Bersahabat dengan Anak

Oleh Rijal Mumazziq Z, Rektor INAIFAS Kencong Jember

“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fithrah (bertauhid). Maka, kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”

(HR. Bukhari dan Muslim)

Sabda Nabi di atas menegaskan bahwa sejatinya setiap anak dilahirkan dengan fitrah ilahiah yang dimilikinya. Layaknya fondasi dalam sebuah bangunan, fitrah merupakan ruh yang cenderung mengenal Tuhannya. Sehingga dengannya, manusia memiliki kecenderungan mutlak pada perilaku-perilaku baik.

Namun faktanya, tidak sedikit anak ketika tumbuh remaja dan dewasa menjadi berperangai buruk, kasar, atau memusuhi orangtuanya. Jika merujuk pada sabda Nabi di atas, maka penyebab dari perubahan perilaku tersebut adalah orangtua. Dengan kata lain, peran orangtua sangat vital bagi perkembangan sang anak.

Penulis ingat sebuah buku bagus, judulnya “Orangtuanya Manusia”. Buku ini berusaha membantu para orangtua dalam menyukseskan perkembangan anak-anaknya, terutama aspek pendidikannya. Munif Chatib, penulisnya, mengulas cara orangtua bersikap dalam proses pendidikan anaknya, baik di rumah maupun sekolah. Penulis juga mencoba menghadirkan paradigma lain bagi pendidikan anak-anak, dengan tema-tema yang up to date dan merupakan masalah sehari-hari orangtua.

Chatib membagi tahap perkembangan anak menjadi tiga tahap dan strategi yang harus dihadapi dalam masing-masing tahap, berjenjang selama tujuh tahun. Tujuh tahun pertama usianya, sang anak berposisi sebagai seorang Raja. Pada tahap ini orangtua hendaknya membiarkan mereka bebas bertindak, berkeinginan, memberikan perintah, bermain, dan bersenang-senang.

Tujuh tahun berikutnya adalah posisi seorang Pembantu. Pada masa ini orangtua berkewajiban memberikan pendidikan, pengajaran, dan pengarahan kepada anak-anaknya yang sudah memasuki usia praremaja. Status pembantu diartikan sebagai masa ketaatan saat menjalani pendidikan.

Pada usia ini, seorang anak sudah punya perkembangan daya pikir dan ketajaman daya ingat. Ibarat fondasi sebuah rumah yang terbentuk, masa ini adalah awal pembangunan rumah tersebut. Pada masa inilah, saat terbaik untuk mengajarkan perilaku yang baik dan buruk kepada anak: mengenakan peraturan dan adab, melatih kedisiplinan, serta tanggung jawab.

Pada tujuh tahun ketiga usianya, maka seorang anak akan tumbuh menjadi wazir yang selalu ikhlas diajak bermusyawarah dan bekerja sama dalam mengatasi segala macam masalah kehidupan. Inilah masa terbaik dalam diri seseorang. Masa ini merupakan masa yang paling penting untuk menunjukkan eksistensi dan nilai manfaat sebagai manusia berkualitas.

Menurut Munif Chatib yang telah menulis buku laris “Sekolahnya Manusia” dan “Gurunya Manusia” ini, kemampuan anak sejatinya seluas samudera. Berarti, pasti banyak potensi yang terpendam di dalamnya alias memiliki kecerdasan majemuk atau multiple intelligences.

Multiple intelligences merupakan teori kecerdasan yang menyatakan bahwa setiap anak memiliki kecenderungan kecerdasan dari sembilan kecerdasan, yaitu; cerdas bahasa (linguistik), cerdas matematis-logis (kognitif), cerdas gambar dan ruang (visual-spasial), cerdas musik, cerdas gerak (kinestesis), cerdas bergaul (interpersonal), cerdas diri (intrapersonal), cerdas alam, dan cerdas eksistensial.

Setiap anak memiliki variasi potensi kecerdasan masing-masing. Ada yang hanya punya satu kecerdasan yang dominan, sedangkan yang lainnya rendah. Ada yang memiliki dua, tiga, atau bahkan semua kecerdasannya dominan. Namun intinya, tidak ada manusia yang bodoh, terutama jika stimulus yang diberikan lingkungan tepat.

Kejelian orangtua dalam memahami kecerdasan yang dimiliki anak menjadi sangat penting. Karena sebagai konsumen pendidikan, orangtua dituntut untuk selektif memilih sekolah yang tepat bagi anak. Keliru memilih sekolah, dapat mengakibatkan anak layaknya seorang robot. Anak yang beraneka ragam dicetak dengan pola, bentuk, dan warna yang sama. Padahal, kecenderungan kecerdasan mereka berbeda-beda.

Para orangtua juga seharusnya memahami bahwa anak sebenarnya makhluk pembelajar. Alasan seorang anak ingin terus belajar adalah karena kebutuhan otak itu sendiri. Kebutuhan otak merupakan tuntutan alami dan tidak bias dihentikan. Jika ada anak yang malas atau enggan belajar, bahkan tidak mau belajar, itu diakibatkan oleh proses belajar yang salah serta tidak sesuai dengan kondisi sang anak.

Oleh karena itu, yang paling utama dilakukan oleh orangtua adalah bersahabat dengan anak. Ini konsep sederhana yang sebenarnya sulit dilaksanakan. Jika diperlakukan sebagai seorang sahabat, anak akan membuka ruang batinnya untuk mencurahkan kasih sayangnya kepada sahabatnya, dalam hal ini orangtua yang memperlakukannya sebagai seorang sahabat. Ketika anak menggambar, dia ingin orangtuanya menilainya, mengaguminya.

Ketika dia tengah bertengkar, lelah dan terlukai oleh teman-teman di sekolahnya, dia membutuhkan empati dari ayah ibunya atas “derita” yang dia alami. Dia butuh dihibur. Ketika anak bermain, dia butuh seorang yang memperlakukannya secara istimewa sebagaimana teman sebayanya. Karena itu dia meminta ayahnya menjadi kuda tunggangan, menjadi monster jahat yang dia kalahkan, dan menjadi apa saja yang dia inginkan sesuai imajinasinya. Anak melucu, orangtua boleh menertawakannya karena tawa itulah yang menunjukkan penilaian atas kelucuannya.

Tapi, hari ini dengan kesibukan ini-itu, seringkali orangtua mengabaikan aspek manusiawi dari seorang bocah. Atas nama mencari uang, sibuk bekerja, sibuk meeting, dan atas nama mempersiapkan masa depan buah hati, orangtua justru mulai mengabaikan buah hatinya. Anak berkembang dengan sendirinya tanpa didampingi orangtuanya sebagai seorang sahabat yang mengerti dirinya dan memahami kebutuhannya.

Dan, benarlah, banyak anak yang terpaksa kehilangan kegembiraannya di hari ini, karea orangtua sibuk menata hari depan yang di sana. Sementara ketika masa depan itu benar-benar datang, anak-anak telah kepalang kehilangan masa kekanakannya. Ia telah menjadi pribadi yang kepalang luka dan tak bisa menarik kembali waktu kanak-kanaknya, yang telah tersia-siakan akibat orangtuanya terlampau sibuk dan mengabaikan buah hatinya sebagai sahabat. Sungguh, jangan sampai kita menjadi seperti ini.

Wallahu A’lam Bisshawab