Bahaya Selingkuh dan Tuduhan Perselingkuhan terhadap Pasangan

Perselingkuhan kerap menjadi sebab perceraian suami istri. Kemunculan orang ketiga dalam hubungan rumah tangga berdampak negatif terhadap keutuhan dan keharmonisan yang dibangun. Selain perilaku selingkuh itu sendiri, tuduhan perselingkuhan terhadap pasangan yang dilontarkan tanpa bukti kecuali hanya cemburu semata sama bahayanya.
 

Baik suami maupun istri harus sama-sama menjaga bahtera rumah tangga dari perselingkuhan. Apabila perselingkuhan terjadi, dampaknya bukan hanya pada pasangan dan hubungan rumah tangganya saja, namun bagi anak juga.
 

Definisi selingkuh

Mengutip Shaleha dan Kurniasih dalam artikelnya, perselingkuhan didefinisikan sebagai tindakan pelanggaran oleh seseorang yang telah memiliki pasangan terhadap norma-norma yang mengatur tingkat keintiman emosional atau fisik dengan orang lain di luar hubungannya dengan pasangan (Rinanda Rizky Amalia Shaleha, Ketidaksetiaan : Eksplorasi Ilmiah tentang Perselingkuhan, [Buletin Psikologi: 2021], hal. 218).
 

Dampak negatif perselingkuhan bagi pasangan

Perselingkuhan memiliki dampak negatif terhadap pelaku dan korban. Terhadap kondisi psikologis korbannya, perselingkuhan dapat menyebabkan depresi, stres dan cemas . (Daniel J. Weigel dan M. Rosie Shrout, Suspicious minds: The psychological, physical and behavioral consequences of suspecting a partner’s infidelity, [Journal of Social and Personal Relationship, 2020], hal. 3).
 

Dampak negatif perselingkuhan bagi anak

Efek negatif perselingkuhan bagi anak adalah depresi dan tidak mendapat contoh serta teladan baik yang dapat diikuti. Perselingkuhan terkadang menimbulkan kebencian di hati anak, sehingga ia turut membenci seseorang berdasarkan gender karena ayah atau ibunya berselingkuh (Kurnia Muahajarah, Perselingkuhan Suami Terhadap Istri dan Upaya Penanganannya, [SAWWA: Jurnal Studi Gender, 2016], hal. 31).
 

Dampak negatif perselingkuhan bagi pelaku

Dampak negatif perselingkuhan bagi pelaku antara lain adanya proses psikologis negatif. yang dirasakan termasuk perasaan malu, bersalah, dan terus-menerus memikirkan perselingkuhan. Emosi ini dirasakan berulang-ulang seperti siklus tanpa akhir.
 

Seraya menghadapi dampak negatif tersebut, pelaku perselingkuhan juga harus menghadapi dampak psikologis yang dirasakan oleh korban. Korban mungkin masih merasa tersakiti, penuh kemarahan, sakit hati, merasa dikhianati, kesulitan mengendalikan emosi, dan ingin membalas dendam kepada pelaku, salah satunya dengan cara menghindar dari komunikasi. 
 

Tentunya kondisi seperti disebutkan tadi akan menyiksa pelaku secara terus menerus karena tindakan perselingkuhan yang dilakukannya. (Agnes Christy Wijaya dan Theresia Indira Shanti, Dinamika Self-Forgiveness dan Meaning in Life pada Pelaku Perselingkuhan dalam Pernikahan, [Jurnal Psikologi Udayana, 2020], hal. 32).
 

Dampak negatif perselingkuhan bagi keharmonisan rumah tangga

Tidak dapat dipungkiri nista perselingkuhan menghancurkan bahtera rumah tangga yang dibangun oleh pasangan. Perselingkuhan tentu akan menyebabkan perselisihan dan pertengkaran, sementara Badan Pusat Statistik,menunjukkan bahwa perselisihan dan pertengkaran menjadi penyebab terbanyak kasus perceraian sepanjang tahun 2016-2023.
 

Dampak negatif perselingkuhan dari sisi sosial

Kemudian perselingkuhan juga berdampak bagi kehidupan sosial, baik bagi pelaku maupun korban. Di antara dampak negatif tersebut adalah pengucilan dari lingkungan sosial, perkembangan sosial anak, hingga reputasi yang tercemar.
 

Perselingkuhan dalam perspektif Islam

Dalam Islam memang tidak ditemukan adanya istilah perselingkuhan secara spesifik. Hanya saja, istilah bagi seorang laki-laki yang sudah menikah kemudian berzina dengan seorang perempuan atau sebaliknya, maka disebut dengan zina muhsan. (Ibnul Qasim Al-Ghazi, Fathul Qarib, [Beirut: Dar Ibn Hazm, 2005], hal. 280).
 

Hukuman zina muhsan sangat berat dalam konteks hukum Islam, yaitu dirajam. Kini penegakan hukum seperti ini memang sudah tidak diterapkan, akan tetapi kiranya menjadi teguran keras bagi setiap pasangan agar jangan membuka celah pintu perselingkuhan, apalagi hingga ke tahap perzinaan.
 

Kiat-kiat mencegah celah perselingkuhan

Perselingkuhan dapat dihindari ketika suami dan istri berkomitmen kuat untuk menjaga hubungan mereka, dan menghindari desir ketertarikan kepada lawan jenis lain di manapun, baik di dunia nyata hingga media sosial. 
 

Terkait hal ini, secara implisit Allah telah memerintahkan umat muslim untuk menjaga pandangan terhadap lawan jenis yang bukan mahram yang salah satu tujuannya agar terhindar dari ketertarikan yang terlarang, seperti ketertarikan suami atau istri terhadap lawan jenisnya. Allah berfirman:
 

قُلْ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوْا مِنْ اَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْۗ ذٰلِكَ اَزْكٰى لَهُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا يَصْنَعُوْنَ 
 

Artinya, “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman hendaklah mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya. Demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang mereka perbuat.”  (QS An-Nur: 30).
 

Selain menjaga pandangan, Rasulullah saw juga pernah menegaskan bahwa seseorang yang merusak keharmonisan sebuah keluarga, dengan cara entah menjelek-jelekan istrinya di depan suaminya atau sebaliknya. 
 

Begitu juga menggoda suami atau istri orang supaya tertarik pada dirinya dengan membeberkan kebaikan-kebaikannya. Perbuatan seperti ini dikecam oleh Nabi saw, hingga disebut sebagai bukan dari golongan beliau. Rasulullah saw bersabda:
 

عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لَيْسَ مِنَّا مَنْ خَبَّبَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِها أو عَبْدًا عَلَى سَيِّدِه
 

Artinya, “Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, ‘Bukan golongan kami orang yang menipu seorang perempuan atas suaminya atau seorang budak atas tuannya’.” (HR Abu Dawud).
 

Perselingkuhan dalam perspektif hukum positif

Sebagaimana istilah perselingkuhan tidak ditemukan dalam hukum Islam, begitu juga dalam konteks hukum positif. Dalam konteks hukum positif, istilah yang dikenal adalah perzinaan (overspel) yang telah diatur dalam Pasal 284 KUHP, yaitu:

  1. Pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama 9 bulan:
    1) a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,
    b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,
    2) a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin
    b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya
     
  2. Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.
     
  3. Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.
     
  4. Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.
     
  5. Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.

Dengan demikian, secara keseluruhan, perselingkuhan memiliki dampak yang sangat merusak pada berbagai aspek kehidupan rumah tangga dan sosial. Tidak hanya mengganggu hubungan antara suami dan istri, tetapi juga berdampak buruk pada kondisi psikologis anak dan mencemarkan reputasi sosial pelaku dan korban. 
 

Karena itu, menjaga komitmen dan mencegah celah perselingkuhan sangat lah penting. Dengan selalu berpegang pada nilai-nilai agama serta etika, suami dan istri dapat membangun hubungan yang lebih harmonis dan kokoh, serta memberikan teladan yang baik bagi anak-anak mereka.
 

Beratnya tuduhan perselingkuhan terhadap pasangan

Berselingkuh merupakan perbuatan nista dan hina, akan tetapi menuduh pasangan berselingkuh tanpa adanya bukti atau laporan yang terpercaya juga akan berujung kepada robohnya keharmonisan rumah tangga, terlebih apabila buru-buru menggembar-gemborkan ke media sosial.
 

Boleh jadi pihak yang tertuduh akan merasa malu dan hancur harga dirinya tatkala dituduh dengan sesuatu yang tidak dilakukannya. Selain itu, stress, depresi hingga tekanan batin tentu akan menghujani si tertuduh apabila terlanjur menyebar di tengah Masyarakat.
 

Bahaya fitnah dalam tuduhan perselingkuhan

Ketika menuduh perselingkuhan terhadap pasangan secara serius sesuai definisi ‘selingkuh’ yang telah disebut di atas, apapun jenis perselingkuhannya, maka di saat yang bersamaan dirinya telah menebar fitnah dan perbuatan tersebut sangat kejam. Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
 

وَالْفِتْنَةُ اَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ
 

Artinya, “Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan.” (QS Al-Baqarah: 217).
 

Apabila menuduh pasangan telah melakukan perselingkuhan hingga berhubungan badan atau berzina, maka jangan anggap tuduhan tersebut enteng atau ringan. Tuduhan terhadap seseorang bahwa dia telah berzina implikasinya begitu besar.
 

Tuduhan zina dalam hukum Islam

Jika kita melihat ke dalam kitab fiqih, mendakwa seseorang telah berbuat zina tanpa didasari bukti yang kuat atau sekadar hinaan saja disebut dengan istilah qadzaf. Secara syara’, qadzaf berarti melempar tuduhan zina sebagai bentuk penghinaan. 
 

Hukuman qadzaf dalam konteks hukum pidana Islam berat sekali, yaitu 80 kali cambukan meskipun kini praktiknya tidak ada lagi. Adapun kesaksian tentang perbuatan zina yang sesungguhnya di hadapan hakim tidak termasuk kepada perbuatan ‘asal tuduh’. (Al-Ghazi, 284).

Pembuktian qadzaf dalam hukum Islam dan hukum positif

Adapun pembuktian terjadinya qadzaf dalam konteks hukum Islam dapat dilakukan dengan 3 tahap:

  1. Adanya empat orang saksi dari kalangan muslim.
  2. Pengakuan langsung dari pelakunya.
  3. Penolakan dengan sumpah dari terdakwa. (Supriani dan Wawan Saputra, Jarimah Qadzaf (Menuduh Zina): Studi Komparasi Hukum Pidana Islam dan Hukum Positif, [Jurnal Darussalam, 2021], hal. 8).

 

Dalam konteks hukum positif terdapat Pasal 184 ayat 1 kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHAP) setidak-tidaknya terdapat alat bukti yang sah, yaitu: 1) keterangan saksi, 2) keterangan ahli, 3) surat, 4) petunjuk, 5) keterangan terdakwa.
 

Apabila qadzaf atau ‘tuduhan zina tak berdasar’ tidak terbukti, maka tentu saja dihitung sebagai dosa besar, sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an:
 

إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوا فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
 

Artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka mendapat laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar.” (QS An-Nur: 23].
 

Menuduh zina tanpa dasar adalah dosa besar

Kemudian diperjelas juga oleh hadits Rasulullah saw yang menyebut qadzaf merupakan dosa besar:
 

اِجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوْا: وَمَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: الشِّرْكُ بِاللهِِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيْمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ
 

Artinya, “Jauhilah oleh kalian tujuh dosa besar yang menghancurkan (kalian).” Para sahabat bertanya, “Apa itu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan hak, memakan harta riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh berzina terhadap perempuan beriman yang tidak tahu menahu serta senantiasa menjaga kehormatannya.” (HR Al-Bukhari).

 

Tuduhan zina tanpa dasar adalah pembunuhan karakter

Alasan penting mengapa tuduhan zina tanpa dasar menuai dosa besar adalah karena ia memiliki kaitan dengan martabat manusia. Tuduhan zina yang diaminkan oleh hakim dalam konteks jinayat meniscayakan si tertuduh untuk dirajam hingga berpotensi meninggal. Tentu saja tuduhan seperti ini juga akan melahirkan pembunuhan karater terhadap korban (Mulyadi dan Muliono, Tuduhan Zina di Media Sosial dalam Perspektif Fiqh Kontemporer, [Ijtihad: Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial, 2019], hal. 30).
 

Tuduhan zina dan perselingkuhan dalam hukum positif

Dalam konteks hukum positif, tuduhan zina atau perselingkuhan yang tidak terbukti benar dapat ditindak pidana pencemaran nama baik sebagaimana tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHAP) Bab XVI Buku II, dalam Pasal 310 ayat (1) (2) menyebutkan pelaku dapat dipenjara paling lama Sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
 

Apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, ditempel, dipertunjukkan kepada khalayak umum maka diancam dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. (Supriani dan Wawan Saputra, Jarimah Qadzaf (Menuduh Zina): Studi Komparasi Hukum Pidana Islam dan Hukum Positif, [Jurnal Darussalam, 2021], hal. 11).
 

Simpulan

Sebagai penutup, penting untuk diingat bahwa baik berselingkuh maupun menuduh pasangan berselingkuh tanpa bukti yang kuat adalah tindakan yang sangat berbahaya dan merusak.
 

Perselingkuhan menghancurkan kepercayaan dan keharmonisan dalam rumah tangga, sementara tuduhan palsu tentang perselingkuhan dapat menyebabkan rasa malu, depresi, dan tekanan batin bagi yang dituduh. 
 

Dengan demikian, penting bagi suami dan istri untuk menjaga komunikasi, keharmonisan dan kepercayaan dalam rumah tangga. Dengan cara ini, pasangan dapat menghindari konflik yang tidak perlu dan membangun hubungan yang lebih kokoh dan harmonis. Wallahu a’lam.

Ustadz Amien Nurhakim, Penulis Keislaman NU Online dan Dosen Universitas PTIQ Jakarta

https://islam.nu.or.id/syariah/bahaya-selingkuh-dan-tuduhan-perselingkuhan-terhadap-pasangan-kdK3w