Awal Mula Tradisi Maulid Nabi

Peringatan Maulid Nabi pertama kali diadakan oleh Raja Irbil, Muzhaffaruddin al-Kukbiri, pada awal abad ke-7 Hijriah. Menurut Sibth ibnu al-Jauzi, perayaan tersebut melibatkan undangan untuk ulama dari berbagai disiplin ilmu, dan ribuan kambing serta unta disembelih untuk para tamu.

Para ulama saat itu menyetujui dan memandang baik perayaan Maulid tersebut. Al-Imam Al-Hafizh Ibn Dihyah, dalam perjalanan ke Irak, melihat antusiasme Sultan Al-Muzhaffar terhadap Maulid dan menulis buku Al-Tanwir Fi Maulid Al-Basyir An-Nadzir yang dihadiahkan kepada Sultan.

Banyak sejarawan sepakat bahwa Sultan Al-Muzhaffar adalah orang pertama yang mengadakan perayaan Maulid, meskipun ada yang menyebut Sultan Salahuddin Al-Ayyubi sebagai pelopornya dengan tujuan membangkitkan semangat jihad dalam Perang Salib. Sejak zaman Sultan Al-Muzhaffar hingga kini, para ulama terkemuka seperti Al-Hafizh Ibn Dihyah, Al-Hafizh As-Suyuthi, dan lainnya menganggap perayaan Maulid sebagai tradisi yang baik bagi umat Islam di seluruh dunia.

Dari perspektif syariat, muncul berbagai pandangan tentang boleh tidaknya perayaan Maulid. Sebagian ulama menyatakan bahwa perayaan ini adalah bid’ah, karena tidak ada contoh langsung dari Nabi maupun sahabat. Namun, ada juga ulama yang berpendapat bahwa selama perayaan Maulid diisi dengan kegiatan positif, seperti memperingati sejarah perjuangan Rasulullah dan meningkatkan kecintaan kepada beliau, maka hal tersebut diperbolehkan. Mereka menganggapnya sebagai sarana untuk memperkuat keimanan dan memperdalam pengetahuan tentang Islam.

Al-Hafid   Ibnu   Hajar   Asqalani   yaitu   pengarang Syarah Shahih Bukhari yang  bernama Fathul  Bari’yang  dikutip  oleh Sirajuddin  Abbas mengatakan  bahwa:  Umat  Islam  dibolehkan  bahkan  dianjurkan  agar memperingati  hari-hari  bersejarah,  hari-hari  yang  dianggap  besar  seperti Maulid  Nabi, Isra’  Mi’raj  dan  lain-lain. Selanjutnya  dalil  yang  berkaitan dengan Maulid Nabi sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT dalam Surat al-A’raf ayat 157.

Dalam  ayat  tersebut  dinyatakan  dengan  tegas  bahwa  orang  yang memuliakan  Nabi  Muhammad  SAW.,  adalah  orang  yang  beruntung. Merayakan Maulid Nabi termasuk dalam rangka memuliakannya. Ayat di atas  sangat  umum  dan  luas.  Artinya,  apa  saja  yang  dikerjakan  kalau diniatkan  untuk  memuliakan  Nabi  maka  akan  mendapat  pahala.

Yang dikecualikan  ialah  kalau memuliakan  Nabi  dengan  suatu  yang  setelah nyata  haramnya  dilarang  oleh  Nabi  seperti  merayakan  Maulid  Nabi dengan judi, mabuk-mabukan dan lain sebagainya.

Fakta   yang   sesungguhnya   dari   kehidupan   Rasulullah   SAW menegaskan bahwa tidak ada riwayat yang menyebutkan beliau pada tiap ulang   tahun   kelahirannya   melakukan   ritual   tertentu.   Bahkan   para shahabat beliau pun tidak pernah dalam sejarah mengadakan ihtifal (seremoni)    secara    khusus    setiap    tahun    untuk mewujudkan    kegembiraan    karena    memperingati    kelahiran    Nabi Muhammad SAW.

Bahkan upacara secara khusus untuk merayakan ritual maulid Nabi Muhammad SAW. juga tidak pernah dilakukan dari generasi tabi’in hingga generasi salaf selanjutnya.

Sementara bagi mereka yang merayakan maulid Nabi Muhammad SAW,  mengemukakan dalil-dalil   pendukung   seperti berargumentasi dengan apa yang ditulis oleh Imam al-Suyuti di dalam kitab beliau, Hawi li  al-Fatawa  Syaikhul  Islam tentang  maulid  serta  Ibn  Hajar  al-Asqalani ketika  ditanya  mengenai  perbuatan  menyambut  kelahiran  Nabi  SAW., beliau  memberi  jawaban  secara tertulis:

Adapun  perbuatan  menyambut maulid  merupakan  bid’ah  yang  tidak  pernah  diriwayatkan  oleh  para salafush-shaleh pada 300 tahun pertama selepas hijrah. Namun perayaan itu penuh dengan kebaikan dan perkara-perkara yang terpuji, meski tidak jarang ada perbuatan-perbuatan  yang  tidak  sepatutnya.

Jika  sambutan maulid itu terpelihara dari perkara-perkara yang melanggar syari’ah, maka tergolong  dalam  perbuatan bid’ah  hasanah.  Akan  tetapi  jika  sambutan tersebut  terselip  perkara-perkara  yang  melanggar  syari’ah,  maka  tidak tergolong di dalam bid’ah hasanah.

Selain pendapat di atas, mereka juga berargumentasi dengan dalil hadis yang menceritakan   bahwa   siksaan   Abu   Lahab   di   neraka diringankan pada setiap  hari  Senin.  Hal  itu dikarenakan Abu  Lahab  ikut bergembira ketika mendengar kelahiran keponakannya, Nabi Muhammad SAW.  Meski  dia  sendiri  tidak  pernah  mau  mengakuinya  sebagai  Nabi. Bahkan    ekspresi    kegembiraannya    diimplementasikan    dengan    cara membebaskan   budaknya,   Tsuwaibah,   yang   saat   itu   memberi   kabar kelahiran  Nabi  SAW. Perkara  ini  dinyatakan  dalam Sahih  Bukhari dalam kitab   Nikah.

Maka kesimpulannya dalam konteks ini, Maulid Nabi menjadi titik temu antara tradisi dan syariat. Meski tidak diwajibkan dalam syariat Islam, perayaan ini dianggap sebagai salah satu bentuk ekspresi cinta kepada Nabi Muhammad SAW yang diterima secara luas di masyarakat.

Kontroversi tentang Maulid sering kali terjadi karena perbedaan interpretasi terhadap ajaran agama dan budaya lokal. Namun, selama perayaan ini tidak melanggar prinsip-prinsip dasar Islam, banyak yang melihatnya sebagai kesempatan untuk mengingat dan meneladani akhlak Nabi.

Maka hal-hal yang harus dijaga adalah jangan sampai mengotori Perayaan Maulid dengan ujaran-ujaran kebencian, Maulid harus dilakukan dengan alasan acara itu diadakan yaitu mengucapkan shalawat, membaca sejarahnya mulai dilahirkan, berjuang dalam berdakwah menyebarkan Islam, hingga wafatnya.

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/mds/awal-mula-tradisi-maulid-nabi-b249825p/