Pada masa Orde Baru, sekian pihak bermufakat menetapkan hari peringatan untuk anak: 23 Juli. Penetapan berbeda dari gagasan diajukan pada masa kekuasaan Soekarno: 6 Juni. Pilihan diksi untuk hari peringatan pada masa 1960-an dan 1980-an itu sama: anak.
Di buku berjudul Kitab Jang Menjatakan Djalannja Bahasa Melajoe (1917 dan 1986), Sasrasoegonda menerangkan: “Dalam soerat-soerat dan bahasa jang haloes-haloes dipakai orang perkataan jang berachiran da, nda atau anda, artinja: koe atau moe atau nja.” Pada awal abad XX, orang-orang biasa membaca atau menulis ajahanda atau ajanda, iboenda atau boenda atau manda, anakda atau anakanda atau ananda atau nanda.” Diksi anak sudah diakrabi tapi saat menulis surat ada penulisan dengan cara berbeda. Penulisan untuk menghormati.
Perkembangan bahasa-bahasa di Nusantara memungkinkan kemunculan sebutan-sebutan berbeda, tak selalu anak. Bahasa-bahasa daerah dan bahasa-bahasa dari negara-negara jauh menjadikan sebutan makin beragam. Kamus-kamus mungkin menampung atau terpelihara cuma dalam tuturan keseharian di pelbagai tempat.
Di Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952), Poerwadarminta mengartikan anak: “turunan jang kedua; manusia jang masih ketjil, orang jang berasal dari (sesuatu daerah); orang jang masuk bagian (keluarga, pegawai, dsb); bagian (dari benda, tubuh, dsb); sesuatu jang ketjil dari jang lain.” Entri anak itu membuat pembaca berpikir lama dan serius. Poerwadarminta mengurusi pengertian anak di halaman 31-33. Dulu, para pembuat kamus mungkin “pusing” dan “ragu” saat menuliskan pengertian anak dan segala hal berkaitan anak.
Masalah berlanjut dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988). Kita memikirkan anak di halaman 30 sampai 32. Jumlah pengertian makin bertambah dibandingkan dengan Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952). Di berita, pidato, atau slogan kadang ditulis anak-anak, tak selalu anak. Di Kamus Besar Bahasa Indonesia, anak-anak diartikan “anak yang masih kecil (belum dewasa).” Poerwadarminta mengartikan: “anak banjak” atau “anak ketjil”. Dua kamus perlahan membuat kita mengaku telat dan sulit memikirkan masalah anak dalam kebahasaan dan perubahan-perubahan zaman.
Sejak puluhan tahun lalu, kita mengenali institusi dinamakan TK (taman kanak-kanak). Di situ, ada anak-anak bermain dan belajar. Poerwadarminta memberi arti kanak-kanak: “anak ketjil”. Di Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian kanak-kanak berubah: “periode perkembangan anak masa pra-sekolah (usia antara 2 dan 6 atau 7 tahun).” Kita menerima penamaan taman kanak-kanak, tak tak harus taman anak-anak.
Pada masa Orde Baru, kita masih mewarisi sebutan ananda, selain anak, anak-anak, dan kanak-kanak. Dulu, ada penerbitan majalah bernama Ananda dengan keterangan: “majalah mingguan anak-anak”. Penamaan ingin menimbulkan kesan berbeda dibandingkan dengan sekian majalah untuk anak-anak terbit di Indonesia: Kunang-Kunang, Si Kuntjung, Bobo, dan lain-lain. Pada abad XXI, ananda masih awet. Kita membuka Tesamoko: Tesaurus Bahasa Indonesia (2016) susunan Eko Endarmoko. Anak memiliki sinonim “ananda, darah daging, momongan, sambungan jiwa, putra, putranda, putri.”
Orang-orang masih mengadakan peringatan Hari Anak Nasional (2022). Peringatan dengan tema besar buatan pemerintah. Berita-berita di koran pun mengesankan seribu masalah ditanggungkan anak di Indonesia. Kita jarang mengetahui ada penjelasan kebahasaan untuk anak, dari masa ke masa. Peringatan mungkin kurang sempurna bila tanpa ulasan mengacu kamus-kamus. Begitu.
https://alif.id/read/bandung-mawardi/anak-dan-kamus-b244723p/