Laduni.ID, Jakarta – Sebagai umat Islam, kita menyambut datanganya bulan Ramadhan dengan penuh kebahagiaan. Mayoritas umat Islam juga telah menyiapkan diri dalam menyambut bulan suci yang mulia itu sejak sebelum kedatangannya. Sejak di bulan Rajab dan Sya’ban kita telah berharap disempatkan agar bisa menyambutnya. Tentu dengan melatih diri melakukan berbagai amal kebaikan. Semua ini kita lakukan dengan harapan semoga kita termasuk golongan orang-orang yang disebutkan dalam sebuah riwayat yang terdapat di dalam Kitab Durratun Nashihin karya Syaikh Utsman bin Hasan bin Ahmad As-Syakir Al-Khaubawiyyi berikut ini:
مَنْ فَرَحَ بِدُخُوْلِ رَمَضَانَ حَرَّمَ اللهُ جَسَدَهُ عَلَى النِّيْرَانْ
“Barang siapa yang senang dengan datangnya bulan Ramadhan, maka Allah SWT mengharamkan jasad orang tersebut atas api neraka.”
Lantas kapan saatnya bulan Ramadhan itu tiba? Pertanyaan ini penting untuk dikemukakan dalam rangka menambah wawasan keilmuan dan memperkuat keyakinan kita.
Sebagaimana dinyatakan oleh jumhurul ulama (mayoritas ulama), mereka menyepakati bahwa penetapan awal Ramadhan itu dilakukan dengan salah satu dari dua cara, yaitu:
Pertama, dihitung dengan ru’yatul hilal (melihat hilal) bulan Ramadhan, bila tidak ada yang menghalangi pandangan seperti mendung, awan, asap, debu, dll.
Kedua, dengan menyempurnakan bulan Sya’ban 30 hari, bila tanggal 29 Sya’ban ada penghalang di dalam ru’yatul hilal.
Kesepakatan pandangan di atas berdasar dari Hadis Nabi Muhammad SAW berikut ini:
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَاَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَاِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا
“Berpuasalah kalian apabila melihat bulan, dan berbukalah (berhari raya) kalian, apabila telah melihat bulan. Namun jika pandanganmu terhalang oleh awan, maka sempurnakanlan bulan Sya’ban itu sampai dengan 30 hari.” (HR. Bukhari)
Demikian ini yang juga menjadi pendapat mayoritas ulama NU, yang kemudian juga menjadi keyakinan kita. Ditegaskan bahwa ru’yatul hilal adalah pegangan dan pedoman yang diyakini ketepatannya dalam menentukan awal bulan Ramadhan dan juga awal bulan Syawal. Oleh karena itu, seseorang dilarang memulai puasa ataupun mengakhirinya sebelum ada keputusan hasil ru’yatul hilal. Hal ini sebagaimana didasarkan pada riwayat Hadis berikut ini:
عَنْ عَبْدِاللهِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ لاَ تَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوا الهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوْا حَتَّى تَرَوْهُ فَاءِنْ غَمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا لَهُ
“Dari Abdullah bin Umar r.a, bahwa suatu ketika Rasululluh SAW bercerita tentang bulan Ramadhan. Beliau bersabda: ‘Janganlah kalian berpuasa sehingga kamu melihat bulan dan janganlah kamu berbuka (berhari raya) sampai kamu melihat bulan, namun jika pandanganmu tertutup mendung, maka perkirakanlah jumlah harinya’.” (HR. Bukhari)
Kemudian, kalaupun ada golongan atau kelompok lain di negara kita yang menggunakan selain metode ru’yatul hilal dalam menentukan awal Ramadhan dan Syawal, bisa jadi itu lebih dikarenakan kurang tepat dalam menempatkan dan memedomani hujjah atau dalil yang dipakai, misalnya terkait dengan riwayat Hadis berikut ini:
عَنْ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنَّهُ قَالَ اَنَّا اُمَّةٌ اُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتَبَ وَلاَ نَحْسُبٌ اَلشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِى مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِيْنَ وَمَرَّةً ثَلاَثِيْنَ
“Dari Ibnu Umar r.a, bahwa Nabi SAW bersabda: ‘Kami adalah umat yang tidak dapat menulis dan berhitung satu bulan itu seperti ini.’ Maksudnya, satu saat terkadang berjumlah 29 hari dan pada waktu lain 30 hari.” (HR. Bukhari)
Biasanya Hadis di atas dipahami dan dijadikan landasan untuk melemahkan metode ru’yatul hilal sebagaimana yang kita yakini ketepatannya. Dalam pemahaman kelompok tersebut, dipahaminya bahwa Rasulullah SAW menggunakan ru’yatul hilal karena dianggap bahwa di zaman itu dinilai belum mampu melakukan metode hisab (perhitungan). Oleh karenanya, bagi mereka, metode ru’yatul hilal sudah tidak relevan lagi di zaman sekarang yang serba berteknologi canggih ini. Kemudian memastikan bahwa metode hisab (penentuan awal Ramadhan dengan metode perhitungan) itu didukung oleh dan didasarkan pada hitungan berbasis komputer yang diyakini akurat dan ketepatan kebenarannya.
Tetapi, pada dasarnya pemahaman tersebut perlu dikritisi. Ini tidak bisa diterima begitu saja. Sebah kenyataannya, jika dikaji lebih hati-hati, ditemukan bahwa di zaman Rasulullah SAW telah ada sahabat-sahabat yang mahir dalam ilmu hisab, terutama seperti sahabat Ibnu Abas r.a. Karena itu, kita meyakini dan mengikuti bahwa ru’yatul hilal adalah memang merupakan cara yang diajarkan, dianjurkan dan yang telah dilaksanakan oleh Rasulullah SAW dalam menentukan awal Ramadhan dan Syawal, bukan dengan metode hisab, atau malah dengan mengikuti keputusan negara lain yang berbeda matla’ (wilayah melihat bulan).
Hadis di atas tentang ru’yatul hilal itu telah dikukuhkan dijadikan dasar oleh para ulama NU sebagai sebuah keputusan yang wajib diikuti oleh warga NU. Maka, Berdasarkan Keputusan Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama Tahun 1987 di PP. Al-Ihya Ulumaddin Kesugihan, ditetapkan bahwa:
“Warga NU/ Warga Nahdliyyin mengawali Puasa Ramadhan dan Idul Fitri berdasarkan Ru’yah bil Fi’li/Ru’yatul Hilal dan atau Istikmal jika proses Ru’yatul Hilal tidak dicapai karena terhalang awan atau mendung, serta mengikuti hasil Sidang Itsbat yang digelar oleh Pemerintahan RI, yang juga harus dikuatkan berdasarkan Ru’yatul Hilal.”
Dengan demikian, jika Pemerintah RI ternyata menetapkan awal Ramadhan dan atau Hari Raya Idul Fitri berdasarkan hisab semata dan bukan berdasarkan ru’yatul hilal atas dasar sumpah terhadap dua orang saksi atau lebih, maka warga NU tidak wajib mengikutinya. Artinya, demi menjaga keyakinan yang kita anut, warga NU tetap melaksanakan Ibadah Puasa Ramadhan dan Merayakan Idul Fitri tetap berdasarkan hasil ru’yatul hilal. []
Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 21 April 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.
___________
Editor: Hakim