Tahun 2020 saya memutuskan untuk tinggal di kampung. Namun bukan kampung halaman tempat kelahiran saya, ya, tetapi kampung di mana istri saya dibesarkan. Tidak terasa sudah tiga tahun lebih saya meneguk air kehidupan di sini.
Ada banyak cerita, khususnya tentang keberislaman di kampung. Kampung atau desa adalah ruang komunal yang kita tidak bisa hidup sendirian. Sisi positifnya tetangga selalu bergotong royong apabila ada hajatan. Sangat meringankan tentunya. Tetapi ada juga resiko yang harus diambil bila hidup di desa. Di antaraya adalah apabila ada kejadian sekecil apapun tentang kehidupan kita, sekejap mata satu desa akan mengetahui. Tidak tahu siapa sosok yang menjadi pewarta di sini. Tapi unik. Itulah kehidupan di desa. Kita tidak punya rem atas cangkemme tonggo.
Kembali ke tema keberislaman. Di kampung yang saya tinggali, hampir rata masih kental dengan adat istiadat atau tradisi, seperti selametan, buat ambeng-ambeng (berkat) di momen-momen tertentu, dan ater-ater (menghantarkan makanan ke tetangga bila ada tasyakuran atau hajatan).
“Mas niki diparingi mak e”
Mas ini dikasih ibuk. Sapa tamu yang datang ke rumah sembari membawa berkat/makanan. Isinya nasi, daging (ayam/sapi), oseng-oseng kentang/kering tempe, dan mie bihun. Itulah standartnya. Namun di keluarga tertentu, isi berkat telah bergeser. Tidak lagi berisi nasi serta lauk pauknya, tetapi diganti roti. Seperti Purimas, Zieda, Docan, adalah merk lokal yang menguasai.
Pergeseran isi berkat ini menarik bagi saya, kenapa sebagian orang lebih memilih ngeropa? meniru makanan khas orang-orang eropa, roti, dan enggan untuk memasak berkat dengan isi ayam dan kawan-kawannya.
Pikiranmu jangan aneh-aneh lho ya, jangan seperti tetangga yang julid menyebar info kesana-kemari dengan narasi: wah sudah terkikis nih kearifan lokalnya. Makanan khas kafir dipakai slametan nih, wah bahaya. Jaga akidah kita.
Yang saya tangkap dari pergeseran isi berkat ada tiga hal. Pertama, orang lebih suka yang simpel dan terlihat ‘wah’. Hidup di desa, kamu punya hajatan dan suguhanmu seperti apa, pasti dapat omongan dari tentangga yang lain. Bagi yang memilih roti, menurut hemat saya karena ingin menghormati tamu undangan, mulyakke tamu. Apalagi kemasan roti dan isinya terlihat cukup enak dipandang, terutama brandnya.
Yang kedua, orang tersebut enggan repot, masak-masak. Lalu opsi berkat isi roti menjadi alternatif. Namun di satu sisi, juga soal ekonomi. Kemapanan secara finansial bagi yang punya hajat. Tiga alasan itu yang menjadi opsi berkat isi roti menjadi pilihan.
Dalam kasus ini saya ingin mengatakan, apapun itu isi dari sebuah berkat, namun tidak melupakan esensinya: berbagi kebahagiaan dan bersyukur atas nikmat.
Namun yang menjadi problem justru adalah tidak jarang orang yang punya hajat itu gengsi, dalam arti, ora ono tapi dionok-onokke, ora kuat tapi dikuat-kuatke, dua kalimat sederhana itu bisa punya dua makna, positif atau negatif. Tergantung konteksnya.
Yang saya maksud di situ adalah sisi negatifnya. Yakni orang yang punya hajat itu mampunya beli motor Revo, tapi dipaksakan untuk membeli Nmax atau PCX. Sehingga tidak kembali ke semangat berbagi atas rasa syukur, akan tetapi lebih ke gengsi. Kehidupannya diukur dari standart yang dipakai oleh tetangganya. Loru dul.
Itulah kehidupan sosial di kampung. Semangat dalam menjalankan nilai-nilai keberislaman harus ditopang dengan mengukur diri. Termasuk dengan beribadah. Jangan sampai yang sunnah mengalahkan yang wajib. Berlomba-lomba dalam kebaikan itu baik, tetapi harus juga mengukur diri, awak dewe kuate sepiro.
Satu contoh, ingin pergi umroh tetapi dengan dana hutangan. Padahal dia masih punya kewajiban untuk menafkahi keluarganya, yang gali lubang tutup lubang, misalnya. Hal ihwal ini yang menurut saya perlu menjadi perhatian serius, terutama buat saya sendiri.
Bersedekah, beramal, harus bisa mengukur batasan yang ada pada diri kita. Karena pernah ada ustaz tv yang koar-koar tentang sedekahkan semua hartamu kalau kamu punya hutang, nanti dalam sekejap hutangmu akan dilunasi oleh Allah Swt. Eh njuk malah tambah mumet sirah e.
Apa adanya saja, tidak usah aneh-aneh. Agama juga melarang sikap berlebih-lebihan. Wallahhu a’lam.
https://alif.id/read/autad/beragama-ala-wong-ndeso-b247344p/