Ramadan selalu memiliki keistimewaan di dalamnya. Anjuran-anjuran Nabi dalam mengisi bulan mulia ini menimbulkan kreativitas-kreativitas baru untuk mengisinya. Siapapun pasti bergembira bila bertemu dengan bulan ini.
Maka tak sedikit fenomena-fenomena unik yang berkembang di berbagai belahan dunia. Tak terkecuali di Indonesia sendiri. Di sana fenomena-fenomena di bulan Ramadan sangat beragam. Mulai dari ketika menyambut Ramadan dengan dilaksanakannya acara kenduri atau selametan, nyekar, silaturrahmi ke keluarga dan lain sebagainya. Hingga di televisi pun ikut semarak dengan menayangkan tayangan-tayangan yang bernuansa islami.
Sedang ketika memasuki bulan Ramadan ada juga fenomena khas yang terjadi, seperti membangunkan sahur dengan speaker atau toa masjid dan mushola, berbuka puasa bersama atau bukber dengan kerabat, ngabuburit menjelang waktu berbuka, dan juga berbagi-bagi takjil di tempat-tempat umum.
Semua itu adalah atas dasar cinta yang menimbulkan semangat karena bertemunya bulan Ramadan yang mulia. Ramadan selalu menginspirasi umat muslim untuk berbuat kebaikan. Salah satu anjuran Nabi pada bulan Ramadan adalah sedekah. Selain bersedekah itu bermanfaat bagi yang mengamalkan, juga bermanfaat bagi yang menerima sedekah itu.
Maka kreativitas itupun muncul dalam tengah-tengah kita. Fenomena sedekah lewat aktivitas membagi-bagikan takjil sangtlah banyak ditemui di berbagai kalangan. Entah dilakukan oleh perorangan secara masif maupun secara berkelompok seperti dalam sebuah komunitas maupun paguyuban tertentu. Aksi membagi-bagikan takjil ini biasa berlangsung di masjid, panti, tempat tongkrongan, maupun tepi jalan raya dan tempat ramai lainnya.
Bahkan yang tidak paham betul dengan budaya baik ini, mereka akan diadvokasi oleh yang lain agar ikut menjalankan seperti yang lainnya. Terutama kaum Aghniya’ atau yang memiliki kekayaan lebih, akan diedukasi oleh komunitas tertentu agar mau sama-sama berbagi kenikmatan kepada sesama tanpa khawatir hartanya akan habis. Sehingga bulan Ramadan lebih indah, karena saling memperhatikan satu sama lain dan tumbuhnya rasa kepedulian terhadap sesama.
Budaya membagi-bagikan takjil bukanlah tanpa dasar. Takjil sendiri memiliki perjalanan panjang dalam sejarah. Secara historiografis, tradisi takjil bermula dari masyarakat Aceh. Dalam De Atjehers yang berisi catatan Snouck Hurgronje pada 1891-1892 mengabarkan bahwa masyarakat Aceh pada bulan Ramadan setiap menjelang waktu berbuka beramai-ramai berkumpul di Masjid. Mereka siap menyantap takjil, yang menu khasnya biasa berupa e bu peuda atau bubur pedas.
Karena selain sedekah, tradisi membagikan takjil juga bertujuan agar menyegerakan umat muslim untuk berbuka puasa. Karena sesuai dengan tuntunan Nabi bahwa kita dianjurkan untuk mengakhirkan sahur menjelang subuh dan menyegerakan untuk berbuka. Mengakhirkan sahur menjelang subuh agar nanti fisik kita kuat untuk menjalankan aktifitas sebagaimana mestinya, tanpa mengeluh karena puasa. Dan menyegerakan berbuka adalah upaya agar memelihara kesehatan orang yang berpuasa, agar tubuh kembali memperoleh nutrisi karena seharian penuh berpuasa.
Takjil terus dilestarikan hingga saat ini. sekalipun dalam pemaknaan secara bahasa takjil keluar dari makna aslinya. Yakni takjil yang asli kosaka katanya dari bahasa Arab yang bermakna “menyegerakan”, silih berganti maknanya menjadi sebuah sadapan pokok maupun primer yang akan disantap ketika berbuka puasa. Karena selain dibagi-bagikan, memang kadang orang-orang sering mengatakan ketika sore hari menjelang berbuka, mereka sedang melakukan aktivitas ngabuburit guna untuk berburu takjil. Maka dalam ranah ini, takjil memang untuk dicari bukan saja untuk dibagi-bagikan.
Berkaitan dengan budaya membagi-bagikan Takjil ini, ada sebuah hadis Nabi yang sesuai dengannya. Dalam Sunan Tirmidzi, yang diriwayatkan oleh Anas bahwa seseorang bertanya kepada Rasulullah, “Sedekah apa yang paling utama?”
Rasulullah pun menjawab: “sedekah yang dilakukan pada bulan Ramadan.”
Selain itu, ada hadis lain yang juga membahas tentang keutamaan dari memberi makanan pada orang yang berpuasa.
Rasulullah Saw. bersabda: “Barang siapa yang memberi makan berbuka kepada orang yang berpuasa, maka ia memperoleh pahala yang menyerupai pahalanya, tanpa mengurangi sedikit pun pahala orang yang berpuasa tersebut.” (HR. Tirmidzi).
Bulan yang mulia Ramadan ini, memang banyak kesunahan dan anjuran-anjuran untuk dapat diamalkan. Seperti halnya puasa, taraweh, tadarrus quran, berdzikir dan lain sebagainya. Namun hal-hal itu adalah ibadah yang sifatnya personal kepada Allah swt. saja. Coba saja bila kita memaknai momentum Ramadan ini untuk melakukan ibadah yang sifatnya sosial. Dan dari kedua hadis di atas bisa diambil pelajaran yang teramat berharga.
Memang baik, bila kita memahami momentum puasa ini sebagai bentuk tenggang rasa kita kepada orang yang kurang mampu dalam mengais rizki, yang kesusahan untuk mencari makanan. Maka bila kita beralih dengan ibadah sosial, dengan juga ikut memberi mereka yang kekurangan bukankah itu malah justru lebih afdhol.
Karena bila dibayangkan, bahkan juga sudah barang tentu kita ketahui bersama, bila puasa selama satu hari akan merasakan betapa beratnya menahan rasa lapar dan dahaga. Apalagi mereka yang bekerja di tempat terik, di jalanan, seperti tukang becak, ojol, para sopir, tukang sapu jalanan dan lain sebagainya. Sehingga, lumrahnya hal itu akan merangsang empati kita bersama untuk membantu mereka. Lesu, lemah, lunglai yang mereka rasakan mengharuskan kita agar bisa berbagi kebahagiaan, memberi kebutuhan walau sekedar yang kita mampu. Bukankah bila kebermanfaat ibadah yang kita kerjakan itu dirasakan oleh banyak orang, maka semakin besar pulalah pahala yang kita dapatkan.
Bila kita menilik lebih jauh lagi, ada sebuah cerita yang mengisahkan bahwa kakek Nabi pun suka membagi-bagikan makanan pada bulan Ramadan. Dalam al-Kamil fi Tarikh yang dianggit Ibnu Atsir (w.630 H/1233 M) mengabarkan bahwa Abdul Muthalib gemar memberikan makanan kepada orang-orang miskin ketika memasuki bulan Ramadan selama sebulan penuh.
Oleh karenanya, apa yang telah lama menjadi tradisi baik ini sudah selayaknya kita rawat dan jaga bersama. Terutama umat Islam yang ada di Tanah Air. Segogyanya kita tetap melestarikan fenomena mulia ini karena sebab banyaknya manfaat dan keutamaan di dalamnya.