Belajar Bijak Berbeda Pendapat Dari Sahabat Nabi

Laduni.ID, Jakarta – Perbedaan dalam masalah fiqih adalah sesuatu yang ada dan bukan diada-adakan. Jadi, sebelum lebih jauh mendalami fiqih, seorang harus siap menghadapi perbedaan itu sendiri dan bersikap bijak dalam perbedaan tersebut.

Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad Al-Lakhmi Asy-Syathibi Al-Gharnati Al-Maliki atau Imam Asy-Syathibi rahimahullah (wafat 8 Sya’ban 790 H / 19 Agustus 1388 M di Granada Spanyol) dalam kitabnya  Al-Muwafaqat, meriwayatkan qoul  Hafizhul Ashr Qudwatul Mufassirin wal Muhadditsin al-Imam Qatadah bin Di’amah As Sadusi Imam Qatadah rahimahullah (wafat 680 – 735 M,  Kegubernuran Wasit, Irak) yang mana qoul ini sangat masyhur sekali di kalangan para fuqaha dan pembelajar fiqih :

مَنْ لَمْ يَعْرِفْ الِاخْتِلَافَ لَمْ يشمَّ أنفُه الْفِقْهَ

“Siapa yang tidak tahu (Tidak mengakui) Ikhtilaf, ia sama sekali tidak bisa mencium Fiqih”. (Kitab Al-Muwafaqat, 5/122).

Kalau mau berbeda silahkan saja, hanya saja perlu dijaga jangan sampai merasa paling benar di depan umat, yang akhirnya menimbulkan gesekan dan kesalahpahaman. Bukankah seorang muslim dituntut untuk menjaga harmonisasi persatuan antara sesama muslim ?

Mungkin beberapa orang lupa atau tidak tahu bahwa ada kaidah fiqih, yang sangat mengambarkan sekali bagaimana ulama fiqih itu benar-benar peduli akan terwujudnya persatuan umat walaupun dalam bingkai perbedaan pendapat. Sebagaimana disebutkan oleh Imam Jalaluddin Abdurrahman bin Kamaluddin Abu Bakr bin Muhammad bin Sabiquddin Al-Misri Asy-Suyuthi Asy-Syafi’i Al-Asy’ari Atau Imam Asy-Suyuthi rahimahullah (3 Oktober 1445 M – 18 Oktober 1505 M, Kairo, Mesir) sebagai berikut :

الخروج من الخلاف أولى وأفضل

“Keluar dari perbedaan adalah lebih utama dan lebih baik”. (Kitab Al-Asybah wa Al-Nazhoir li Al-Subki, 1/111).

Ini dijelaskan oleh Syaikhul Islam Al-Qadli Abu Nashr Abdul Wahhab Tajuddin Abdul Wahhab bin Ali bin Abdul Kafi as-Subuki Asy-Syafi’i Al-Asy’ari atau Imam Taajuddin As-Subki rahimahullah (wafat 4 Juli 1370 M,  Damaskus, Suriah) dalam kitab Al-Qawa’id Al-Musytamalah ‘Ala Al-Asybah Wa An-Nadhair,  ketika membahas ini dalam kitabnya, beliau seperti menasihati bahwa perbedaan dalam masalah fiqih itu sesuatu yang tidak bisa dihindari, maka kita lah yang harusnya cerdas dalam menyikapi itu.

Sahabat Abdullah bin Mas’ud dan Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhuma

Sahabat Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu dengan tegas menyatakan bahwa seorang musafir, afdholnya ialah sholat  qashar, tidak tamm  (sempurna), jika ada musafir yang shalatnya sempurna 4 rakaat, beliau mengatakan itu adalah  mukholafatul-aula  (menyelisih pendapat yang utama).

Akan tetapi, dgn rela ia meninggalkan pendapatnya dan ikut shalat sempurna 4 rokaat di belakang Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhu yang memandang berbeda dengannya dalam masalah ini. lalu Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu ditanya: “Kau mengkritik Utsman, tapi kenapa kau mnegikutinya sholat 4 rokaat ?”. Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu menjawab : ( الخلاف شر )“berbeda itu buruk !”. (Al-Hafidh Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani Asy-Syafi’i rahimahullah, 18 Februari 1372 – 2 Februari 1449 M,  Kairo, Mesir)

Karena tahu, bahwa jika beliau menonjolkan perbedaan itu depan umum yang tidak semuanya paham masalah tersebut, Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu memilih untuk tetap mengikuti Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhu, walaupun itu menyelisih pandangannya sendiri.

Dalam perbedaan pendapat diantara para sahabat nabi, maka tentunya kebenaran ada di salah satu dari beberapa pendapat tersebut, yaitu yang lebih mendekati kesesuaian dengan Al Qur’an dan sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata :

: قد سمعت قولك في الإجماع والقياس بعد قولك في حكم كتاب الله وسنة رسوله أرأيت أقاويل أصحاب رسول الله إذا تفرقوا فيها ؟ فقلت : نصير منها إلى ما وافق الكتاب أو السنة أو الإجماع أو كان أصحَّ في القياس

“Jika ada orang yang bertanya, Wahai Imam Syafi’i, aku dengar engkau mengatakan bahwa setelah AlQur’an dan Sunnah, ijma dan qiyas juga merupakan dalil. Lalu bagaimana dengan perkataan para sahabat Nabi jika mereka berbeda pendapat ?

Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata : “Bimbingan saya dalam menyikapi perbedaan pendapat di antara para sahabat adalah dengan mengikuti pendapat yang paling sesuai dengan Al Qu’an atau Sunnah atau Ijma’ atau Qiyas yang paling shahih”

Asy-Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Abdul Rahman Ad-Dimasyqi Asy-Syafi’i rahimahullah, seorang ulama Madzhab Syafii, menegaskan dalam kitab Rahmatul Ummah fi Ikhtilafil Aimmah bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama, merupakan rahmat bagi umat. Sebab, mereka telah melakukan ijtihad dengan mengerahkan seluruh daya intelektual dan spiritual guna mencari kebenaran.

Seharusnya, tidak ada seorangpun yang mengingkari bahwa inti perbedaan yang terjadi antara para ulama, tidak disebabkan karena faktor kepentingan pribadi dan nafsu. Namun, lebih disebabkan karena adanya persoalan keilmuan semata. Mereka melakukan ijtihad, untuk mencari kebenaran semampu mungkin, dan tidak pernah terlintas sama sekali dalam benak mereka bahwa hasil ijtihad yang dihasilkannya adalah wahyu yang diperoleh dan wajib diikuti oleh seluruh manusia. Bahkan salah seorang imam berkata : “Inilah pendapatku, ianya benar, dan kemungkinan adanya kesalahan. Sedangkan pendapat selainku keliru dan kemungkinan adanya kebenaran”.

Oleh karena itu, para ulama sangat menjaga etika dalam menyikapi perbedaan pendapat. Sehingga, tidak pernah ada rasa ingin menfitnah sesama muslim pada agama, amaliyah dan akhlaknya. Bahkan, para ulama tersebut menjadi teladan dalam rasa saling menghargai dan menghormati sesama. Fenomena ini berbanding terbalik dengan sikap sebagian kita saat ini, yang begitu fanatik terhadap pendapat tertentu, dan menolak pendapat yang berbeda dgn pemahaman yang diyakini bahkan gemar menyalahkan, membid’ahkan, menyesatkan dan mengancam dengan neraka, sebab kesombongan yang merasa paling benar, seolah Islam itu hanya representasi kelompok mereka.

Jika ada yang mengaku pengikut ulama salaf, maka seharusnya mengikuti metode keilmuan, teladan adab dan akhlak mereka juga. Sehingga, muncul kesadaran sikap beragama, yang mana sesungguhnya perbedaan merupakan rahmat bagi umat, kelapangan bagi mereka, sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama dalam banyak karya mereka.

Salah satunya, pesan seorang UMARA dan ulama masa salaf, Khalifah Umar bin Abdul Aziz rahimahullah (wafat 720 M di Syuriah) berkata: “aku tidak menyukai melainkan ada khilafiyah di kalangan para sahabat Rasulullah. Karena kalau semua mereka memiliki satu pendapat, sungguh akan menyulitkan umat Islam yang datang setelah mereka. Para sahabat merupakan ikutan, jika seseorang mengambil pendapat mereka, maka terdapat kelapangan di dalamnya.

Puncak tertingi kesadaran akan kenisbian akal itulah yang menjadi alas mengapa perdebatan antar ulama hanya berhenti dalam perdebatan, dengan hujjah masing-masing berdasarkan kemampuan ijtihadnya. Di luar itu, mereka (ulama salaf) tetap menjunjung tinggi hubungan persaudaraan sebagai sesama manusia. Tidak ada kebencian, melainkan kasih sayang. Para ulama terdahulu telah memberi contoh, bahwa berdebat yang produktif adalah berdebat dengan berbalas karya sembari tetap menjunjung etika. Perbedaan pendapat antarulama itu oleh karenanya justru menjadi rahmat dan keberkahan bagi umat.

Terakhir, kita boleh memberikan penilaian yang bersifat subjektif, serta dilengkapi dengan ungkapan yang sopan dan beretika. Juga akan menjadi lebih baik bila kita sampaikan juga bahwa pendapat yang kita pilih ini bukan kebenaran yang bersifat mutlak, tetapi bisa saja salah. Sementara pendapat yang ditolak, bukan berarti pendapat itu salah atau menyesatkan. Pendapat itu bisa saja menjadi benar. Dan kebenaran hanya milik Allah, atau dengan ungkapan wallahua’lam.


Sources by: Al-Faqir Ahmad Zaini Alawi Khodim Jama’ah Sarinyala Kabupaten Gresik
Editor: Nasirudin Latif

https://www.laduni.id/post/read/73954/belajar-bijak-berbeda-pendapat-dari-sahabat-nabi.html