Pedagogi ala pedesaan Jawa rupanya cukup efektif untuk mencecap substansi dari suatu hal. Dengan budaya rasa yang cukup kuat, tampaknya berpikir dan berperilaku substansial, yang tercermin dari budaya sanepan dan adagium bahwa Jawa nggone semu, puasa yang pada hakikatnya adalah aktifitas untuk menahan hawa nafsu seperti langsung mendapatkan kegamblangannya.
Hawa nafsu tentu saja adalah perihal sisi batin manusia yang saling wengku winengku atau dukung-mendukung dengan sisi lahiriahnya. Sisi batin manusia ini dapat pula disebut sebagai diri. Dari paradigma semacam ini menjadi jelas bahwa ibadah puasa pada dasarnya adalah sebuah pedagogi jiwa, meskipun melalui perantaraan menahan haus, lapar, dan syahwat.
Dalam khazanah kebudayaan Jawa pedesaan dikenallah beberapa macam puasa yang dilakoni seturut dengan usia seseorang. Bagi anak-anak yang belum akil baligh biasanya diberlakukanlah bentuk puasa yang disebut sebagai puasa manuk podhang atau esuk-esuk madhang dan puasa mbedhug atau setengah hari—meskipun anak-anak yang belum akil baligh ini belum dikenakan kewajiban syari’at.
Di sinilah letak pedagogi Jawa yang lebih menekankan substansi daripada bentuknya menemukan ruangnya. Secara syar’i jelas puasa manuk podhang dan mbedhug bukanlah sebentuk puasa yang ditetapkan oleh syari’at. Namun, mengingat para pelakunya adalah anak-anak yang belum akil baligh, karena disertai pengertian dan niat, maka secara substansial diberlakukanlah sebuah kewajaran bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah juga sebentuk puasa.
Tak sekedar bahwa puasa anak-anak yang belum akil baligh itu adalah sebentuk latihan ketika esok mereka mesti melakukan puasa yang sesuai dengan tuntunan syari’at, namun habitus atau ruang mental bulan Ramadan yang seyogyanya terbentuk sedini mungkin itulah yang pokok untuk dicapai. Bukankah tanpa berpuasa sekali pun orang dapat merasakan dan hanyut dalam suasana Ramadan dan seolah-olah terberkati pula? Bukankah idealnya bulan Ramadhan adalah kerelaan (rila) untuk dibatasi di kala siang hari, yang identik dengan sabar, dan ridha (legawa) ketika dibebaskan di kala berbuka dan sesudahnya, yang identik dengan syukur?
Rila, yang dalam pemakaian bahasa Jawa sering disatukan dengan legawa, merupakan kualitas batin yang setara dengan ikhlas dan ridha. Tamsil yang bagus atas kualitas batin ini adalah kebiasaan atau tradisi “besrik” yang juga berkembang di pedesaan Jawa.
Lazim di pedesaan Jawa orang-orang mencambuti rumput di halaman ataupun sekitar rumah lainnya. Selain dengan cara mencabuti, mereka juga menggunakan sabit ataupun pacul agar lebih mudah dan lebih bersih.
Kebiasaan yang di pedesaan Jawa kerap disebut sebagai besrik ini jamak tergelar ketika lebaran tiba. Besrik memang tak dapat dilepaskan dari aktifitas menjelang lebaran lainnya: bersih-bersih dan mematut rumah beserta segala perabotnya.
Ada yang mengungkapkan bahwa pada dasarnya bukanlah halaman, rumah beserta perabotnya yang tengah dibersihkan. Tapi yang lebih hakiki adalah kalbu manusia yang selama sebulan penuh berupaya dibersihkan.
Tentu, besrik yang dilakukan saat bulan Ramadan, dan segala kebiasaan atau tradisi masyarakat Jawa lainnya sebelum dan seusai Ramadan, sarat dengan pijakan-pijakan yang sufistik. Besrik dan segala kebiasaan yang berurusan dengan kebersihan rumah dan sekitarnya memang beranjak dari sebuah hadis qudsi bahwa kalbu orang beriman adalah rumah Tuhan.
Barangkali, aktifitas yang dinamakan besrik ini tak dapat dilepaskan dari penyakit-penyakit kalbu seperti sirik, iri, dengki, srei, dst., mengingat kebiasaan orang Jawa yang suka memakai ilmu kerata basa untuk memaknai suatu hal.
Lebaran, di samping sebuah perayaan atas kemenangan dalam mendidik sendiri kedirian seseorang, adalah juga momen dimana orang akan saling pamer sebagai kebiasaan yang memang manusiawi—meskipun idealnya riya’ adalah juga sebentuk penyakit kalbu yang mesti dihindari.
Dalam eksistensialisme pamer adalah bagian dari faktisitas manusia, sesuatu yang memang tak dapat dilepaskan dari keberadaannya. Bukankah dalam psikologi humanisme manusia itu selalu ingin mengaktualisasikan dirinya dimana standar orang yang sukses adalah ketika ia mampu melakukannya?
Pada titik ini pengertian pamer mencakup pula permasalahan aktualisasi diri. Dalam upayanya untuk mencari makna manusia sudah pasti tak akan dapat menghindar dari perilaku pamer. Sebab, tanpa pamer, bagaimana kemudian orang mengukur bahwa ia sudah menemukan makna hidupnya. Oleh karena itu, salahkah orang yang berbangga atas segala upayanya selama ini? Bukankah konon Tuhan menugaskan Adam untuk menjadi khalifah di atas Bumi? Lalu bagaimana ketika Adam sebagai khalifah tak dapat atau dilarang untuk menunjukkan kualitasnya sebagai khalifah itu?
Namun satu hal yang pasti, dari kearifan yang melatari kebiasaan besrik ini, satu hal yang dapat dipahami adalah ketika orang menanam padi sudah tentu rerumputan yang tanpa ditanam pun akan menyertai pertumbuhan padi itu, dan belum tentu sebaliknya.
Dengan demikian, kebiasaan besrik yang khususnya dilakukan oleh orang-orang Jawa pedesaan menjelang lebaran menyingkapkan bahwa ketika orang menebarkan kebaikan pun keburukan selalu saja berpotensi untuk menyertainya.
https://alif.id/read/hs/besrik-islam-jawa-di-antara-ramadan-dan-lebaran-b243381p/