Berburu Lailatul Qadar, Tradisi Maleman di Desa Kranding Kediri

Bulan Ramadan adalah bulan yang dimuliakan oleh Tuhan. Karena di dalam bulan ini terdapat peristiwa-peristiwa penting yang tidak ada dalam bulan-bulan yang lain. Salah satu peristiwa itu ialah lailatul qadar.

Lailatul qadar merupakan malam yang lebih baik daripada seribu bulan.  Pernyataan ini diabadikan dalam Alquran surat al-Qadr, surat yang ke 97 dari Alquran. Pada malam ini, jika seorang muslim melakukan suatu ibadah atau suatu amal yang baik, bisa dikatakan ibadah atau amal yang dikerjakan ibaratnya ia melakukan ibadah selama seribu bulan. Dengan begitu, pahala yang didapat juga akan sama dengan beribadah selama seribu bulan tersebut. Oleh karena itu bisa dikatakan, penantian seorang muslim menunggu datangnya bulan Ramadan karena ingin ‘berburu’ malam itu.

Ada banyak riwayat yang menyatakan, bahwa lailatul qadar turun di bulan Ramadan. Tetapi tidak ada riwayat yang pasti dalam penentuan turunnya malam tersebut. Apakah pada hari senin, selasa, atau hari-hari yang lain. Ataupun pada tanggal satu, dua, atau yang lainnya.

Terkait ini, ada banyak versi yang menyatakan. Ada beberapa ulama yang menyatakan bahwa malam itu turun di antara tanggal satu hingga tanggal tigapuluh. Sementara pendapat yang lain menyatakan pada malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir. Pendapat terakhir ini yang paling populer di Indonesia, termasuk di daerah penulis.

Baca juga:  “Njawani” yang Salah Kaprah

Mengingat momen berharga ini, umat muslim Indonesia memiliki tradisi yang unik untuk memperingati atau untuk menyambut lailatul qadar tersebut. Dalam hal ini penulis coba kemukakan tradisi yang ada di daerah penulis sendiri,  tepatnya di desa Kranding kabupaten Kediri.

Di tempat saya, terdapat sebuah tradisi yang telah dilakukan secara turun temurun. Tradisi itu diistilahkan dengan kata “maleman”. Secara bahasa, maleman berarti malam. Yang maksudnya malam turunnya lailatul qadar.

Tradisi maleman yang dijalankan di daerah penulis, biasa dilakukan pada salah satu malam ganjil di akhir bulan Ramadan. Dan biasanya dilakukan pada malam dua puluh tujuh.

Adapun ritual-ritual yang dilakukan saat maleman biasa bertempat di masjid desa. Praktiknya, setelah melakukan shalat tarawih secara berjamaah, kaum laki-laki akan pulang ke rumah mengambil berkat. Biasanya berkat yang dibawa dengan menghitung batih (satu anggota keluarga). Jika dalam suatu keluarga ada tiga orang, maka berkat yang  dibawa ada tiga, begitu juga kelipatannya. Lalu mereka akan kembali ke masjid. Setelah semua berkumpul baru akan dimulai ritual ini.

Acara dimulai dengan sambutan tokoh agama atau kiai. Isi yang disampaikan dari sambutan ini ialah tentang lailatul qadar. Jadi kiai menuturkan dan menjelaskan bagaimana atau apa yang dimaksud dengan malam tersebut dan harus melakukan apa di malam itu, dan lain-lain. Tidak hanya itu, pak kiai juga menyinggung praktik-praktik ibadah lainnya yang ada di bulan Ramadan, seperti memberikan motivasi untuk lebih giat shalat tarawih dan kewajiban untuk zakat fitrah.

Baca juga:  Kopi dan Masjid di Aceh

Setelah mendengarkan tausiyah dari kiai. Ritual selanjutnya ialah kirim leluhur atau kirim doa terhadap arwah-arwah yang telah meninggal dunia. Acara itu biasa juga disebut dengan tahlil. Pada ritual ini juga langsung dipimpin seorang kiai yang kemudian diikuti para jamaah.

Acara yang terakhir pada ritual itu akan ditutup dengan doa bersama dan bagi-bagi berkat.

Niat dan hajat yang paling utama dari tradisi maleman ialah harapan besar masyarakat bahwa pada malam tersebutlah lailatul qadar diturunkan. Karena dengan harapan itu, berpapasan dengan aktivitas mereka yang sedang mengadakan sedekahan dan doa bersama. Sehingga segala amal mereka akan dilipatgandakan dan doa-doanya akan dikabulkan.

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/tha/berburu-lailatul-qadar-tradisi-maleman-di-desa-kranding-kediri-b247513p/