaklukan dan memperluas wilayah kekuasaan: “Asyiddaa-u ‘alal kuffaar”. Kemudian setelah sistem politik mapan, dibangun peradaban untuk kemakmuran dan kesejahteraan semua orang: “Ruhamaa-u bainahum”.
“Taraahum rukka’an sujjadan yabtaghuuna fadl-lan minallaahi wa ridlwaanaa” adalah isyarat lahirnya generasi shufiyyiin mulai Imam Hasan Al Bashri dan seterusnya. Akhirnya adalah generasi “Siimaahum fii wujuuhihim min atsaris sujuud”. Yaitu generasi kita ini.
“Zaman yang asalkan orang sudah mau salat, itu sudah sebaik-baiknya orang,” Kyai Maimoen menuntaskan uraiannya.
Saya rasakan setiap kali saya sowan bahwa bukan hanya saya yang menikmati pertemuan, tapi beliau juga senantiasa terlihat girang, hangat dan bahagia. Saya tidak berani berlama-lama karena takut membuat beliau capek atau terlalu banyak merampok waktu beliau. Tapi selalu beliau yang mencegah saya buru-buru pamit, sampai percakapan berlangsung berjam-jam. Minimal dua jam. Bahkan sampai empat jam tanpa jeda!
Itu adalah kesempatan luar biasa untuk nadhongi ilmu dalam takaran raksasa. Selalu saya jadi terengah-engah secara mental karenanya.
Dari wejangan-wejangan Kyai Maimoen itulah saya lantas mengolah berbagai wacana untuk diperkenalkan kepada publik, baik domestik maupun internasional. Wacana tentang Islam Nusantara, Deklarasi Nahdlatul Ulama pada International Summit Of Moderate Islamic Leaders (ISOMIL) dan Deklarasi Global Unity Forum tahun 2016. Deklarasi “Humanitarian Islam” (Al Islam lil Insaaniyyah) tahun 2017. Dan “Manifesto Nusantara” tahun 2018. Semua diilhami dan merupakan hasil olahan dari wejangan-wejangan Kyai Maimoen. Termasuk juga pernyataan-pernyataan dan pidato-pidato saya di Yerussalem tempo hari.
Terbukti inspirasi-inspirasi dari Kyai Maimoen itu disambut oleh masyarakat internasional dengan antusiasme luar biasa. Membuat saya diundang ke berbagai negara untuk memaparkannya. Membuat Michael Pence, Wakil Presiden Amerika, merasa perlu mengundang saya ke Gedung Putih. Dunia memandang inspirasi-inspirasi Kiai Maimoen sebagai harapan jalan keluar dari kebuntuan kemelut global!
Tiga hari setelah ayah saya wafat, Kyai Sholeh Qosim Allah Yarham, Sidoarjo, menakziyahi saya.
“Kesedihan sampeyan hari ini adalah kesedihannya orang kehilangan,” beliau mewejang, “itu belum kesedihan yang sesungguhnya. Sampeyan siap-siap ya, Gus, kesedihan yang sesungguhnya itu akan datang paling tidak sesudah empat puluh hari. Yaitu setelah sampeyan menyadari harus menanggungkan segala sesuatunya sendiri, tanpa perlindungan dan bimbingan orang tua.”
Segala capaian dalam aktivisme saya adalah karir “membahasakan inspirasi-inspirasi Kyai Maimoen untuk publik dunia”. Kini, tanpa beliau, disapih dari wejangan-wejangan beliau, disapih dari barakah futuh yang beliau pancarkan, disapih dari suara lembut beliau, kehangatan beliau, wajah teduh beliau, dari harum tangan beliau …. Saya merasa kembali seperti kanak-kanak ringkih terlempar sendirian ke tengah hiruk-pikuk kekacauan dunia. Apakah yang masih bisa saya lakukan tanpa bimbingan beliau?
Saya tahu, ada ribuan, bahkan jutaan, orang yang merasakan kegalauan semacam saya. Kuatir akan ancaman kebuntuan hidup tanpa pengasuh jiwa yang selama ini menjadi andalan washilah permohonan futuh Allah.
Kepada jutaan orang pencinta yang kehilangan itu, terlebih keluarga dan dzurriyyah, saya tidak punya kata-kata takziyah. Saya bahkan tak sanggup menakziyahi diri sendiri. Saya hanya mampu berbagi desahan jiwa:
“Allaah Wakiil ….”
https://alif.id/read/yahya-cholil-staquf/allaahu-wakiil-b240402p/