Gus Dur dan HMI punya hubungan emosional. Artinya, jika Gus Dur bertemu orang HMI bahkan cuma mendengarnya, selalu emosi. Itu candaan anak PMII saja sebenarnya, tetapi tidak melulu salah. Berapa persen salahnya, berapa persen yang benar, harus diteliti (kayak apa saja diteliti).
Namun, dalam catatan pendek ini, saya tidak akan menceritakan itu lagi, di samping sudah banyak tulisan atau obrolan, baik oleh “pihak” HMI ataupun PMII, tetapi juga hubungan keduanya, sekarang ini, bisa dibilang baik-baik saja. Sehingga buat apa pula cerita begituan. Tidak menarik. Yang menarik untuk sekarang ini adalah pertemanan Gus Dur dengan Cak Nur. Loh, Cak Nur kan HMI, pernah jadi pentolan organisasi ini selama 2 periode, bahkan sampai sekarang sering disebut sebagai ideolog HMI?
Persis. Tetapi Gus Dur itu lebih banyak memposisikan bahwa antara Cak Nur dengan HMI “berbeda”. “Cak Nur ya Cak Nur. HMI ya HMI,” kira-kira begitu “bahasa tubuh” Gus Dur terkait keduanya. Itulah lihainya Gus Dur. Ada hubungan istimewa antara Cak Nur dan Gus Dur yang sudah dibangun oleh orangtua mereka. Kesan inilah yang saya tangkap dari kalimat-kalimat yang dinarasikan oleh Greg Barton dan bukunya, “Biografi Gus Dur”.
Barton menyiapkan beberapa halaman khusus untuk menceritakan Cak Nur dalam kehidupan Gus Dur. “Nurcholish Madjid — Semangat yang Serupa,” demikian Barton mengawali kisah-kisah Gus Dur dan Cak Nur. Pembahasannya cukup komplit, dari soal hubungan kedua orangtua mereka, aktivis HMI seangkatan Cak Nur hingga Fajlur Rahman, mentor Cak Nur di Universitas Chicago. Semua itu ditulis dari halaman 138-152, jauh lebih banyak daripada pembahasan khusus kedua orangtua Gus Dur sendiri, Abdul Wahid Hasyim dan Solichah, yang cuma separohnya, dari halaman 42-48.
Pembahasan Cak Nur yang cukup panjang ini, kemungkinan besar bias dari Greg Barton yang ingin menyamakan Gus Dur dengan Cak Nur–juga Ahmad Wahid dan Djohan Effendi yang dimentori oleh Mukti Ali– dalam satu kotak bernama “Islam Liberal”.
“…Gus Dur dan Cak Nur mengembangkan pikiran mereka dalam jalur yang sama, dan keduanya menjadi terkenal sebagai unsur penting liberalisme Islam. Dengan memahami sedikit kehidupan Nurcholis dan pikirannya, hal itu banyak membantu kita di dalam memahami Gus Dur,” tulis Barton melabeli Gus Dur.
Label Liberal ini yang kemudian hari, oleh para murid Gus Dur, ditolak mentah-mentah. Bagaimana tidak,, pembaruan keislaman yang dieksplorasi oleh Gus Dur bertumpu pada khazanah keislaman tradisi bermazhab, tarekat, dan mengapresiasi kenusantaraan dengan segala macam pernak-perniknya. Ini sama sekali berbeda dengan Cak Nur.
Sesungguhnya, yang menarik dari tema Cak Nur yang direkam oleh Barton adalah sejarah pertemanannya dengan Gus Dur ini. Sejarah?
Bersambung….
7 Desember,
Solo-Jogja