Sifan Hassan, pelari asal Belanda berdiri dengan tegak sambil tersenyum memancarkan rasa bahagia yang terlihat dari binar wajahnya. Lensa kamera dari wartawan berbagai negara tertuju padanya, karena ia berhasil memenangkan medali emas untuk cabang lari maraton putri pada Olimpiade Paris 2024. Ada hal yang tidak biasa pada resepsi penyerahan medali, pelari kelahiran Ethiopia itu nampak mengenakan hijab berwarna merah sambil mengangkat medali yang dikalungkan di lehernya.
Sifan Hassan bukanlah satu-satunya atlet yang tampil berhijab di ajang Olimpiade tahun ini, terdapat beberapa atlet lain yang berlaga dalam pertandingan sambil tetap mengenakan kerudungnya. Salah satunya adalah Nurul Akmal, atlet angkat besi asal Indonesia. Nasib berbeda dirasakan oleh atlet-atlet berhijab asal Prancis, mereka mendapat larangan untuk mengenakan pakaian yang melambangkan keyakinan mereka. Seperti pebasket Diaba Konate, yang harus merelakan kesempatannya beraksi di olimpiade raib karena terbentur oleh larangan berhijab.
Prancis memang punya prinsip laicite yang tidak mengindahkan pemakaian atribut keagamaan di ruang publik. Sesuatu yang sebenarnya bertentangan dengan keputusan Komite Olimpiade Internasional (IOC) yang membolehkan para atlet dalam olimpiade tampil dengan pakaian keagamaan atau pakaian tradisional yang melambangkan budaya negara asal atlet.
Mundur ke satu tahun yang lalu, Nouhaila Benzina sempat menjadi fenomena global setelah ia untuk pertama kalinya mengenakan hijab di beberapa pertandingan Piala Dunia Wanita 2023 di Australia dan Selandia Baru. Sebuah gejala yang menunjukkan bahwa pemakaian atribut keagamaan di ruang publik kini sudah semakin diterima dalam berbagai kesempatan.
Ruang publik di banyak tempat sudah mulai menunjukkan keterbukaan untuk pemakaian pakaian yang menunjukkan atribut keagamaan. Seperti Inggris yang sudah mengizinkan polisi muslimah mengenakan hijab saat mereka bertugas. Hal serupa juga sudah ada di Australia. Kebebasan untuk mengenakan hijab juga terjadi di militer Amerika Serikat.
Berlainan dengan gejala global yang menunjukkan semakin terbukanya ruang publik untuk berbagai ekspresi keagamaan yang beragam, kejadian pada acara pengukuhan Paskibraka di Kalimantan Timur pada 13 Agustus lalu menunjukkan sesuatu yang berbeda. Seluruh anggota Paskibraka perempuan nampak diatur untuk tidak berhijab, meskipun sebenarnya ada beberapa di antara mereka yang biasa berhijab.
Kejadian itu menimbulkan polemik, beberapa provinsi melayangkan protes keras kepada Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) selaku pihak yang bertanggung jawab atas Paskibraka. Kepala BPIP Yudian Wahyudi menjelaskan bahwa alasan pelepasan hijab bertujuan untuk mengangkat nilai-nilai keseragaman. Yudian berargumen keputusan itu berasal dari tafsirannya atas semangat Bhinneka Tunggal Ika yang perlu diwujudkan dalam ketunggalan dan keseragaman, termasuk cara berpakaian.
Polemik itu mereda setelah para anggota Paskibraka putri yang berhijab diperkenankan untuk mengenakan kembali hijab mereka, baik dalam latihan maupun saat upacara kemerdekaan. Namun, menurunnya tensi atas isu pemaksaan cara berpakaian itu sebenarnya tidak cukup sebagai sebuah penyelesaian yang tuntas. Pada sisi lain, nampak ada sebuah cara pikir yang bermasalah yang melandasi lahirnya keputusan “pendisiplinan” cara berpakaian ini.
Menengok kembali ke masa lalu, pengaturan cara berpakaian pernah terjadi pada era kolonial. Kees van Dijk dalam Sarong, Jubbah, and Trousers: Appearance as a Means of Distinction and Discrimination (1997) menjelaskan bahwa pernah terdapat aturan yang dijalankan pada masa penjajahan yang mengatur bagaimana cara setiap kelompok masyarakat berpakaian. Seperti sebuah aturan yang dibuat pada 1658, melarang orang Jawa di Batavia untuk mengenakan pakaian dari “bangsa-bangsa” lain yang ada di Indonesia.
Peraturan cara berpakaian ini biasanya bersifat diskriminatif dan menimbulkan masalah sosial. Termasuk dalam hal mengatur penggunaan penutup kepala. Pada tahun 1641, ada sebuah aturan yang melarang kelompok masyarakat tertentu memakai topi. Agar bisa menggunakan topi, mereka harus bisa berbahasa Belanda dan memegang surat khusus. Jika dua hal itu tidak bisa dipenuhi, maka seseorang yang memakai topi sembarangan akan diberi hukuman cambuk. Potret sejarah ini menunjukkan bahwa pengeturan cara berpakaian biasanya dibarengi dengan pemaksaan atas sebuah nilai tertentu dan penegasan atas suatu kekuasaan.
Terkhusus untuk mereka yang menggunakan pakaian “muslim” bergaya Arab, zaman kolonial menempatkan para pemakai jubah dan sorban dalam sebuah stigma, sebagai penghasut dan pembangkang pemerintah kolonial. Sampai pernah muncul sebuah kebijakan “fobia haji” yang diinisiasi oleh pemerintahan negeri jajahan. Cara berpikir yang sempat diteruskan oleh rezim Orde Baru saat melarang pakaian yang menunjukkan “sentimen-sentimen Islami.”
Setelah 79 tahun Indonesia merdeka, cara berpikir zaman kolonial ini ternyata masih meninggalkan jejaknya. Dalih keseragaman jelas merupakan sebuah sesat pikir jika dipaksakan pada sebuah bangsa yang memiliki keberagaman. Pemaksaan atas sebuah tafsiran juga menunjukkan watak autokrasi yang sangat jauh dari cita-cita kemerdekaan.
Kolonialisme pada hakikatnya bukanlah terletak pada simbol-simbol kebendaan. Boleh saja seseorang berpakaian sangat patriotik dengan segala lambang negara yang menempel di sekujur tubuhnya, membawa bendera merah putih di setiap langkahnya. Tapi saat orang itu berpikiran untuk memaksakan sesuatu pada orang lain, mental kolonial tetap berdiam pada dirinya. Karena kolonialisme bukan sebatas benda-benda, tapi merupakan cara berpikir.
Baca Juga
https://alif.id/read/gfj/bau-kolonial-pada-pemaksaan-cara-berpakaian-b249720p/