Pada masa lalu, bahasa Indonesia itu bahasa ditentukan peristiwa-peristiwa. Kita selalu menandai dengan peristiwa-peristiwa besar, menempatkan bahasa Indonesia dalam arus politik dan geliat peradaban. Di Medan, 28 Oktober-2 November 1954, Kongres Bahasa Indonesia II diselenggarakan saat penguasa berseru revolusi dan menjelang hajatan demokrasi.
Bahasa Indonesia dalam situasi “penentuan” untuk tegak atau mengalami kelesuan berbarengan politik global sedang “mencekam”. Kongres di Medan didokumentasi dalam terbitan Medan Bahasa, No 7 dan 8, 1954. Kita membaca kalimat-kalimat unik dari Sudarsana selaku panitia: “Sumber Sumpah Pemuda dan danau Kongres Bahasa Indonesia sepuluh tahun kemudian, dapat meluap, mengalir membandjir langsung menudju ke laut, merata ke samudra murba raja. Rintangan jang melintas malang-menghalang, mulai menghilang, tetapi pupuk dari daerah-daerah ada jang hanjut pula! Neratja 26 tahun perdjuangan bahasa Indonesia menundjukkan keuntungan luar biasa. Sumpah jang dipandang sebagai sampah, dipergunakan oleh musuh dari musuh dan musuh kita djuga, kemudian mendjadi simpai pusaka dari bangsa jang berdjumlah delapanpuluh djuta.”
Kita agak kesusahan membaca maksud Sudarsana. Ia mahir menggunakan kata-kata, disajikan tak gamblang. Kalimat-kalimat itu mengingatkan Kongres Pemuda II (1928) dan Kongres Bahasa Indonesia I (1938). Dua peristiwa dianggap menentukan dalam perkembangan bahasa Indonesia memuncak penetapan dalam konstitusi: 18 Agustus 1945. Bahasa Indonesia berada dalam arus kekuasaan, mendapat kekuatan dalam mewujudkan misi-misi kemajuan, kemakmuran, keadilan, dan lain-lain.
Pilihan kata dan umpama diberikan panitia dalam Kongres Bahasa Indonesia II bisa dibandingkan dengan pendapat Hilmar Farid: “Kehadiran bahasa Indonesia adalah hasil perjalanan sejarah yang mulus. Dimulai dari bahasa Melayu yang berkembang di wilayah semenanjung Melayu, Sumatra, dan Kalimantan, ia berkembang terus, nyaris tanpa gangguan menuju bentuk akhirnya, yaitu bahasa Indonesia.” Hilmar Farid (1996) seperti tergesa membuat konklusi. Ia tampak mengabaikan babak-babak menengakan bahasa Indonesia, sejak awal abad XX sampai 1954. Anggapan “sejarah mulus” mengesankan “pujian” tapi rapuh argumentasi. Hilmar Farid memiliki pijakan pendapat: “… bahasa maupun bangsa – sekalipun memiliki akar-akar panjang di dalam sejarah – adalah temuan yang relatif baru.”
Bahasa Indonesia memang tak melulu dalam jalan politik. JE Tatengkeng (1954) menerangkan: “Penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara Republik Indonesia tidak mengatur bahwa bahasa Indonesia itu harus mendjadi bahasa pergaulan sehari-hari.” Usaha-usaha pemajuan bahasa Indonesia oleh pemerintah dengan kebijakan-kebijakan berdasarkan konstitusi tak selalu selaras dengan perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulan sehari-hari.
Lacakan sejarah dan pengamatan tatanan hidup masa 1950-an, menghasilkan pendapat masih (bisa) berlaku sampai sekarang. Madong Lubis (1954) menjelaskan: “Kalau sesama orang-orang kampung sesamanja memakai bahasa daerahnja, itu tak boleh ditjegah sampai hari kiamatpun keadaan takkan berubah. Tetapi didalam pertemuan resmi, didalam djawatan, dikantor-kantor, disekolah-sekolah tidak boleh tidak mestilah dipakai bahasa Indonesia.” Sejak 1945, bahasa Indonesia sulit bergerak “mulus” dalam urusan politik dan pergaulan sehari-hari.
Masalah-masalah itu makin rumit saat Soeharto berkuasa. Pada masa Orde Baru, nasib bahasa Indonesia dalam terang dan gelap. Kritik diajukan Ariel Heryanto (1996) setelah mengamati arus bahasa Indonesia dalam nalar negara dan kehendak publik: “Sejarah perencanaan bahasa resmi/baku (termasuk pembinaan dan pengembangan) cukup universal. Sejarah itu lebih tepat dipahami sebagai bagian dari sejarah sepak terjang negara modern, ketimbang ilmu sosial dan humaniora, khususnya linguistik. Tapi sebaliknya, sejarah negara bukan sejarah bahasa.” Kita sejenak membuat garis batas perbedaan untuk mengingat negara dan bahasa mengacu 1945, berlanjut pada masa Orde Baru.
Pada abad XXI, kita masih memiliki seribu masalah dalam “menata” sejarah dan “menghendaki” perkembangan bahasa Indonesia. Kebijakan-kebijakan mengenai bahasa Indonesia terus dibuat dengan segala capaian dan “kegagalan”. Kongres pun masih diselenggarakan membawa misi-misi besar. Bahasa Indonesia masih teringat dengan peristiwa 1928, 1938, 1945, dan 1954 tapi kita masih sering “salah baca” dan “sulit paham” untuk menggunakan sebagai acuan memajukan bahasa Indonesia dalam zaman “amburadul”. Bahasa Indonesia dalam situasi makin tak keruan jika dibandingkan dengan babak-babak terdahulu. Begitu.
Baca Juga
https://alif.id/read/bandung-mawardi/bahasa-indonesia-masa-dan-peristiwa-b248575p/