Oleh: Ahmad Karomi* Subuh yang dingin membuat para santri enggan untuk beranjak dari tempat rebahan dengan beralaskan sajadah kumal; sebagia…
Oleh: Ahmad Karomi*
Subuh yang dingin membuat para santri enggan untuk beranjak dari tempat rebahan dengan beralaskan sajadah kumal; sebagian santri usai shalat subuh ada yang mengisi waktu dengan tadarrus, ada yang ngelalar hapalan, ada yang ke dapur untuk ngopi maupun sarapan pagi, ada pula yang kembali tidur lagi.
Tiba-tiba salah satu khadim ndalem membangunkan saya, “sampean ditimbali Kiai Din”, sontak saya terkejut bukan main, “wonten nopo, cak?” tanyaku sambal ucek-ucek mata, “embuh, ndang digawe kopiah karo klambine” ucapnya. Saya oleh khadim ndalem langsung diantarkan menghadap Kiai Din yang sedang mutala’ah kitab dalam ruang belajarnya.
“Gus, sampean masih keluarga dengan pondok Denanyar?” tanya Romo Kiai Din.
“Mboten, kulo rencange Gus Athoillah putrane Kiai Haramain Denanyar”, saya menunduk tidak berani menatap beliau.
Kiai Din masih penasaran, kemudian bertanya sembari menyebutkan satu persatu keluarga Denanyar, seperti Kiai Bisri Syansuri dan Kiai Sahib Bisri, “Mbah Bisri kalih sampean pernah nopo, Gus?”
Saya menjawab, “kulo sanes keluarga Denanyar”.
Kiai Zainuddin pun mempersilahkan saya balik ke kamar pondok. Selanjutnya Gus Athoillah yang berada di Al-Falah 1 komplek Ittihad 2 giliran dipanggil untuk menghadap Romo Kiai Zainuddin.
Kejadian tersebut bermula ketika Kiai Imam Haramain Denanyar mengajak saya sowan ke Romo Kiai Zainuddin di Al-Falah Dua, akan tetapi Romo Kiai sedang bepergian, akhirnya bingkisan yang dipersiapkan untuk sowan dititipkan pengurus kantor Al-Falah Dua. Dari situlah Romo Kiai Zainuddin menanyakan identitas pemberi bingkisan tersebut.
Apa yang dilakukan Romo Kiai Zainuddin di atas sebenarnya lebih kepada etika atau sopan santun tatkala menerima pemberian. Bagi Romo Kiai Zainuddin wajib hukumnya mengetahui identitas pengirim bingkisan untuk kemudian mengucapkan terima kasih serta mengingatnya agar suatu saat membalas pemberian tersebut. Selain itu juga agar berhati-hati—atau yang dikenal wirai—dalam menerima pemberian apapun.
Menurut cak Rohmat, Romo Kiai Din di usia sepuh tetap konsisten “berhati-hati” dalam menerima bingkisan apapun. Tidak jarang saat bingkisan diterima langsung oleh Kiai Din, beliau berterima kasih dan memuji bingkisan tersebut, meski kemudian bingkisan (semisal berkatan) itu diberikan kepada para khadim ndalem.
Belum lagi terkait pembagian zakat, menurut kesaksian banyak pihak, baik dari kalangan dewan asatidz, khadam, masyarakat desa Ploso, tiap kali panen padi Romo Kiai Zainuddin pasti mendahulukan zakatnya. Artinya, beras yang masuk ke ndalem harus sudah rampung pembagian zakatnya.
Ketegasan Kiai Din terhadap persoalan berhati-hati (wara’), berterima kasih dan pembagian zakat ini merupakan bentuk kepedulian terhadap dimensi sosial keagamaan. Meskipun beliau adalah sosok Kiai yang memiliki ribuan santri dan dihormati siapapun, tidak pernah sedikit pun jumawa dan tebang pilih terhadap tamu-tamunya. Bahkan terhadap tukang tambal ban sekalipun, beliau terima dengan baik. Sehingga itu semua membentuk ikatan erat yang sangat harmonis.
Pernah tukang tambal ban tersebut tidak memakai baju dikarenakan “sumuk” panasnya cuaca, dia pun “ote-ote”. Saat Kiai Din lewat di depan bengkelnya, buru-buru tukang itu memakai pakaiannya dengan rapi, kemudian ketika adzan terdengar, bengkelnya ditutup untuk ikut melaksanakan shalat berjamaah dengan Kiai Din. Padahal, tukang tambal ban itu dikenal jarang ibadah shalat dan tidak pernah sungkan kepada siapapun.
Masih menurut keterangan cak Rahmat dan juga cak Jaenuri, ketika Romo Kiai masuk Rumah Sakit Gambiran masih sempat menanyakan HUT Bhayangkara, apakah sudah dipersiapkan konsumsinya atau belum. Karena setiap tahun beliau ikut berpartisipasi atas kesuksesan HUT. Semua laku beliau itu tidak lain merupakan bentuk kepedulian terhadap elemen masyarakat di berbagai profesi, sehingga tidak mengherankan bilamana hubungan Kiai Din dengan aparat keamanan, lurah, camat, modin, alumni, terjalin dengan baik. Inilah potret mini dari kasih sayang untuk semuanya.
Semoga kita mampu meneladani Romo Kiai Zainuddin Djazuli. Al-fatihah.
____________________
*Alumni Al-Falah Ploso, PW LTNNU JATIM.
https://www.halaqoh.net/2021/07/belajar-berterima-kasih-dan-berbagi.html