Benarkah Belajar Akidah Harus dengan Doktrinisasi?

Laduni.ID, Jakarta – Sekitar beberapa minggu kemarin saya mengikuti sebuah acara diskusi ilmiah di sebuah perguruan tinggi dengan tema besar “urgensi belajar akidah.” Ada dua pertanyaan yang saya tanyakan waktu itu kepada pemateri. Pertama tentang sejauh mana tolok ukur dari “urgensi” itu sendiri dalam belajar akidah. Kedua, apa betul dalam belajar akidah harus dengan cara doktrin.

Beliau menjawab, hanya sebatas pada taraf fardhu ‘ain saja tidak yang fardhu kifayah. Cuman untuk kalangan pesantren seyogyanya tidak mencukupkan pada yang fardhu’ ain saja. Dan jawaban ini saya sepakat. Kemudian untuk pertanyaan kedua, beliau dengan tegas menjawab memang harus dengan cara doktrinisasi. Tidak boleh kita kemudian menawarkan pada murid-murid kita untuk bebas memilih akidah yang mana setelah sebelumnya dijelaskan secara detail.

Hal semacam itu menurut beliau akan sangat berpotensi menghantarkan pemahaman murid pada akidah yang sesat menyesatkan. Untuk jawaban kedua ini saya pribadi jauh dari kata sepakat. Begini, apapun itu, yang namanya paksaan (doktrin) dalam Islam tidak dibenarkan dan bukan menjadi tempat “manatul-hukmi” (tambatan hukum/taklif.) al-Imam as-Syahid Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi dalam kitabnya “Hurriyatul Insan Fi Zilli ‘Ubudiyyatihi Lillah” menjelaskan secara detail tentang masalah ini mulai dari halaman 32-41.

Menurut Syaikh al-Buthi, segala tindak tanduk manusia yang terjadi dipilah pada dua klasifikasi; ada yang terjadi melalui ikhtiar kita (mukhayyar), dan ada yang terjadi tanpa melalui ikhtiar kita (musayyar). “Mukhayyar” seperti kegiatan harian kita, yang kita lakukan secara sadar, seperti pergi ke toko untuk beli rokok, ke kampus untuk kuliah.

“Musayyar” seperti ketika mengantuk, sakit, atau segala yang terjadi di dalam tubuh kita, seperti mengalirnya darah, berdetaknya jantung, dan lain sebagainya, semua itu terjadi tanpa memerlukan ikhtiar apapun dari kita, karena mau tidak mau itu terjadi begitu saja secara pasti. Dan kita tidak bisa menghindarnya.

Sedangkan taklif, atau beban untuk melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan, itu ditambatkan pada jenis pekerjaan yang bersifat “Mukhayyar.” Itulah sebabnya kenapa orang yang belum baligh, orang gila, orang tidur, orang yang dipaksa tidak terkena taklif.

Allah subhanahu wa ta‘ala berfirman:

لايكلف الله نفسا إلا وسعها لها ماكسبت وعليها ما اكتسبت

“Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan batas kemampuannya. Baginya ganjaran untuk apa yang diusahakannya, dan ia akan mendapat siksaan untuk apa yang diusahakannya.” (QS. Al-Baqarah: 287)

Sedangkan akidah atau keyakinan termasuk jenis pekerjaan yang musayyar atau tak terelakkan (bukan mukhayyar). Sehingga dalam pandangan Islam tidak bisa dikatakan,” wajib bagi manusia meyakini ini, atau tidak boleh meyakini itu,” Hal itu karena akidah merupakan sebuah keyakinan dan keyakinan adalah sebuah kesimpulan yang akal kita tidak bisa menghindar dari kesimpulan itu sendiri. Misalnya, kita berpikir mengenai 70 + 30 – 50, sudah pasti kita akan terpaksa untuk berkesimpulan hasilnya adalah 50.

Kalau begitu, apa arti bahwa kita wajib beriman kepada Allah, pada utusan-Nya, dan seterusnya, serta kafir jika mengingkarinya?

Jawabannya adalah, bahwa perintah Allah dalam hal ini berkaitan dengan sarana-sarana ikhtiari yang dimiliki manusia, dalam bentuk mengangan-angan, dan memikirkan dalil-dalil yang bisa menghantarkan pada keimanan. Jadi perintah itu tidak berkaitan secara langsung dengan hasil atau kesimpulan yang didapat oleh akal manusia, melainkan perantaranya.

Artinya adalah, wajib bagi setiap orang yang sudah baligh dan pandai memfungsikan akalnya atau kemampuan berpikirnya untuk memikirkan tentang dirinya sendiri dan alam yang ada di dunia ini. Sehingga jika benar-benar difungsikan untuk memikirkan hal tersebut, dan ia membuang sikap kesombongan, pasti akan sampai pada keyakinan “Allah itu memang Esa.”

Oleh karena itu redaksi yang digunakan al-Qur’an kata “I’lam” bukan kata “I’taqid”

فاعلم أنه لا إله إلا الله

“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada tuhan yang haq melainkan Allah.” (QS. Muhammad: 19.)

Dari ayat ini sangat jelas Allah Swt memerintahkan kita, untuk mengetahui, mencari, memikirkan, bukan untuk meyakini. Ingat, perintah untuk mengetahui itu mungkin dan bisa  diusahakan, sedangkan perintah untuk meyakini itu tidak mungkin, karena sebuah keyakinan itu akan hadir ketika melalui proses berfikir serta membuang rasa sombong dan congkak.

So, belajar akidah tidak dapat dibenarkan dengan cara doktrinisasi. Karena sekali lagi paksaan bukanlah ranah “manatul-hukmi” dalam khitab ilahi. Sepakat, kecuali doktrinisasi yang dimaksud itu diarahkan pada sebatas antisipasi terjerumusnya manusia (murid) pada paham yang sesat menyesatkan. Wallahu A’lam.

Sumenep, 16 April 2021

Oleh: Ahmad Mo’afi Jazuli

Sumber: https://www.facebook.com/photo?fbid=122720996573976&set=a.115504967295579

https://www.laduni.id/post/read/72033/benarkah-belajar-akidah-harus-dengan-doktrinisasi.html