Billapora, Desa dalam Bahasa dan Puisi: Hilang dan Masih

Sastra tidak cuma berdiri di panggung gemilang, yang menuliskan tentang kegaharan. Sastra itu sederhana, gubahan puisi indah justru berasal dari hal remeh yang kadang tak tampak di pelupuk mata, namun hangat ketika dijumpai dalam kata-kata. Sastra yang nyaman di menara gading, bakal hilang, sering di pandang sastra kanon. Padahal Indonesia kaya akan kearifan lokal, tergantung dari Miangas hingga pulau Rote.

Raedu itu sastrawan, ia menulis puisi yang peka. Sastra dibawa pada kolong tak nampak di kota besar, ia kembali pada desa. Billapora desa tempat Raedu Basha menulis kumpulan puisi peraih karya unggulan manuskrip Dewan Kesenian Jawa Timur 2021. Melalui puisi Raedu kita lekas ingat pada desa yang punya cerita untuk setiap nama.

Orang dulu tak sembarangan memberi nama pada desa. Penuh kesadaran Raedu menuliskan, tanpa desa negara hanya sebuah nama hampa. Desa telah mengisi negara jadi berbentuk, dengan tanpa kehampaan.

Raedu mengajak pembaca bertamasya di Billapora. Desa di kecamatan Lenteng, Sumenep. Konon, desa itu bermula dari Sunan Giri. Bakda giri hancur/ Agung Sumi dengan hati babak belur/ menjinjing sampir/. Dari cerita desa bermula, di desa tetap abadi dalam kisah-kisah.

Di tanah rantauan, seorang bocah desa tumbuh, jadi akademisi, pekerja sukses, hingga sederet pencapaian. Tapi, bagi orang di desanya, ia barangkali tidak dianggap sukses, sebab tidak memajukan tempat pertama ia pijak. Seperti kata sebuah alegori, semu yang berasal dari desa akan kembali pada desa. Lalu muncul pertanyaan, mengapa kembali ke desa?

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (45): Kitab Tarikh Auliya’, Membaca Sejarah Wali Tanah Jawa

Dalam sehimpun puisi Raedu, pembaca akan mengenang desa. Daerah paling penting bagi negara, bagi si penulis dalam aku lirik desa jadi dasar pembentukan negara. Negara tak akan tanpa desa, bukan sebaliknya.

Di desa ada yang masih bertahan. Mitos dan ritus bersiap diburu zaman, tinggal menunggu waktu modernisasi. Hal bertahan tentu jauh lebih sedikit ketimbang yang hilang. Puisi berusaha bersitahan dengan yang hilang. Mitos seiring zaman dipandang tahayul, meski orang sekarang tidak paham makna tersembunyi dibalik mitos. Mitos lalu dibuang, agar tidak syirik. Mitos itu syirik? Padahal mitos telah tumbuh jadi bagian tak terpisahkan dalam wujud kearifan lokal.

Raedu menggubah puisi dengan pilihan diksi yang sesak bahasa lokal. Pembaca dari suku Madura akan dibawa Raedu mengembalikan ingatan. kita boleh saling mengklaim diri sebagai pemenang/ tapi sebenarnya kita masih kalah sebab selalu ada perang/ bersepakatlah kita menjadi sebaris pasukan/ bocah -bocah desa yang mengutuk kekerasan  (halaman 56)

Dikutuk zaman yang suka perang dengan sesama manusia Indonesia. Kita dipaksa Raedu agar lekas kembali pada makna permainan yang menyelip pesan perdamaian. Lewat puisi berjudul Pentengan, kita diajak Raedu mengenang permainan bocah desa. Permainan tak sekedar kalah menang, sebab menyelipkan pesan dan filosofi. Permainan jadul memang sudah hilang bersama zaman. Tapi berkat Raedu, kita berhak kembali mengenang, bahkan mungkin mengajarkan pada anak kelak.

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (44): Fath Al-Qarib, Kitab Pemula Kelas Dunia

Binatang di Desa

Perayaan hewan atau kampung yang berubah karena bangunan rumah, infrastruktur, kesejarahan desa menihilkan binatang binatang, anak anak tumbuh, orang tua sibuk. Ingatan lekas membawa hilang binatang di desa. Kicau yang tak lagi terdengar, daras binatang yang mulai sengau.

Binatang mulai dianggap mengganggu, manusia desa mulai beranjak jadi kekota-kotaan. Pemusnahan, pengusiran, penghilangan, perburuan jadi pilihan agar binatang tak lagi lestari. Kita pun melupakan generasi mendatang, mata anak dipaksa peduli gawai ketimbang alam. Alam cuma selesai diceritakan lewat tayangan Video, atau selancar gambar di dunia maya. Sebab desa telah kehilangan alam, sekaligus juga binatang.

Raedu Basha, gus Edu peka mengenang binatang, teranggap sebagai kearifan lokal. Binatang layak dilestarikan dalam puisi, meksi dalam kenyataan telah berlalu sekian jauh. Dahulu kita ingat, ada binatang tertentu yang identik dengan mitos. Tokek berbunyi pertanda ada makhluk halus, cicak yang tidak boleh dibunuh sembarang sebab mendatanang balak. Raedu menulis dalam gubahan puisinya berjudul Amati Binatang Bertandang (ganding pustaka, 2021).

Amati Binatang Bertandang/ amati kupu-kupu yang masuk rumahmu/ ia cermin tamu yang akan berbagi rejeki/ harta atau jasa atau pula bukti cinta (halaman 72)

Binatang masuk rumah, sebelum manusia repot cari cara agar rumah bersih dari binatang. Sebab binatang jadi pengganggu. Di Madura, Sumenep binatang bagian dari kenikmatan lokal, yang dikenang Raedu dalam puisi.

Baca juga:  Sabilus Salikin (44): Tarekat Uwaisiyah (lanjutan)

Melalui buku ini, pembaca diajak abadi dengan desa, agar tak hilang segala yang jadi budaya. Tidak perlu berkaca ke mana-mana, Indonesia sebenarnya terlampau kaya budaya, meski sedikit mata yang berusaha memandang.

https://alif.id/read/maal/billapora-desa-dalam-bahasa-dan-puisi-hilang-dan-masih-b239688p/