Oleh Masyhari
RumahBaca.id – Baru saja saya dapat suguhan sebuah link tulisan dari website di beranda sebuah akun facebook satu kampus swasta. Tulisan berupa opini. Judulnya sih sederhana, sebatas pertanyaan filosofis tentang alasan mengapa menulis, tepatnya: “Mengapa dan untuk Apa Menulis?” Ketika saya klik dan baca, sebenarnya isinya tidak terlalu panjang, hanya 6 paragraf. Namun jujur saya dibuat pusing, karena sulit mencerna dan memahami isinya. Meski secara garis besar, saya terpaksa berpura-pura bisa menangkap isi pesan yang dimaksud penulisnya.
Saya akhirnya langsung kembali ke status facebook tersebut, dan secara spontan menulis komentar singkat: “Wah, ora mudeng aku. Terlalu tinggi bahasane.. Mocone sampai mumet. Ora paham-paham…hehe”. Jika berkenan, bolehlah saya menambahkan komentar saya dalam sebuah opini sederhana. Bukan hendak membantah gaya penulisan sang penulis, karena memang bukan maqam saya. Ora wani, reek. Saya sebatas ingin berdiskusi dengan khalayak pembaca semata, atau anggap saja saya ini sedang belajar menulis.
Begini. Melanjutkan paragraf pertama tulisan saya ini. Ketika saya sulit memahami tulisan tersebut atau tulisan lainnya, bisa jadi, karena memang tingkat literasi -maksud saya, konsumsi bacaan- saya, yang terbilang masih rendah dan receh, apalagi jika dibandingkan dengan sang penulis. Dimaklumi pula, mengingat sang penulis yang sudah bergelar doktor dan berlatar belakang filsafat. Sementara saya, selaku pembaca yang belum doktor dan memang tidak menekuni bidang filsafat.
Sebagai bahan introspeksi, saya memang harus lebih sering ngopi dan lebih jauh lagi piknik saya. Ya, supaya saya tidak mudah kagetan dengan berbagai jenis dan setinggi apa pun kelas dan kasta tulisan. Supaya saya yang hanya seorang sarjana kasta sudra ini bisa memahami tulisan yang berkasta brahmana atau kshatriya.
Namun, ada satu tanya yang harus tetap saya ungkap di sini, yaitu: Benarkah, untuk dikatakan bagus, keren, ilmiah dan akademis, sebuah tulisan atau pembicaraan harus dipenuhi dengan bahasa yang filosofis, rumit dan menggunakan istilah-istilah asing yang ndakik, sehingga sulit dipahami kebanyakan orang?
‘Mazhab’ yang saya ikuti dan anut tidak begitu. Menurut hemat saya, malah sebaliknya. Saya lebih suka atau memilih mazhab yang sederhana. Ya, kalau bisa dipermudah, mengapa harus kita perumit? Jadi, menurut hemat saya, lebih bagusnya bagaimana kita, para akademisi, juga para ilmuan bisa menyampaikan hal yang filosofis, mendalam, ilmiah, dan rumit itu dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami orang.
Mazhab saya, kita permudah dan sederhanakan bahasan ilmiah yang rumit dan njelimet itu, agar mudah dipahami.
– Masyhari
Ya, yang namanya bagus atau tidak itu satu hal yang subjektif. Apa lagi ini sebuah opini, pendapat. Artinya, setiap orang bebas berpendapat, boleh setuju, boleh tidak. Masing-masing boleh dan berhak memperkuat argumentasi dan alasannya, dengan berbagai teori yang telah dikonsumsinya. Rumit atau sederhana juga subjektif, tergantung dalam perspektif siapa.
Hanya saja, bagi saya pribadi, selaku produsen tulisan, ketika menulis, berharap apa yang saya tulis bisa dipahami oleh pembaca, selaku konsumen tulisan saya. Karena itu, saya berupaya menggunakan bahasa yang simpel dan mudah dicerna oleh konsumen.
Mengapa demikian? Jawabnya simpel, yaitu karena saya menulis dalam rangka untuk menyampaikan pesan, mentransfer knowledge, sebuah pengetahuan hasil bacaan saya, kepada para pembaca. Karenanya, serumit apa pun teori dan informasi yang saya baca dan cerna, sebisa mungkin saya berupaya untuk menyampaikannya dengan bahasa sederhana dan mudah dicerna, agar tidak mudah disalahpahami.
Nah, kalau sebaliknya, misalnya saya gunakan bahasa yang rumit, bahkan lebih rumit dari bahasa asli hasil bacaan saya, itu artinya saya selaku penulis, bukan sebagai agen penafsir, jembatan perantara antara ilmuan dan pembaca, melainkan malah makin memperumit persoalan. Bukankah problem kehidupan ini sudah berat dan rumit? Alih-alih pembaca akan mendapatkan pencerahan, tapi sebaliknya bisa makin rumit dan mumet. Angel wes angel.
Sekadar contoh -bisa saja ini disebut sebagai argumentasi pembelaan, meski sebenarnya bisa dan mudah ditolak dan dianggap lemah-, ada banyak penulis dengan jam terbang tinggi, guru besar dan pakar di bidangnya, sebut saja Prof Mulyadhi Kartanegara, guru besar filsafat Islam misalnya. Kita tahu, beliau merupakan penulis produktif yang telah hasilkan banyak buku di bidangnya. Namun, kita tahu, kebanyakan tulisan beliau, betapapun rumitnya teori dalam tasawuf dan filsafat, ternyata beliau menjelaskannya dalam tulisan dengan bahasa yang sederhana, dan saya yang awam ini mudah memahami dan menangkap isi pesannya.
Penulis berikutnya yang bisa saya sebut yaitu Prof Imam Suprayogo, seorang tokoh legendaris di balik kebesaran nama UIN Maulana Malik Ibrahim Malang ini pernah meraih rekor Muri (Museum Rekor Indonesia), karena istikamah menulis setiap hari hingga beberapa tahun lamanya. Sepedek bacaan saya, dalam kebanyakan tulisan beliau, hampir tidak ditemui kata-kata rumit dan njlimet. Sehingga, saya yang awam ini mudah memahami tulisan-tulisan beliau.
Berikutnya, Gus Ulil Abshar Abdalla, mantan pentolan JIL yang sempat hebohkan jagat Nusantara dengan tulisannya di Kompas (18/11/2002) berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”, yang kini memilih ‘hijrah’ ke jalan tasawuf ala Ghazalian. Entah dalam tulisan tersebut, ataupun tulisannya yang lain yang beredar di berbagai media, baik online maupun cetak, rata-rata masih terbilang mudah dipahami. Sehingga, kebanyakan pembaca, termasuk saya, tidak salah paham terhadap isi pesannya. Soal setuju atau tidak, itu urusan lain.
Penulis berikutnya, perlu saya sebutkan di sini, selaku pengagumnya, tidak afdal jika tidak menyebut nama Gus Rijal Mumazziq Z Alboliwodi, sang rektor ternama yang macak jadi bakoel boekoe, juga seorang seleb papan atas di jagat literasi digital. Jika kita cermati tulisan-tulisannya, kita akan mudah memahami dan mencerna isi pesannya. Tidak lain, karena bahasa yang digunakannya sederhana, bahkan renyah dan gurih-gurih nyoi, tidak seperti Kinderjoy kesukaan anaknya tapi jadi momok bagi bapaknya.
Alhasil, masihkah Anda berpikir bahwa tulisan yang bagus dan keren adalah yang gunakan istilah ilmiah akademis dan asing? Tentunya, Anda bebas memilih, Kawan.
Cirebon, 27-28 November 2021