Apakah Banyak Bertanya Dilarang oleh Agama? Berikut Penjelasannya

Laduni.ID, Jakarta – Sebagian orang mengira bahwa Rasulullah melarang umatnya untuk banyak bertanya seputar syariat atau ketuhanan, dengan alasan untuk menjaga iman agar tidak terlalu jauh masuk ke ranah tersebut.

Mereka mengira bahwa Rasulullah mengajak umatnya agar mengikuti saja apa yang sudah ada, dan akal tidak bisa masuk ke ranah tersebut walaupun sekedar untuk bertanya untuk meyakinkan. Kata mereka dalilnya adalah hadis riwayat Al-Bukhari dan Muslim yang menyebutkan:

إن الله كره لكم ثلاثا: قيل و قال، و كثرة السؤال و إضاعة المال.

“Allah membenci tiga hal dari kalian, Qil wa Qal (mengatakan sesuatu yang tidak ada manfaatnya, dan menyebar kabar tanpa memastikan terlebih dahulu), banyak bertanya dan meminta, dan membuang-buang harta.” (HR. Al-Bukhari 1377, Muslim 1341)

Kalimat “banyak bertanya” pada hadis tersebut tidak bisa diartikan dengan meneliti suatu masalah dengan terperinci, berfikir dengan dalam, atau merenungi masalah hingga menimbulkan banyak pertanyaan. Karena pada dasarnya, ayat-ayat al-Quran dan al-Sunnah banyak mengandung perintah untuk melihat apa yang terjadi di alam semesta.

Tentu apa yang mereka lihat ini akan menimbulkan banyak pertanyaan dan perenungan terhadap apa yang terjadi. Oleh karenanya banyak ayat-ayat yang turun dalam bentuk tanya jawab, seperti Al-‘Araf ayat 187 saat ada orang yang bertanya tentang hari kiamat, dan surat Al-Isra ayat 85 saat ada yang bertanya tentang Ruh.

يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ السَّاعَةِ اَيَّانَ مُرْسٰىهَاۗ قُلْ اِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّيْۚ لَا يُجَلِّيْهَا لِوَقْتِهَآ اِلَّا هُوَۘ ثَقُلَتْ فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ لَا تَأْتِيْكُمْ اِلَّا بَغْتَةً ۗيَسْـَٔلُوْنَكَ كَاَنَّكَ حَفِيٌّ عَنْهَاۗ قُلْ اِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللّٰهِ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَ

Artinya: “Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang Kiamat, ‘Kapan terjadi?’ Katakanlah, ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang Kiamat itu ada pada Tuhanku; tidak ada (seorang pun) yang dapat menjelaskan waktu terjadinya selain Dia. (Kiamat) itu sangat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi, tidak akan datang kepadamu kecuali secara tiba-tiba.’ Mereka bertanya kepadamu seakan-akan engkau mengetahuinya. Katakanlah (Muhammad), ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang (hari Kiamat) ada pada Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.’” (Qs. Al-A’raf: 187)

وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِۗ قُلِ الرُّوْحُ مِنْ اَمْرِ رَبِّيْ وَمَآ اُوْتِيْتُمْ مِّنَ الْعِلْمِ اِلَّا قَلِيْلًا

Artinya: “Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah, ‘Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit.’” (Qs. Al-Isra: 85)

Apa yang disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam kitab Fath Al-Bari (10/407), dan juga Al-Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Al-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim (11/12), bahwa yang dimaksud dari “katsrah al-sual” pada hadis tersebut adalah terlalu sering meminta kepada manusia, baik yang diminta itu materialistik seperti harta dan makanan, atau hal yang lain seperti terlalu sering bertanya tentang privasi pribadi, atau bertanya dengan pertanyaan yang tidak memberikan faidah sama sekali. Jadi sekali lagi, banyak bertanya tersebut tidak diartikan dengan banyak bertanya tentang ilmu.

Pemahaman bahwa “katsrah al-sual” tidak diartikan dengan banyak bertanya soal keilmuan. Dikuatkan dengan hadis lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa suatu waktu Rasulullah sedang berkhotbah, beliau berkata, “Wahai para manusia, Allah telah mewajibkan kalian untuk melaksanakan haji,” tiba-tiba ada seseorang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah haji wajib setiap tahun?” Rasulullah tidak menjawab, namun mengulangi apa yang tadi disampaikan tiga kali.

Sesudahnya, beliau baru menanggapi, “Seandainya aku jawab iya, maka haji akan wajib tiap tahun.” Rasulullah melanjutkan, “Kerjakan saja apa yang aku perintahkan. Orang sebelum kalian celaka karena mereka terlalu banyak bertanya, dan berbeda pendapat dengan para nabi mereka. Jika aku perintahkan sesuatu, lakukan semampunya, dan jika aku melarang sesuatu maka tinggalkan semuanya.” (HR. Muslim 1337)

Yang dimaksud oleh Rasulullah dengan orang yang celaka karena banyak bertanya – sebagaimana yang dijelaskan oleh guruku, Syekh Ahmad Husein – adalah apa yang dilakukan oleh kaum Nabi Musa saat terlalu over dalam meminta keterangan akan sapi yang diperintahkan untuk disembelih. Atas dasar ini, “katsrah al-sual” pada hadis tersebut tidak diartikan dengan banyak bertanya terhadap ilmu syariah atau ketuhanan.

Atau atas dasar yang lain, bahwa sebetulnya soalnya saja sudah salah, lalu bagaimana bisa dijadikan dalil sebagai tidak boleh banyak bertanya. Seperti pada hadis yang lain, yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim. Rasulullah bersabda, “Setan akan mendatangi kalian dan membisikkan, ‘Siapa yang menciptakan ini dan itu?’ Dan kemudian ia akan membisikkan, ‘Siapa yang menciptakan Tuhanmu?’ Jika sudah sampai di titik ini, maka mohonlah perlindungan kepada Allah, dan cukupkan sampai situ.” Pada riwayat Muslim ada tambahan, “Jika kalian mendapatkan kejadian seperti itu, maka katakana, ‘Aku beriman pada Allah.’”

Pada kasus ini tidak bisa diambil kesimpulan bahwa dilarang bertanya tentang Allah, apalagi dilarang banyak bertanya. Kasus ini yang menjadi masalah adalah pertanyaan yang salah.

Karena pertanyaan “siapakah yang menciptakan Tuhanmu?” berlawanan dengan Dzat Allah. Cipta sendiri artinya kan mengadakan sesuatu dari ketiadaan, sedangkan Dzat Allah, wajib adanya tanpa didahului ketiadaan dan tidak akan pernah tiada, lalu bagaimana bisa ditanyakan siapa yang menciptakan sesuatu yang belum pernah tidak ada? Pertanyaan yang salah di awal ini jika diteruskan tidak akan pernah menemukan akhir.

Untuk terbebas dari pertanyaan ini, menurut guruku, Syekh Ahmad Husein Al-Azhari, tidak dengan berfikir, tapi mengikuti anjuran Rasulullah dengan berzikir, yakni memohon perlindungan kepada Allah. Karena mengulangi pemikiran yang diawali dengan pertanyaan yang salah tidak akan pernah memberikan faidah.

Syekh Ahmad Zarruq Al-Fasi dalam kitab ‘Ianah al-Mutawajjih al-Miskin ila Thariq al-Fath wa al-Tamkin mengatakan, “Cara menghapus was-was pada hati dengan berzikir, bukan berfikir.”

Meskipun banyak bertanya tidak dilarang dalam agama, bukan berarti kita merepotkan guru dengan menanyakan semua pertanyaan yang terlintas di benak. Karena sebagai seorang pelajar, hal yang demikian tidak pantas terjadi.

Sebaiknya, jika ada suatu masalah, lebih dahulu diteliti dan dicari, dengan membaca dan berdiskusi. Jika jawabannya ketemu, baru ditanyakan kepada guru untuk meyakinkan, atau jika tidak ketemu jawaban baru ditanyakan kepada guru jawabannya. Hal yang demikian lebih bermanfaat bagi seorang pelajar untuk hidup mandiri dalam berfikir.

Ahad, 6 Maret 2022

Oleh: Gus Fahrizal Fadhil


Editor: Daniel Simatupang

https://www.laduni.id/post/read/74561/apakah-banyak-bertanya-dilarang-oleh-agama-berikut-penjelasannya.html