Sejak era tahun 2000-an, badan kesehatan dunia WHO dan World Bank telah menggolongkan bangsa Indonesia dalam catatan merah yang mengidap beban psikologis atau depresi masal. Masalah depresi ini dinilai cukup serius, serta dapat menghambat kemajuan bangsa, karena mengakibatkan produktivitas masyarakat menurun, juga kualitas SDM bisa merosot tajam.
WHO sendiri menggarisbawahi dampak dari depresi yang akan menjadi beban berat bagi kesehatan dunia. Konon, angka prevelensi depresi yang diakibatkan ketidakpastian akan masa depan, bisa mencapai 20 persen dari populasi penduduk dunia. Suatu angka yang fantastik, hingga WHO menganggapnya sangat krusial dan harus segera ditangani bersama-sama.
Menurut penelitian para psikolog, kaum wanita menempati potensi 2-3 kali menderita depresi ketimbang kaum pria. Hal ini disebabkan fluktuasi kadar hormonal wanita yang naik-turun, ditambah lagi dengan posisi wanita secara sosial-budaya yang kurang diuntungkan di Indonesia. Tapi ironisnya, angka kematian akibat bunuh-diri justru lebih banyak dialami oleh kaum pria ketimbang wanita. Dalam kaitan ini, Nalini Muhdi, seorang ahli psikiater dari Universitas Airlangga menyampaikan tesisnya, bahwa kaum laki-laki pada umumnya tidak suka mengekspresikan keluhan perasaan emosionalnya jika dibandingkan dengan wanita.
Menunjukkan perasaan emosional secara terus terang, dianggap kurang ideal bagi seorang laki-laki, seakan menyalahi stereotipe laki-laki yang jantan. Laki-laki cenderung menyangkal dan kurang suka meminta bantuan profesional. “Oleh sebab itu,” tegas Nalidi Muhdi, “ketika perasaan depresi sudah tak tertanggungkan, mereka membiarkan kualitas hidupnya menurun bahkan terjatuh. Padahal, bukankah lelaki maupun perempuan sama-sama makhluk sosial yang punya perasaan. Laki-laki tidak hanya memiliki rasio yang bersifat kognitif, karenanya tak perlu egois seakan-akan laki-laki tak membutuhkan pertolongan.”
Salah satu film menarik yang menggambarkan depresi global laiknya virus-virus yang menyerang otak dan pikiran manusia adalah The Happening (sutradara M. Night Shyamalan). Dalam film yang digarap sutradara berdarah India itu, mengandung pesan, bahwa depresi yang menyebabkan meningkatnya angka kematian akibat bunuh-diri, sangat berkaitan erat dengan masalah kesehatan mental yang tak terpisahkan dari kesehatan fisik dan sosial juga. Akibat serangan yang gencar melalui teknologi informasi, depresi dengan mudah menyerang otak dan pikiran manusia, tanpa pandang bulu.
Bangunan dan konstruksi pikiran yang datang secara eksternal itu, dapat merasuk ke alam bawah sadar, serta dapat menimbulkan ketegangan dan kepanikan di mana-mana. Ironisnya, depresi ini dapat pula merasuk dan menyerang pengambil kebijakan publik, kaum akademisi hingga tokoh agama yang mestinya berfungsi selaku benteng iman dan religiositas. Tapi tak ayal, di antara mereka banyak yang terhanyut ke dalam iklim perubahan yang membuat mereka sibuk membesarkan “benderanya” sendiri.
Ketika psikososial ini menggejala di kalangan tokoh agama, lalu siapa yang akan menjadi penengah bagi pentingnya kesejukan dan ketentraman umat? Toleransi dan kohesi sosial yang kian merenggang, dapat meledakkan amuk massa yang menimbulkan bentrokan fisik. Tanpa disadari, sebenarnya perbenturan itu diawali dari perbedaan pemikiran dalam komunitas kelompok yang berbeda, hingga kemudian menggelembung menjadi kebenaran sesuai versi kelompoknya masing-masing.
Masih banyak indikator ketidakberesan mengenai kondisi kesehatan mental di tengah masyarakat kita. Depresi sosial yang menimbulkan ratusan korban saling berbenturan, justru lahir dari hobi dan kegemaran yang sama. Mereka sama-sama mencintai olahraga sepakbola, namun seakan rela mati demi membela komunitas dan kelompoknya, serta memusuhi rivalnya.
Belakangan kita sering mendengar istilah “schadenfreude” sebagai emosi negatif dan kelainan jiwa yang tak disadari pelakunya. Cikal bakalnya tak lain adalah dendam dan kecemburuan, yang melampaui kadar kejengkelan, ujub dan keangkuhan diri. Tetapi, karena dalam kehidupan manusia ada unsur senang-sedih atau menang-kalah, maka dengan sendirinya ia bersifat masif dan merajalela. Secara manusiawi, kita akan gembira kalau tim sepakbola atau bulutangkis yang disukai berhasil memenangkan lawannya. Sebaliknya, kita akan merasa kesal dan jengkel jika tim kesayangan kita bisa terkalahkan.
Dalam karya-karya sastra, baik dalam maupun luar negeri, ketajaman narasi sering ditampilkan pada tokoh-tokoh yang mengidap kelainan jiwa ini. Pembaca sering tertawa menyaksikan orang-orang gagal atau kalah, yang digambarkan oleh narasi penulisnya. Dari politisi gagal, artis gagal, olahragawan gagal, seniman gagal, atau pengusaha gagal dan seterusnya. Tentu saja kita semua – diakui atau tidak – pernah mengalami emosi puas dan gembira ketika menyaksikan pihak lawan terpuruk atau terjengkang.
Gambaran schadenfreude dalam karya sastra, seakan memperingatkan kita bahwa fitrah manusia senantiasa menyukai kebaikan dan membenci keburukan. Dengan sendirinya, kita bisa merasakan senang ketika yang baik menang dan yang jahat kalah. Kita juga akan merasa gembira ketika mereka yang tertindas dibela, sementara para penindas mendapat hukuman yang setimpal.
Di sisi lain, kita pun kerap menyaksikan bagaimana reaksi sebagian besar orang saat menyaksikan korban-korban penipuan. Sebagian menyatakan dukungan dan simpati, namun tak jarang yang bersikap tak acuh dan masabodoh. Di antara kedua sikap itu, ada lagi yang cenderung ekstrim, bahkan tertawa gembira karena justru merasa senang menyaksikan penderitaan orang lain.
Harold S, Kushner, dalam bukunya “When Bad Things Happen to Good People”, menyatakan bahwa kelompok ketiga itu telah mengalami delusi schadenfreude. Tapi, bukankah kita juga pernah mengalami emosi yang sama ketika melihat tokoh politik yang tak disukai gagal melenggang ke kursi kekuasaan. Bahkan, saat teman kita sakit, seringkali kita tak bisa menahan perasaan bersyukur bahwa hal itu terjadi padanya, dan bukan pada kita, meskipun nurani kita tak menginginkan teman kita sakit.
Para pengidap schadenfreude selayaknya dimiliki oleh pribadi-pribadi yang punya kecenderungan introvert bahkan rendah-diri. Ketika melihat orang lain jatuh dan terpuruk, dorongan harga dirinya naik dan rasa percaya-dirinya tiba-tiba muncul. Sedangkan, orang yang berjiwa besar, rasa empatinya akan mampu mengendalikan dirinya, sehingga dapat memahami bahwa persoalan itu selayaknya disikapi dengan legawa dan bijaksana.
Tidak sedikit tokoh dalam novel Perasaan Orang Banten (POB) yang terjangkiti delusi schadenfreude yang seakan menggejala begitu masif di tengah masyarakat, tak terkecuali di kalangan seniman. Tak jarang penulis dan intelektual menjuluki POB sebagai karya sastra mutakhir yang mampu menghadapi tantangan universalitas di era milenial ini.
Tetapi, apapun kegagalan yang dialami para tokohnya, tentu bukan bermaksud mensyukuri kegagalan dan kejatuhannya. Kita bisa memahami bagaimana ending novel tersebut, yang berusaha diciptakan keselarasan dan keseimbangan oleh narasi penulisnya (melalui tokoh Kiai Muhaimin). Seakan memberikan petuah dan solusi terbaik, meskipun gagal itu soal pilihan, tetapi masyarakat pembaca disuguhkan pilihan lain agar terus maju dan membenahi diri (muhasabah).
Pada awalnya, pembaca seakan digiring untuk tertawa melihat ulah para tokohnya. Misalnya Taufik yang tertangkap polisi karena membobol kantor seorang pengusaha, Pak Majid yang gagal di dunia politik, Haji Mahmud yang gagal jadi ustaz di suatu pesantren, Poppy Ratnasari yang terjerat kasus narkoba, Haji Mahmud yang kalah dalam perjudian, maupun Bang Jali yang terpergok basah dihajar istrinya karena bercumbu mesra dengan seorang waria.
Gambaran schadenfreude dalam novel POB, seakan memperingatkan kita, bahwa fitrah manusia senantiasa berpihak pada kebaikan dan kebenaran. Tentu saja POB bukanlah cernaan bacaan ringan yang menampilkan tokoh-tokoh heroik yang bersifat hitam-putih belaka. Ia bukanlah karya picisan yang hanya gemar menampilkan sosok jagoan dan penjahatnya, kebaikan melawan keburukan, pahlawan dan pecundang. Akan tetapi, suatu karya psikologis dan antropologis yang – menurut penulisnya – tak perlu buru-buru untuk memahaminya saat ini. Boleh jadi pembaca akan sanggup menangkap esensinya, lima atau sepuluh tahun ke depan.
Novel POB bukanlah karya-karya genit dan ganjen yang gemar menampilkan kehidupan glamor di era milenial ini. Tipikal masyarakat Indonesia yang ditampilkan sebagaimana adanya. Mereka adalah orang-orang kalah yang kebanyakan tak mampu memoles citra diri. Mereka juga merasa tak dianggap dan tak diperhitungakan di era yang sarat kempetisi ini.
Ada tokoh Poppy yang paralel dengan Sodik, mereka meninggalkan kampung Jombang, seakan membongkar jargon kosong kapitalisme tentang kemakmuran. Para kapitalis, dan kemudian disokong oleh industri budaya, biasanya mempromosikan kisah kerja keras dan pencapaian luar biasa dari individu-individu miskin yang memulai dari titik nol. Di sinilah penulis menampilkan keduanya selaku pekarja keras di perantauan.
Berbeda dengan Tohir yang hanya penunggu masjid (marbot) yang kemudian mengalami baku-hantam dengan Yosef karena memperebutkan gadis pujaan hatinya (Jamilah). Perasaan amuk yang menghinggapi kepribadian Tohir seringkali dikait-kaitkan oleh urusan agama dan perbedaan mazhab, padahal sejatinya hanyalah urusan cinta atau patah hati semata.
Tokoh Sodik seakan mampu membuktikan bahwa kesuksesan bisa dicapai dengan kesungguhan dan kemampuan diri. Bukan semata-mata romantisme omong kosong belaka. Untuk itu, dalam etos profesionalisme, belajar menguasai sesuatu secara sungguh-sungguh dan dengan penuh kesabaran, adalah jalan terbaik untuk mencapai kesusksesan dan keberhasilan. Ketimbang masyarakat skeptis dan tergiur oleh hal-hal yang bersifat instan, namun menjerumuskan mereka ke jurang kehancuran. (*)