Film berjudul Ipar adalah Maut menjadi topik hangat di media sosial. Film ini memicu berbagai emosi seperti amarah, kekecewaan, dan rasa iba di kalangan penonton yang menyaksikan kisah perselingkuhan antara seorang suami dan adik iparnya.
Rasulullah saw. telah memberikan peringatan tentang risiko perselingkuhan antara suami dan adik ipar. Dalam sabdanya, beliau memberikan petunjuk tentang interaksi dengan lawan jenis yang bukan mahram, dan khususnya mengingatkan agar waspada terhadap saudara ipar.
عنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ. قَالَ الْحَمْوُالْمَوْتُ
Artinya: “Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, bahwa Rasulullah saw bersabda, ‘Berhati-hatilah kalian masuk menemui wanita.’ Lalu seorang laki-laki Anshar berkata, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat Anda mengenai ipar?’ Beliau menjawab, ‘Ipar adalah maut’.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Islam sendiri telah mengajarkan pada umatnya adab dan etika manakala berinteraksi dengan saudara ipar. Hal itu bertujuan supaya terhindar dari perselingkuhan dengan sang ipar, namun tetap menjaga hubungan baik dengannya. Berikut 8 adab pasangan suami-istri pada iparnya.
1. Tidak memperlihatkan aurat di hadapan ipar
Pada prinsipnya, ipar sama dengan orang asing lainnya dalam hal menutup aurat. Jika menutup aurat wajib di hadapan yang bukan mahram maka di hadapan ipar juga serupa. Poin ini berlaku bagi pria maupun wanita.
Namun penting untuk digarisbawahi, bahwa menutup aurat tidak cukup dengan membungkusnya semata, tetapi mengharuskan untuk tidak menampakkan lekuk tubuh dan tidak mengekspos warna kulit.
Muhammad bin Alwi Al-Maliki berkata:
غير أنه لا يجوز لها القصير والشفاف من الثياب الذي يصف البشرة ويحكي الجرم وتعد معه عارية كاشفة
Artinya: “Hanya saja tidak boleh bagi Muslimat menggunakan busana pendek dan tembus pandang, yang sekiranya masih mengekspos warna kulit dan menampakkan lekuk tubuh. Siapa yang masih berbuat demikian maka masih dianggap telanjang dan membuka aurat” (Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Adabul Islam fi Nizhamil Usrah, [Makkah, Maktabatul Mulk Fahd Al-Wathaniah: 1433 H], halaman 133)
2. Menghindari sentuhan dengannya
Dalam Mazhab Syafi’i, menyentuh lawan jenis yang non-mahram termasuk sesuatu yang dilarang, tak terkecuali berjabat salam. Lalu bagaimana dengan berjabat tangan yang mungkin dianggap biasa oleh sebagian orang?
Perihal ini, ulama mazhab Syafi’i memberikan solusi berupa membalut tangan dengan kain atau benda yang serupa guna menghalangi sentuhan secara langsung antara kulit lawan jenis. Syekh Wahbah Zuhaili menjelaskan dalam kitabnya:
وتجوز المصافحة بحائل يمنع المس المباشر
Artinya: “Boleh berjabat tangan (dengan lawan jenis yang bukan mahram) dengan syarat adanya penghalang yang mencegah sentuhan langsung.” (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M], jilid III, halaman 567)
3. Tidak khalwat dengan ipar
Khalwat atau berduaan dengan ipar di tempat sepi merupakan hal yang haram, sebab ditakutkan nantinya akan menjerumuskan dua insan pada perzinaan, mesum, dan hal-hal yang tak diinginkan. Selain itu khalwat juga bisa merusak akhlak seorang Muslim.
وهذه الخلوة أشد فتكا بالأخلاق
Artinya: “Dan khalwat adalah perbuatan yang paling merusak akhlak.” (Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Adabul Islam fi Nizhamil Usrah, halaman 114)
4. Tidak bersolek di hadapan ipar
Salah satu sebab yang dapat membangkitkan birahi seorang pria adalah tampilnya wanita dengan perhiasan yang cantik, dandanan yang memikat, dan busana yang indah. Pastinya hal ini akan mengundang pria untuk menggoda dan merayunya.
Ketika wanita terpikat dengan rayuan si pria maka akan memunculkan perkara-perkara yang diharamkan lainnya. Oleh karena itu, Islam melarang wanita Muslimat untuk bersolek di hadapan lelaki yang bukan mahram, tak terkecuali saudara ipar.
Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki mendorong umat Islam agar tidak memberikan izin keluar bagi wanita dengan perhiasannya. Hal itu mengingat dampaknya yang buruk terhadap masyarakat. (Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Adabul Islam fi Nizhamil Usrah, halaman 115)
5. Tidak mendayu-dayukan suara di hadapan ipar
Dalam Islam, suara wanita tidaklah tergolong aurat menurut pendapat yang kuat, sehingga boleh-boleh saja wanita berbicara dengan pria yang non-mahram. Hanya saja, bila dikhawatirkan suara wanita dapat menimbulkan fitnah maka hal itu bisa diharamkan.
Contoh suara wanita yang dapat melahirkan fitnah ialah suara yang lemah gemulai dan mendayu-dayu. Tentunya, suara seperti ini akan memancing syahwat para lelaki bangkit, apalagi lelaki hidung belang.
Karena itu, Islam memberikan solusi untuk wanita Muslimat agar terhindar dari fitnah tersebut adalah dengan menyamarkan suara kala berbicara dengan lawan jenis yang bukan mahram, termasuk saudara ipar.
وقالوا: ندب تشويهه إذا قرع بابها فلا تجيب بصوت رخيم
Artinya: “Mereka (Ulama) mengatakan: perempuan dianjurkan untuk menyamarkan suaranya. Bila pintu rumahnya diketuk, ia tidak menjawab dengan suara gemulai.” (Wizaratul Awqaf was Syuunil Islamiah, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwatiyah , [Kuwait, Darus Safwah: 1997 M], jilid XXXI, halaman 47)
6. Tidak berpergian jauh dengan ipar tanpa didampingi mahram
Rasulullah saw bersabda yang diabadikan oleh Muslim dalam Shahihnya:
لا يحل لامرأة تؤمن بالله واليوم الآخر تسافر مسيرة يوم إلا مع ذي محرم
Artinya: “Tidak halal bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir melaksanakan safar berjarak satu hari perjalanan melainkan dengan seorang mahram.” (HR Muslim).
Imam An-Nawawi menerangkan bahwa dalam safar atau perjalanan jauh ditemukan orang yang bermacam-macam. Ada yang saleh namun ada juga yang brengsek, ada baik namun ada yang buruk, sehingga hal itu tidak memberikan keamanan pada wanita. (An-Nawawi, Syarh Shahihi Muslim, [Beirut, Daru Ihyait Turats Al-Arabi: 1392], jilid IX, halaman 105)
Berpergian jauh dengan sang ipar tidak menjamin keamanan pada wanita, justru dikhawatirkan ipar tersebutlah yang berkhianat, dan kejadian seperti ini kerap terjadi. Berangkat dari sini, Islam mewajibkan adanya mahram dalam perjalanan wanita guna melindunginya dari bahaya.
7. Menundukkan pandangan
Rasulullah saw berpesan kepada sayyidin Ali sebagaimana yang dikutip dari Sunan Abu Dawud berikut:
لا تتبع النظرة النظرة فإن لك الأولى وليس لك الآخرة
Artinya: “Janganlah kamu mengikutkan pandangan dengan pandangan berikutnya. Sebab, hanya pandangan pertama saja yang dibolehkan bagimu tidak untuk pandangan kedua.” (HR Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Al-Baihaqi)
Hadits ini mengindikasikan bahwa pandangan pertama baik disengaja ataupun tidak adalah sesuatu yang boleh. Adapun setelah pandangan pertama maka haram hukumnya seseorang melihat wanita yang bukan mahram. (Al-Khattabi, Ma’alimut Tanzil, [Halb,Al-Matba’ah Al-Ilmiah: 1932 M], jilid III, halaman 222)
8. Berbuat baik kepada ipar
Agama Islam amat memperdulikan hubungan yang baik kepada setiap insan, apalagi pada saudara ipar yang statusnya masih memiliki pertalian kuat dengan kita. Termasuk berbuat baik di sini adalah melindunginya dari kejahatan dan sesuatu yang merusak. (Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Adabul Islam fi Nizhamil Usrah, halaman 80)
Akan tetapi perbuatan baik tersebut harus ada batasan, agar sang ipar tidak menganggap berlebihan terkait niat baik pasangan dalam membantu.
Itulah beberapa adab yang harus diperhatikan bersama bagi Muslim dan Muslimat supaya terhindar dari isu perselingkuhan dengan ipar, tetapi masih bisa berinteraksi pada sang ipar dengan baik dan harmonis. Waulahu a’lam
Muhamad Sunandar, Alumni Universitas Al-Ahgaff
https://jatim.nu.or.id/keislaman/batasan-sikap-suami-istri-terhadap-ipar-Aw0o0