Benang Kusut Problematika Keberagamaan Kita dan Penguatan Moderasi Beragama

Dalam beberapa tahun terakhir fenomena dan problematika keberagamaan di Indonesia menarik untuk dicermati.  Salah satu di antaranya adalah tentang ‘masa depan’ gagasan dan gerakan moderasi beragama yang diinisiasi oleh Kementerian Agama RI. Munculnya gagasan dan gerakan moderasi beragama tentu tidak dapat dilepaskan dari problematika keberagamaan yang terjadi. Dengan kata lain, moderasi beragama dicanangkan dalam rangka meminimalisir terjadinya ragam problematika keberagamaan mulai dari minimnya toleransi, paham anti kebangsaan, aksi kekerasan dalam segala bentuknya dan anti terhadap kearifan lokal (local wisdom) yang ada di Indonesia.

Moderasi beragama (MB) diyakini menempati posisi urgen dalam upaya menyelesaikan problematika kebangsaan. Karena itulah, MB masuk dalam RPJMN 2020-2024 dan dikuatkan lagi dalam Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama.

Memasuki era 4.0 dan society 5.0 upaya penguatan MB menjadi prioritas Kemenag di ranah implementasinya di tengah realitas keindonesiaan yang multikultural dan multiagama. Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menekankan bahwa realitas keindonesiaan tersebut jika tidak dikelola secara tepat dapat menimbulkan ketegangan, gesekan dan mengancam kerukunan intra dan antar umat beragama di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan menjamurnya pola pemikiran dan pemahaman keagamaan baik dari individu maupun komunitas tertentu yang bercorak eksklusif dan ekstrim.

Akibat pola pikir ekstrim tersebut kita jumpai beragam problematika keberagamaan di Indonesia. Masalah toleransi misalnya menjadi signifikan untuk dikedepankan terkait dengan relasi antar dan intra umat beragama. Persoalan riil di ranah ini terkuak misalnya dari prosentase pendirian rumah ibadah di suatu wilayah berbanding lurus tidaknya dengan jumlah umat di daerah tersebut. Permasalahan lainnya adalah terkait dengan antipatinya sekelompok minoritas masyarakat muslim terhadap ritual keagamaan berbasis lokalitas mayoritas muslim di daerah tertentu. Fenomena ini terjadi di beberapa daerah dan menjadi persoalan serius jika tidak ditanggapi secara cermat.

Problematika lain yang tak kalah penting adalah terkait dengan paham anti kebangsaan, yakni penolakan terhadap Pancasila dan UUD 1945 sebagai common sense masyarakat kita. Penolakan terhadap simbol-simbol negara ini mengarah pada sikap dan aksi ekstrimis dan teroris yang meng-kafirkan pihak liyan. Pada akhirnya, dalam pandangan mereka nasionalisme menjadi tidak penting dan dipandang sebagai sistem pemerintahan yang kafir (taghut).

Tafsir bercorak ekstrim seperti ini pada akhirnya merambah dalam ranah agama. Tafsir atas agama yang sejatinya bernuansa heterogen berubah haluan dalam bentuk dan format yang kaku, rigid dan ekstrim. Muncullah fenomena keagamaan yang disebut Mohammed Arkoun sebagai pensakralan pemikiran keagamaan (taqdis al-afkar al-diny). Fenomena inilah yang pada akhirnya menurut M. Amin Abdullah (2012) melahirkan klaim kebenaran (truth claim) dan penghakiman terhadap keyakinan yang liyan sebagai sesat dan menyesatkan. Dua ranah kutub tafsir yang saling berhadapan pun muncul tanpa dapat dielakkan.

Persoalan urgen lain yang kita hadapi adalah munculnya fenomena politik identitas di tengah pesta demokrasi lima tahunan. Kontestasi politik lima tahunan tersebut dinilai rentan dengan politik identitas yang berpotensi memecah belah anak bangsa dalam sekat-sekat kepentingan kelompok dan golongan. Karena itulah dibutuhkan formula yang tepat dalam upaya mencairkan situasi dan kondisi yang rentan tersebut.

Dalam ragam konteks inilah MB sebagai model cara beragama masyarakat yang toleran, tanpa kekerasan, menghargai budaya dan komitmen kebangsaan yang kuat diharapkan mampu menjadi solusi di tengah dua kutub keberagamaan yang sama-sama eksklusif dan ekstrim. Berdasar survei nasional tahunan indeks kerukunan umat beragama (KUB) mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun, namun masih dalam kategori ‘baik’ (60-80 poin). Pada tahun 2021 misalnya, indeks tersebut sebesar 72,39 poin, meningkat sekitar 4,93 poin dari tahun sebelumnya yang mencapai 67,46 poin. Parameter indeks KUB ini berpijak pada tiga dimensi yakni toleransi, kesetaraan, dan kerjasama. Menariknya, nilai dimensi toleransi selalu paling rendah di antara dimensi lainnya. Hal ini semakin menegaskan bahwa masalah ekstremisme masih eksis dan memerlukan perhatian serius. Fenomena ini semakin menegaskan perlunya penguatan dan pengarusutamaan (mainstreaming) MB di segenap lini kehidupan masyarakat.

Munculnya ragam problematika keberagamaan di atas mendorong pemerintah melalui Kemenag menelorkan kebijakan-kebijakan yang mendorong penguatan MB. Upaya ini dilakukan dengan melibatkan segenap pihak terkait mulai dari pemangku kebijakan, akademisi, tokoh agama, dan pemangku kepentingan lainnya untuk berdiskusi, berbagi pengalaman, dan mengidentifikasi solusi bersama untuk mewujudkan kebijakan MB yang lebih implementatif dan applicable.

Penguatan MB pada dasarnya adalah menghadirkan negara sebagai rumah bersama yang adil dan ramah bagi warga bangsa Indonesia. Menurut Nizar, Sekretaris Jenderal Kementerian Agama, keberhasilan penguatan MB dalam kehidupan masyarakat Indonesia dapat terlihat dari tingginya empat indikator utama. Pertama, komitmen kebangsaan yang antara lain ditandai dengan sikap penerimaan terhadap prinsip-prinsip berbangsa yang tertuang dalam konstitusi, Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Kedua, toleransi. Misalnya, muncul dalam sikap menghormati perbedaan, memberi ruang orang lain untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya, dan menyampaikan pendapat serta menghargai kesetaraan dan bersedia bekerja sama. Ketiga, anti kekerasan. Yaitu, menolak tindakan seseorang atau kelompok tertentu yang menggunakan cara-cara kekerasan, baik secara fisik maupun psikis. Keempat, penerimaan dan ramah terhadap tradisi dan budaya lokal sejauh tidak bertentangan dengan pokok ajaran agama dan kepercayaan.

Keberhasilan penguatan MB tersebut akan terlihat nyata di masyarakat bila disertai dengan gagasan-gagasan dan aksi solutif-implementatif. Problematika MB terkait dengan komitmen kebangsaan, toleransi, aksi kekerasan dan akomodatif budaya lokal memerlukan dua pendekatan yang seyogyanya saling bersinergis satu sama lain.

Pertama, pendekatan struktural ditempuh oleh pemangku kebijakan terkait MB melalui pembuatan aturan dan kebijakan yang implementatif dan berdampak langsung di tengah-tengah masyarakat. Misalnya, program pembentukan Kampung Moderasi Beragama (KMB). Upaya ini misalnya, dapat diperluas lagi dengan kebijakan pembuatan kurikulum MB di ranah pendidikan dan lingkup lainnya.

Kedua, pendekatan kultural dapat dilakukan dengan sikap persuasif dan adaptif terhadap eksistensi kearifan lokal (local wisdom) yang ada di Indonesia. Penekanan adaptif terhadap budaya lokal ini harus diteladankan secara aktif oleh berbagai pihak misalnya tokoh masyarakat, agamawan, tenaga pengajar, budayawan dan lain sebagainya sebagai bentuk peran aktif mitra pemerintah dalam penguatan MB di masyarakat.

Walhasil, implementasi dari kedua pendekatan tersebut haruslah bersifat saling sinergis dan pro-aktif. Solusi terhadap problematika MB yang beragam tentunya membutuhkan pendekatan yang bercorak integratif-interkonektif dari berbagai pihak. Di satu sisi, peran pemerintah sebagai pemangku dan pembuat kebijakan. Pada sisi lain, peran aktif segenap elemen bangsa melalui program aksi penguatan MB secara nyata dalam menyelesaikan problematika MB yang terjadi di masyarakat. Dari sinilah, membumikan moderasi beragama sebagai pilar dan potret keberagamaan Islam Indonesia yang moderat, toleran dan inklusif menjadi sebuah keniscayaan.                .

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/mnfi/benang-kusut-problematika-keberagamaan-kita-dan-penguatan-moderasi-beragama-b248812p/