Bahasa Indonesia: Teladan Perangai Ilmiah

“Lewat maut atau tidak, menjadi pahlawan bukanlah pekerjaan mudah. Sebab, syarat pertama dan penghabisan adalah berbuat bukan untuk kepentingan sendiri.” (Mahbub Djunaidi, 1978). Mendengar kata pahlawan, tak sedikit dari kita yang bersekolah sebelum masa menggeliatnya Wikipedia, Google, dan ChatGPT memiliki ingatan terhadap buku-buku Rangkuman Pengetahuan Umum dan Lengkap (RPUL).

Di buku itulah, para murid mudah menemukan foto beserta keterangan penting yang berhubungan dengan diangkatnya menjadi pahlawan. Selintas, pahlawan banyak berasal dari kalangan militer. Apalagi bila mengingat sejarah pemberian gelar pahlawan, pada zaman Soeharto sangat kentara terdapat kepentingan itu.

Namun, yang menarik adalah apabila kita menyigi secara mendalam, ada beberapa nama penting yang secara gamblang memiliki peranan terhadap ilmu dan pengetahuan. Sukarno pada 1986 diangkat sebagai pahlawan proklamator. Ia memiliki representasi kuat terhadap sains tentu tak terlepas dari studinya di Technische Hoogeschool (kemudian menjadi Institut Teknologi Bandung).

Di banyak pidato dan tulisan, Sukarno sering mengutarakan perihal sains—yang terhubung pada aspek sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan. Kita ingat saja dengan pidato yang ia sampaikan tatkala menerima gelar honoris causa dalam bidang Ilmu Teknik dari ITB pada 13 September 1962. Pada momentum tersebut, ia menyampaikan pidato berjudul “Ilmu Teknik Harus Mengabdi Masyarakat Adil Makmur”.

Dorongan Sukarno terhadap generasi muda untuk terus sadar ilmu terucap dalam sebuah penggalan: “Sebab memang Indonesia tidak akan maju tanpa mempergunakan ilmu pengetahuan”. Kalimat itu tentu sakral dan mendalam bila ditafsirkan. Walhasil, kita paham, untuk mengawal kemerdekaan bangsa Indonesia, salah satu hal itu perhatian terhadap ilmu.

Sebuah fakta menarik adalah bahwa terdapat beberapa nama pahlawan yang memiliki pengaruh terhadap ilmu dan pengetahuan, tidak langsung merujuk pada spesifikasi keahlian, misalkan terhadap kimia, fisika, maupun biologi. Justru yang terbentuk adalah mereka yang menempuh keilmuan di sekolah kedokteran. Dapat kita sebut, di antaranya: Wahidin Soedirohusodo, Radjiman Wedyoningrat, Sutomo, Tjipto Mangoenkusumo, hingga Sardjito.

Ini membuktikan bahwa ilmu kedokteran atas pengaruh politik etis Belanda pada abad XIX menjadi ilmu tertua yang dikenal oleh pribumi. Ilmu itu menggerakkan semangat kaum muda untuk berpikir nasionalisme secara luas. Dengan artian, ilmu itu menggerakkan kepada cakupan keterhubungan bidang lain. Ini dicatat oleh Hans Pols dalam bukunya Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia (2019).

Ia menulis bahwa di kalangan banyak pelajar, perguruan dokter merupakan jalan masuk pertama ke dunia sains. Pernyataan tersebut tentu mengesahkan bahwa sejak akhir abad XIX, sains meski terbatas pada kalangan priyayi menjadi bahasa yang membentuk imajinasi di kelompok terpelajar. Mereka mengerti laboratorium, metodologi riset, hingga fungsionalisasi dari sebuah ilmu untuk kemaslahatan.

Pada bidang teknik, selain Sukarno, ada dua nama penting yang termasuk pahlawan. Mereka adalah Djuanda Kartawidjaya dan Herman Johannes. Djuanda dikenal sebagai Bapak Maritim Indonesia. Sementara Johannes merupakan rektor kedua di Universitas Gadjah Mada. Pada peringatan ke-60 Hari Sumpah Pemuda, ia menulis esai “Usaha Mencari Istilah Ilmiah Indonesia”. Tulisan itu termaktub dalam buku Ilmuwan dan Bahasa Indonesia, diterbitkan Penerbit ITB pada 1988.

Di buku yang sama, Hans Pols mencatat akan perkembangan sejarah kebahasan. Dulu kalangan pribumi terpelajar menganggap bahasa Belanda menjadi kunci pembelajaran pada sains, meski bahasa Jerman, Inggris, dan Prancis lebih menonjol pada konteks global. Pengakuan itu juga disampaikan oleh Abul Rivai, lulusan pertama Sekolah Dokter Jawa.

Bahkan, Rivai dalam sebuah tulisannya ketika itu sampai ragu terhadap bahasa di kalangan pribumi dapat menjadi bahasa keilmuan. Ia pernah berpendapat, baik itu bahasa Melayu, bahasa Jawa, dan bahasa-bahasa lain yang digunakan di Nusantara tidak mampu mengekspresikan konsep ilmiah dan gagasan kompleks,

Meski dari kalangan teknik, yang secara bahasa keilmuan sulit ditempuh dengan jalan bahasa Indonesia, Herman Johannes tak semudah memberikan tuduhan seperti halnya Abdul Rivai. Ia memiliki keyakinan bahwa bahasa Indonesia dapat menjadi bahasa keilmuan. Sebutnya, bahasa Indonesia perlu dilakukan pembinaan agar menjadi suatu bahasa modern yang ilmiah, indah, dan lincah, serta kaya kosakatanya.

Ada dua penggerak bangsa lain yang justru memiliki kepiawaiannya terhadap matematika. Mereka adalah Sam Ratulangi dan Tan Malaka. Sam Ratulangi beruntung, ia pernah mengenyam pendidikan di Universitas Zürich, Swiss.  Di sana, ia menyelesaikan Ph.D pada 1919. Kampus itu ternama, dalam sejarah Nobel telah dua belas alumnus memperolehnya. Di antaranya: Wilhelm Cönrad Rontgen (1901), Alfred Werner (1913), hingga Albert Einstein (1921).

Sementara itu, Tan Malaka dikenal sebagai Bapak Republik yang Terlupakan. Bukti penting akan keahliannya terhadap matematika tentu kita ingat dengan sebuah karyanya, Madilog (1943). Bahkan, lewat karyanya Naar de Republiek Indonesia (1926), ia jauh hari telah memunculkan kata “Indonesia”. Tulisan itu merupakan esai terpanjang dalam sejarah intelektual Indonesia.

Refleksi bagi kita bersama pada abad XXI, dengan mengerti nama pahlawan itu tentu sebagai upaya merenung dan menginsyafi akan cita-cita mereka akan menjadi bangsa yang mengedepankan perangai ilmiah juga kita emban bersama. Hal itu tak terlepas bahwa acapkali pahlawan hanya dikenal sebatas nama. Memang nama mereka dilekatkan pada jalan, gedung, rumah sakit, bandara, stadion, hingga perguruan tinggi. Kita mudah menyebutkan namanya, namun kadang melupakan warisan sejarah pemikirannya.[]

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/joko-priyono/bahasa-indonesia-teladan-perangai-ilmiah-b248628p/