Diceritakan oleh Greg Barton, Gus Dur pergi ke Jogjakarta untuk Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP), tahun 1954. Artinya tidak lama setelah ayahandanya wafat (1953).
Di Kota Tongseng ini, Gus Dur tinggal di Kauman, rumah seorang Muhammadiyah bernama Joenaidi. Yang menarik, saat jadi presiden Gus Dur mengunjungi Masjid Kauman dan di sana bercerita:
“Saya juga mengaji kepada Kyai Maksum Abu Hasan, Mbah Hana, dan Pak Basyir,” kata Gus Dur, sebagaimana dikutip Suara Muhammadiyah.
Dalam keterangannya, majalah Islam tertua ini menuliskan, “Ketiganya ulama Muhammadiyah, Pak Basyir merupakan ayah dari KH Ahmad Azhar Basyir MA, ketua PP Muhammadiyah sebelum Dr H Muhammad Amien Rais, sedangkan Mbah Hana adalah Direktur Madrasah Mualimat Muhammadiyah Yogyakarta kala itu.” Di Masjid Kauman itu pula Gus Dur mengungkapkan kepindahannya ke Jogja karena di Jakarta tidak naik kelas.
Dan saat di Jogja itulah, Gus Dur bertemu dengan Kiai Ali Maksum. Inilah salah satu fase penting dari kehidupan Gus Dur, yaitu berguru kepada ulama kelahiran Lasem-Rembang, 2 Maret 1915. Sejak itulah, dari remaja, menjadi santri, Gus Dur menjalin hubungan dekat Kiai Ali, hingga menjadi Ketua Umum PBNU.
Tidak ada keterangan yang pasti kenapa Gus Dur dikirim ke Jogjakarta. Tapi, tidak menutup kemungkinan, adanya Kiai Ali Maksum di Jogja, sebagai Pengasuh Pesnatren Krapyak, menjadi salah satu alasan penting Gus Dur menempuh pendidikan di kota ini.
Menurut Gus Zaim Ahmad Syakir dari Pesantren Lasem, ponakan Kiai Ali Maksum, Gus Dur punya nasab dengan keluarga Lasem. “Gus Dur bin Bu Sholichah binti Kiai Bisri Sansyuri (Kiai Bisri aslinya Pati, lalu ke Jombang). Nah, Kiai Bisri itu cucu dari Nyai Salbiyah. Nyai Salbiyah binti Abdul Karim. Abdul Karim itu punya cucu bernama Mbah Ma’shoem, ayahanda Kiai Ali Maksum. Paham gak? Kalau gak paham ya wajar. Mbulet memang..haha..” terang Gus Zaim. Kira-kira tahun 1932-1937, ayahanda dari Gus Zaim mesantren di Tebuireng. Lalu dijemput Kiai Ali Maksum meneruskan ke Tremas, Pacitan, Jawa Timur.
Selain itu, kemungkinan juga, Kiai Abdul Wahid Hasyim—istilah Kiai Ahmad Mustofa Bisri— menjalin hubungan Kiai Ali Maksum. “Tidak berteman, tapi berhubungan—seperti umumnya sesama kalangan pesantren,” kata Gus Mus melalui pesan WA (Ahad pagi, 4 Desember).
“Hubungan silaturahim,” tambahnya.
Umur keduanya satu generasi, Kiai Wahid lahir 1914, lebih dulu setahun. Jika tidak berteman dekat, setidaknya, Kiai Ali mengikuti perkembangan Kiai Wahid sebagai tokoh nasional, menteri agama dan lain-lain. Hebatnya lagi, keduanya punya sifat sama, sama-sama rajin silaturahim dari pesantren ke pesantren, dari kiai ke kiai, serta sama-sama punya apresiasi pada dunia modern. Kiai Wahid dan Kiai Ali boleh dibilang sama-sama kiai kosmopolit kala itu. Andai Kiai Wahid tidak meninggal tahun 1953 karena kecelakaan, maka keduanya akan intens bertemu. Sebab, Kiai Ali tahun 1955 diangkat menjadi anggota konstituante dari NU, mewakili Jogjakarta.
Di Jogja, kata Greg Barton, di luar bacaannya sebagai santri dan murid SMEP, Gus Dur mulai gandrung baca buku macam-macam. “Ia melahap banyak buku. Menjelang pertengahan tahun 1950-an, Yogyakarta telah mendapatkan ciri khasnya sebagai kota pelajar,” tulis Barton dalam Biografi Gus Dur. Dari tempat tinggalnya di Kauman, Pak Joenaidi itu, Gus Dur ke Krapyak tiga kali dalam seminggu.
Tidak salah Gus Dur dititipkan juga kepada Kiai Ali, selain masih ada pertalian saudara, meski jauh, juga karena Kiai Ali terkenal sebagai kiai yang mengayomi. Gus Mus mengatakan Kiai Ali itu dipanggilnya “Pak”, “Bapak”, karena sifatnya yang kebapakan, semua santrinya dianggap anaknya sendiri. Dalam bahasa Barton, Kiai Ali adalah ulama yang egaliter, bergaul dengan sangat dekat dengan semua santrinya, mengunjungi kamarnya. Bahkan saking dekatnya, banyak santri yang “mencuri” makanan di dapur rumah Kiai Ali.
Kiai Masyhuri Malik, santri Mbah Ma’shoem yang kemudian mesantren di Krapyak pernah menjadi saksi bahwa Kiai Ali begitu sayang kepada santri yang bernama Kiai Masdar F. Mas’udi. Dia menceritakan diajak Kiai Ali ke kos-kosan Kiai Masdar di dekat IAIN sambil bawa beras. “Masyhuri, ambil beras di dapur. Kita tengok Masdar,” Masyhuri menirukan Kiai Ali.
Sifat mengayomi dan egaliter inilah yang kita lihat pada sosok Gus Dur. Gus Dur kita tahu, penampilannya, sikapnya, jauh dari kesan jaim, menjaga jarak. Sebaliknya, Gus Dur tampak biasa-biasa saja, bahkan agak ada urakan. Dia bisa berakrab-akrab dengan siapa saja. Sama sekali tidak menampilkan dirinya sebagai “darah biru” NU, cucunya pendiri NU. Sifatnya ini dipertahankan sampai dia menjadi Presiden RI.
Karakter Kiai Ali berikutnya yang kemudian diikuti oleh Gus Dur adalah pergaulannya yang luas. Kiai Ali luwes bergaul dengan siapa saja, pemerintah, keraton, pimpinan Muhammadiyah, dan masyarakat umum. Keluwesan Kiai Ali juga tampak dari buku-bukunya yang tidak sebatas karya-karya ulama Syafi’iyah. Beliau tidak membatasi dirinya hanya membaca buku-buku atau kitab-kitab tertentu. Saya kebagian berkahnya juga mesantren di Krapyak, karena banyak mendengarkan dari guru-guru saya tentang kehebatan Mbah Ali ini, juga selera musiknya, berita yang didengar dari radio. Dalam bahasa Gus Dur sendiri, Kiai Ali itu kosmopolit.
Gus Dur mulai intensif belajar bahasa Arab kepada Kiai Ali. Salah satu saksi Gus Dur ngaji kepada Kiai Ali adalah Kiai A. Buchori Masruri (1942-2018), santri Krapyak yang banyak sekali menciptakan lagu untuk kelompok musik perempuan Islam, Nasida Ria. Kiai Ali memang dikenal sebagai ahli dalam bahasa Arab, menyukai sastra, mahir membuat syair-syair dalam bahasa Arab ataupun Jawa. Selera musiknya pun bukan cuma yang bernada Islam, tetapi musik Barat.
Kepada Gus Mus, santri Kiai Ali dan sahabat Gus Dur ini, saya bertanya, “Kepada siapa dan di mana Kiai Ali berguru sehingga demikian ahlinya dalam bahasa Arab?”
Gus Mus menjelaskan dengan panjang lebar, “Allahu yarham Pak Ali (Kiai) Ali saat di Tremas, Pesantren asuhan Allãhu yarham Kiai Dimyathi, yang dijuluki ‘Munjid Berjalan’, karena penguasaan beliau terhadap ilmu lughah. Sementara Allãhu yarham Kiai A. Hamid Pasuruan masyhur dipanggil Al-Adiib, Sang sastrawan. Pak Ali menciptakan sendiri Shorof Krapyak yang berbeda dengan shorof Allãhu yarham Kiai Mashum bin Ali Jombang, yang digunakan di pesantren-pesantreh. Pak Ali punya santri istimewa di bidang Fiqih, yaitu ipar sendiri Allãhu yarham Kiai Zainal Abidin dan santri istimewa di bidan lughah, Allãhu yarham Kiai Warsun, penyusun Kamus Al-Munawwir (yang kini sudah digitalkan oleh putranya, Gus Nanang).”
Tidak heranlah jika Gus Dur, Gus Mus, Kiai Buchori Masruri dan santri-santri lainnya, meniru jejak sang guru, ikut mendalami sastra. Kita tahu, Gus Dur saat kuliah di Baghdad mengambil studi sastra Arab.
Ciri khas lainnya dari sosok Kiai Ali Maksum adalah banyak mempraktikkan Islam dengan pendekatan logika. Ciri ini menempel kuat pada diri Gus Dur. Tetapi, dalam soal wali, menganggap seseorang itu wali atau bukan, Gus Dur berbeda dengan gurunya ini. Gus Dur sepertinya mudah menilai seseorang sebagai wali. Sementara Kiai Ali, “pelit” dalam “mewalikan” seseorang. Sifat pelit dalam mewalikan ini malah sering ditiru oleh santri Kiai Ali yang lain, yaitu Gus Yahya, Ketua PBNU sekarang ini. “Sedikit-sedikit kok wali. Enak betul,” kata Gus Yahya mengomentari orang yang mudah mewalikan seseorang, sambil terkekeh-kekeh.
Dari Pesantren Krapyak, Gus Dur pindah ke pesantren Tradisional (sebuah urutan yang agak aneh. Ini berbeda dengan Kiai Masdar F. Mas’udi, dari Tegalrejo, baru ke Krapyak), tahun 1957. Di Sini Gus Dur belajar kepada Kiai Chudlori. Tidak heran, Gus Dur pernah membandingkan antara Kiai Ali Maksum dengan Kiai Chudori dalam sebuah esainya berjudul “Baik Belum Tentu Bermanfaat”.
4 Desember,
Tambun-Galaxy, Bekasi
Pilihan Redaksi
https://alif.id/read/hamzah-sahal/apa-yang-ditimba-gus-dur-dari-kiai-ali-maksum-krapyak-b246420p/