Pergeseran hari libur Maulid Nabi menjadi polemik yang baru. Beberapa orang menganggap bahwa pemerintah berani untuk mengubah tanggal kelahiran Nabi. Bagi mereka tentu hal tersebut harus diwaspadai sebagai agenda yang merusak agama Islam. Padahal pengunduran hari libur peringatan Maulid Nabi yang seharusnya jatuh pada tanggal 19 Oktober 2021 lalu menjadi keesokan harinya merupakan antisipasi lonjakan penyebaran kasus COVID-19.
Jika kita mengikuti perkembangan studi Islam muktahir, maka perdebatan tentang masalah waktu kelahiran Nabi Muhammad merupakan hal yang mungkin terjadi. Salah seorang sarjana studi Islam awal asal Indonesia, Mun’im Sirry lewat karyanya yang berjudul “Islam Revisionis, Kontestasi Agama Zaman Radikal” memperlihatkan perspektif yang tidak biasa tentang Maulid Nabi. Menurut analisisnya peristiwa penyerangan tentara bergajah Abrahah terjadi sekitar 20 tahun lebih dahulu dari kelahiran Sang Nabi. Begitu juga dengan penetapan Rabiul Awal sebagai bulan kelahiran Sang Nabi, memiliki kemiripan dengan tradisi Yahudi mengenai kelahiran Nabi Musa di bulan Adar.
Penyelidikan studi Islam tentang sosok Muhammad historis berhadap-hadapan dengan kisah Muhammad teologis. Bahkan usaha-usaha demikian memunculkan perspektif baru tentang apa sebenarnya Islam itu? Apakah sebuah agama?
Menurut narasi tradisional umat muslim, Nabi Muhammad dan pengikutnya merupakan kelompok religius yang menekankan pada sikap ketaatan dan kepasrahan melalui agama yang bernama Islam. Islam sebagai gerakan dan jalan hidup memiliki hubungan yang kuat dengan kelompok hanifiyyah yang membawa ajaran benar dan lurus. Jika terus dilacak maka gerakan Sang Nabi beserta pengikutnya tersebut berawal dari monoteisme pra-Islam.
Fred M. Donner selaku sarjana studi Islam memandang bahwa pada awalnya Muhammad sebagai Nabi hanya bermaksud membuat suatu komunitas, tepatnya Gerakan Umat Beriman, bukan agama Islam sebagaimana yang dikenal sekarang. Umat Beriman terpisah sebagai suatu kelompok saleh yang disiplin, mereka bukanlah sejenis agama baru. Justru gerakan tersebut mempersatukan kepercayaan-kepercayaan monoteis termasuk Yahudi dan Kristen dengan mereformasikannya bersama sikap kesalehan tertentu.
Selain itu, Gerakan Umat Beriman memiliki ajaran tentang persiapan diri untuk menunggu kedatangan hari kiamat, percaya atas pewahyuan kitab suci dan kenabian, serta bertakwa atau melakukan perilaku yang benar. Praktik hidup Gerakan Umat Beriman meliputi salat atau doa, menjahui dosa, puasa secara berkala, serta berkasih sayang dan rendah hati kepada orang lain.
Gerakan Umat Beriman yang dipelopori oleh Nabi Muhammad kemudian terkristal lewat modifikasi dan redefinisi menjadi agama Islam pada akhir abad pertama setelah peristiwa Hirjah dan awal abad kedua pasca-Hijrah (abad ke-7-8 Masehi). Konvensi tersebut terjadi pada kekuasan Dinasti Umayyah.
Analisis Donner yang berkenaan dengan kajian sejarah Islam awal di atas banyak diurai pada karyanya yang berjudul Muhammad and the Believers: At the Origins of Islam. Studi Islam dalam perspektif kesarjanaan revisionis mengupayakan rekonstruksi sejarah Islam. Sebagaimana namanya yakni revisionis, mereka menganalisis dengan cara merevisi pemahaman yang sudah diterima secara tradisional. Perspektif revisionis melihat secara kritis bahwa dalam sumber-sumber data tradisional Islam memiliki keterbatasan bahkan kecacatan menurut standar disiplin sejarah. Misalnya saja penulisan sirah nabawiyah (kisah kenabian Muhammad) yang tertua dan komprehensif terjadi pada masa tabi’in. Belum lagi persoalan sejarah kanonisasi Al-Qur’an dan lain sebagainya.
Membaca sejarah Islam awal secara kritis tidak dimaksudkan untuk mendekonstruksi Islam itu sendiri. Malah kelompok sarjana revisionis mengajarkan kita tentang pentingnya kejujuran, keterbukaan, dan keberterimaan dalam memahami sejarah Islam. Apalagi di tengah semangat agenda supermasi dan ekspansi beberapa kelompok keislaman yang mengulang-ulang kerinduannya pada masa salaf as-saleh. Romantisme masa lalu tersebut menawarkan kesempurnaan praktik berislam bersamaan dengan autentisitasnya melalui pemahaman yang sempit.
Mari kita merenung sejenak di hari yang kita imani sebagai Hari Kelahiran Sang Nabi ini. Bagaimana jika sebenarnya Sang Nabi adalah penggerak komunitas lintas iman? Sang Nabi adalah sosok yang toleran dan mampu merangkul beragam orang dengan latar belakang keagamaan. Apakah cukup mind blowing? Namun kiranya hal tersebut lebih baik untuk merindu pada Islam perdana sebagai gerakan yang inklusif. Ketimbang kita terjebak pada bayang-bayang tetang awal kemunculan Islam sebagai gerakan yang keras dan kaku.
Kita tidak pernah menyaksikan secara langsung runtutan peristiwa yang sebenarnya terjadi pada masa Sang Nabi hidup. Kita hanya bisa membaca, mendengar, membayangkan, atau mengimaninya saja.
Selamat merayakan Maulid Nabi, Shallu ‘alannabi.
https://alif.id/read/arfi-pandu-dinata/benarkah-sang-nabi-penggerak-komunitas-lintas-iman-b240409p/